Aku harus bagaimana, Meow?!
Pagi sudah datang. Dari tadi, ayam-ayam tetangga sudah berkompetisi di atap rumah. Hujan yang semalaman mengacaukan aktivitas juga tinggal bekasnya saja, membentuk kubangan abstrak di area aspal rusak. Hawa dingin masih ada, tapi enggak begitu terasa karena sesak ibu kota mulai menggebu-gebu lagi. Aku langsung melompat turun setelah menyusuri genteng kontrakan yang berlubang. Syukurnya, enggak ada kebocoran parah dan Papa enggak perlu repot-repot memanggil tukang. Tapi, meski enggak diganggu apa pun, dia tetap terlelap di kamar.
Sudah berapa lama Papa tertidur? Aku enggak pandai berhitung, jadi siapa yang bisa menjawabnya? Hm. Semalam, dia berulang kali mengigau dan tiba-tiba memelukku, seolah-olah aku hendak kabur entah ke mana. Dia juga meminta maaf terus-menerus, padahal stok makan akhir-akhir ini enggak pernah kurang dan aku menyukainya. Benar-benar aman. Tapi, dia tetap gelisah. Sampai sinar matahari menembus gorden pun, dia enggak berkutik.
Aku berniat mencari Manis, bertanya apa saja yang sekiranya bisa menjawab keanehan itu. Tapi, kata Kakek Milo, dia sedang kelayapan dari kemarin dan hanya pulang untuk makan. Semoga enggak dalam rangka mencari pejantan lain. Alhasil, aku pulang dengan tangan kosong, sia-sia rasanya. Mau bertanya pada kucing tua itu pun buat apa? Hal yang ada nanti aib Papa makin tersebar di kalangan mereka.
"Meow!"
Tubuh Papa begitu kaku. Dia telentang tanpa meringkuk. Selimut tipis yang biasa menutupi dada sudah disingkirkan. Lebih tepatnya, dia sengaja memakai benda itu untuk membalut tubuhku. Aku baru sadar saat bangun--ada benang putus yang melilit jariku. Agak aneh, memang. Tapi, enggak ada yang lebih aneh dari rautnya subuh tadi. Selain pucat dan berkeringat, kerutan di keningnya menjadi-jadi dan Papa enggak berhenti merintih. Aku benar-benar linglung. Semuanya baru selesai saat dia terlelap sampai detik ini.
Tapi, apa ini enggak terlalu jauh? Meow!
Aku mendekati Papa, lalu menjilati pipinya. Berusaha membangunkan pekerja yang kelelahan sangatlah sulit. Dia enggak merespons sedikit pun. Aku beralih mengusapkan kepala ke dagu dan lehernya. Embusan napas yang hangat perlahan menyentuh bulu-buluku. Sontak aku bergidik dan lanjut bermanja ria di sekitar dada. Tapi, ada yang aneh dan membuatku berhenti.
Deg … deg … deg … deg, bunyi itu enggak secepat biasanya. Aku perlu berhenti sejenak buat benar-benar fokus. Kalau dilihat-lihat, tubuh Papa enggak naik-turun sewajarnya. Dia terlalu banyak diam.
"Meow!"
"Meow!"
Papa, kapan bangun? Dia perlu buru-buru mandi dan sarapan, kan jam dinding terus berjalan. Bisa-bisa dia terlambat kalau masih melanjutkan mimpi yang entah apa itu--yang jelas bukan tentang Tante Ais karena dia enggak tersenyum sama sekali. Bagaimana ini? Apa perlu kuacak-acak isi dapurnya agar mau bangkit? Ah, itu sama saja menyiksa dengan alibi elit.
"Chu?"
"Meow!"
Akhirnya Papa bersuara juga, tapi matanya masih terpejam. Dia memilih miring ke kanan dan menghadap ke arahku, dibanding duduk atau langsung berdiri, terus berjalan ke kamar mandi. Perlahan, dia menyadari keberadaanku, lalu tersenyum tipis sekali. Walaupun kecil dan jarang muncul, aku menyukainya. Tatapan Papa setiap melakukan itu selalu menenangkan. Tapi, belum cukup lama, tiba-tiba dia meringis dan menekan dada.
"Meow?"
Papa sontak meringkuk dan memeluk lutut, hal yang biasa dia lakukan tepat tengah malam. Kalau sudah seperti ini, dia selalu mengambil dua pil dari botol putih yang disimpan di laci. Tapi, kali ini enggak, Papa tetap berhembus. Kenapa? Erangannya makin kuat dan keras, meski belum tentu sampai ke dinding seberang. Seharusnya di masa-masa ini dia langsung meminum itu. Apa sekarang Papa enggak suka? Atau sedang mencoba varian rasa lain? Jangan-jangan, uangnya habis dan belum sempat membelinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nasib Ambyar Sobat Meong ✔
General FictionEnggak cuma diputusin dan ditinggal kabur ke luar negeri, Net juga harus mengurus Chuchu, kucing peninggalan sang mantan. Gaji pas-pasan sebagai beauty editor terpaksa dibagi untuk mencukupi kebutuhan pakan, kebersihan, vaksin, dan masih banyak lagi...