Tiga minggu sebelumnya.
Dengan membawa Vanilla Sweet Cream Cold Brew, varian kopi favorit Gistha, Alfa mengetuk pintu ruangan wanita itu. Setelah mendapat sahutan dari dalam, barulah ia masuk, dan melihat Gistha tengah menatap layar komputernya.
“Hai,” sapa Gistha setelah melirik sekilas, sebelum kembali fokus ke layar datar di hadapannya. “Kok belum pulang?”
Alfa meletakkan cup yang dibawanya ke hadapan wanita itu. “Masih nunggu Reno. Dia masih di jalan.”
“Thanks.” Gistha tersenyum melihat minuman yang Alfa berikan, menyesapnya sedikit, sebelum kembali menatap Alfa. “Hari ini pulang ke rumah Mama?”
Gistha tentu sudah hapal jika setiap Jumat sore, Alfa akan pulang ke rumah mamanya. Meski sebenarnya jarak antara rumah dan Graha Citra tak sampai satu jam perjalanan, Alfa lebih memilih cara aman dengan menyewa satu unit apartment di dekat kantornya. Alfa menghindari resiko menyetir mobil dalam kondisi kelelahan, apalagi kalau ia terjebak macet saat jam pulang kantor, atau saat ia harus pulang larut malam untuk mengejar deadline project.
Alfa mengangguk. Tangannya menarik kursi di depan meja Gistha untuk duduk setelah mengintip desain . “Project baru?”
“Project-nya Pak Nanda itu lho. Ada revisi dikit,” sahut Gistha, kembali berkutat pada desain rancangan yang baru dikirim oleh drafter-nya.
Alfa mengangguk paham mendengar nama aktor senior yang beberapa minggu terakhir menjadi klien Gistha untuk urusan merenovasi rumah. Alfa lantas melirik jam di pergelangannya. Sudah pukul 7 malam. Bibirnya terkulum sejenak. Otaknya menimbang-nimbang sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
Dirinya dan Gistha sudah saling mengenal lebih dari 10 tahun, dan entah sejak kapan perasaan cintanya pada wanita itu tumbuh dan semakin besar setiap harinya. Selama itu, tak seharusnya Alfa memendam perasaannya. Sudah seharusnya ia mengungkapkan isi hatinya sejak lama. Bukan seperti sekarang di mana dirinya hanya tetap berdiri di tempat yang sama.
Kepalanya menoleh, menatap wajah Gistha yang bahkan masih terlihat cantik setelah seharian bekerja. Sebagai makhluk visual, bagaimana mungkin Alfa tak menyukai wajah wanita yang seperti itu? Jika dikatakan too perfect to be true, sepertinya Alfa terlalu mengada-ngada. Namun, sosok Gistha di depannya memang seperti itu di matanya.
Alfa cukup sadar jika banyak wanita di luar sana yang mungkin sama cantik atau bahkan lebih cantik dari Gistha. Hanya saja, tak akan pernah ada yang seperti Gistha. Katakan saja dirinya jatuh terlalu dalam pada pesonanya.
Tanpa kata-kata penguat yang Gistha ucapkan di rumah sakit sembilan tahun silam, mungkin Alfa masih meratapi kegagalannya kala itu. Tanpa wanita itu, Alfa tak akan jadi apa-apa. Yang Alfa cintai bukan hanya wajah, tapi juga hati Gistha. Sesungguhnya, ia tak pernah berharap lebih. Bisa berdiri di sisi wanita itu saja rasanya sudah teramat cukup. Namun, entah kenapa tiba-tiba ia menginginkan lebih. Keinginan itu menyeruak begitu saja seperti lapar yang menuntut dikenyangkan, seperti dahaga yang menunggu dituntaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Change the Word
Romance"Erdana Alfarendra." Bagaimana bisa pemilik nama itu berada di hadapannya? Bukan karena tidak suka, bukan karena benci, tapi pemilik nama dengan tampilan fisik yang nyaris sempurna itu, seharusnya tidak ada di dunia nyata. Ia hanyalah tokoh fiksi da...