Mulai bab ini, ada perubahan alur cerita dari versi sebelumnya. Kalau menemukan komen yg tidak sesuai alur, itu adalah komen peninggalan versi terdahulu.
...
Double shit!
Setelah dirinya terjebak jebakannya sendiri, kini Gistha yang ia tanyai posisi justru tak membalas pesannya. Alfa yakin Nila sudah menyabotase Gistha agar tak memberitahukan lokasi keberadaan mereka saat ini.
Alfa: Tell me, di mana lo sama Gistha sekarang?
Satu-satunya orang yang bisa ia harapkan tinggal Aidan yang ia yakini sedang bersama Gistha sekarang.
Aidan: Cewek lo ngelarang ngasih tahu. Gimana, dong?
Kampret!
Dari chat-nya saja, Alfa tahu Aidan sedang meledeknya.
Alfa: Please, ini demi kelangsungan hubungan gue sama dia. Masa lo tega sama gue?
Alfa mau muntah rasanya. Drama pacar-pacaran itu terasa semakin menjijikkan, tapi semua sudah terlanjur, tak bisa ia batalkan. Bisa hancur harga dirinya jika mengakui bahwa hubungannya dengan Nila hanya kebohongan.
Aidan: Spesial banget kayaknya yang ini. Perasaan sama yang sebelumnya lo cuek aja.
Alfa mendengkus. Kalau bukan karena akhir membagongkan yang tertulis di Between Us, ia tak sudi bermanis kata. Bahkan jika Nila berada di kandang buaya sekalipun, ia sama sekali tak peduli. Namun, untuk kali ini, sebelum Nila bicara melantur, Alfa harus gerak cepat untuk membungkam mulut wanita itu agar tak membocorkan perihal status palsu mereka.
Alfa: Just tell me!
Aidan: 📍Paper 'n Cup Cafe
Aidan: Lo utang Macallan sama gue.Alfa: Itu meres namanya.
Aidan: Hahaha
Alfa tak membalas lagi, memilih menyalakan mobil dan segera tancap gas menuju lokasi yang Aidan kirim.
Tak sampai 15 menit, ia tiba di Paper 'n Cup. Dari dinding kaca di bagian depan kafe, ia bisa melihat meja panjang dengan kursi stool bersandaran rendah yang menghadap ke jalanan. Begitu masuk, meja kasir--yang juga menyatu dengan meja barista--menjadi pemandangan pertama yang menyambutnya. Jar-jar berisi aneka jenis biji kopi, serta mesin, dan alat pembuat kopi tertata rapi di atas meja.
Matanya lantas mengedar. Dilihatnya dinding sisi kanan tertutup rak tinggi berisi penuh buku yang membentang hingga ke ujung ruangan. Panggung mini lengkap dengan alat musik akustik mengisi space kosong di ujung sana. Meski mengusung tema library yang seharusnya penuh ketenangan, tempat itu tetaplah tempat kongko-kongko yang sesekali perlu memberi hiburan bagi para pengunjungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Change the Word
Romance"Erdana Alfarendra." Bagaimana bisa pemilik nama itu berada di hadapannya? Bukan karena tidak suka, bukan karena benci, tapi pemilik nama dengan tampilan fisik yang nyaris sempurna itu, seharusnya tidak ada di dunia nyata. Ia hanyalah tokoh fiksi da...