Chuchu | sidak kantor

180 52 10
                                    

Sekali dalam seumur hidup, aku memang perlu merasakan drama banjir ibu kota. Enggak terlalu menyedihkan, tapi malunya itu yang keterlaluan. Tadi, tiba-tiba ada tikus berlarian muncul dari dalam kamar mandi. Kayaknya, dia turun dari atap lewat pipa besar karena hujan yang deras sekali. Aku pengin menangkapnya sebagai hadiah kalau Papa pulang, tapi tahunya dia membawa bala tentara yang amat menggelikan. Mulai dari sampah plastik, tanah liat--mungkin bekas pot bunga, sampai lumut tandon masuk rumah dan memenuhi ruang tengah.

Air ada di mana-mana. Aku buru-buru naik daripada ikut tenggelam. Sayangnya, pas menyebrangi rak menuju kamar Papa, kakiku terjepit lubang jebakan dari kayu. Entah apa motivasi Papa menaruh benda itu di sana, padahal sudah ada aku yang mengeong sepanjang malam untuk mengusir para penjelajah got di sekitar sini. Saking kaget dan sakitnya, aku terjengkang dan menyangkut di sela bawah wastafel.

Untunglah Papa cepat pulang. Dia juga langsung melihatku yang menggantung seperti kelelawar. Aku segera diangkat dan dimasukkan ke kandang, lalu diletakkan di atas rak sayur--yang rata dan kuat. Dia lalu membuka pintu samping sambil berjinjit-jinjit, lalu keluar mengambil sapu di depan rumah. Agaknya dia sudah hafal luar dalam tentang situasi ini.

"Nagih duit doang semangat empat lima, giliran hujan deres dikit aja bentukannya selalu begini. Untung belum bayar, jadi nggak punya muka buat protes."

Kelakuan Papa sudah cocok memerankan tokoh emak-emak di sitkom Dunia Terbalik. Hampir setiap hari dia mengomel, tapi beraninya sendirian. Kalau berhadapan empat mata, nada suaranya langsung berubah 180 derajat dipastikan lemah gemulai. Dari Net jadi Nita. Halus sekali.

Acara kuras-menguras air berkat atap bocor itu baru selesai setelah setengah jam mondar-mandir kayak setrikaan. Tapi, itu belum berakhir. Papa masih harus mengepel--biar enggak bau, mencuci dan menjemur karpet yang terendam, serta mengeringkan tubuhku yang setengahnya sempat tercebur ini. Ayolah, rupaku sudah seperti anak hilang yang kehujanan dan meneduh di emperan toko--menggigil kedinginan. Aku butuh handuk, ditambah pijatan plus-plus juga boleh.

"Lo diem di situ bentar, ya."

"Meow!"

Papa berlari ke kamar. Napasnya kembang kempis enggak karuan. Sangat kasihan. Sudah tiga kali pula dia hampir terpleset. Untung saja masih sempat memegangi tembok dan berdiri lagi.

Rupanya, Papa berganti pakaian. Kaus olahraga zaman SMA dan celana training setinggi lutut menjadi pilihannya. Sungguh outfit banjir yang recommended. Hah, saat pintu kamarnya terbuka lebar, aku bisa melihat di dalam sana pun enggak kalah kacau. Papa sampai meletakkan dua timba di dekat meja dan kasur. Dia juga melipat selimut dan menaruhnya di samping kapstok. Meow! Benar-benar parah.

"Ayo!"

"Meow!"

Papa mengangkat dan memasukkanku ke ransel yang agak terbuka--bagian ritsleting berhenti di pinggir. Sebuah kemajuan, dia memesan mobil online yang menunggu di depan rumah Pak RT, agak jauh di depan. Aku sempat kehujanan, tapi enggak masalah. Papa menutupi kepalaku menggunakan kedua tangannya.

Aku senang Papa meletakkanku di dada, bukan punggungnya. Dengan ini, aku bisa menatapnya lebih baik, juga enggak merasa ketinggalan. Papa segera meminta maaf setelah kami masuk karena basah dan alasnya mengotori mobil, tapi bapak pengemudi yang berkumis tipis itu manggut-manggut saja sambil tersenyum. Katanya, 'santai wong namanya juga hujan.'

"Jam segini kantor emang masih buka, to, Mas?"

"Security-nya masih, Pak. Saya karyawan di sana, kok."

"Oalah, lha ini mau ngapain? Kerjaannya ada yang kurang?"

"Ngungsi, Pak. Kontrakan saya bocor."

Nasib Ambyar Sobat Meong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang