27. Memang Gila

161 17 3
                                    

Nila keluar dan menutup pintu kamar Latte dengan hati-hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nila keluar dan menutup pintu kamar Latte dengan hati-hati. Kemudian ia melangkah ke kitchen bar, tempat Gihan menunggunya dengan dua gelas minuman hangat.

"Udah tidur?" tanya Gihan, menoleh saat menyadari kehadiran Nila.

"Hm," gumam Nila, jawaban soal Latte yang sudah nyenyak di kamarnya. Ia lantas duduk di sebelah Gihan, menyesap minuman bagiannya.

Gihan menghela lega. Sudah beberapa hari putrinya itu terus merajuk hingga tak mau bermain, tak mau sekolah, bahkan menolak makan. Hal itu membuat dirinya dan Mbak Nina--pengasuh Latte--kewalahan.

Entah apa yang terjadi hingga Latte bertingkah seperti itu. Bermula dari Latte yang menanyakan kenapa ia selalu diantar Papi--alih-alih Mami--seperti teman-temannya yang lain. Hingga kemudian gadis cilik itu ngambek begitu saja. Menolak segala bujuk rayu yang biasanya mempan Gihan gunakan untuk mengembalikan mood-nya.

Semua jadi serba salah. Sikap Latte seakan menguji kesabaran. Beruntung, Nila sedang libur hingga bisa ia mintai bantuan. Jika sudah kehabisan akal, memang hanya Nila satu-satunya harapan. Setidaknya, meski aksi mogok segala-galanya itu mau dilanjutkan, Latte akan menurut jika Nila menyuruhnya makan.

"Thanks," ucap Gihan. Apa jadinya ia tanpa Nila jika soal mengurus putri semata wayangnya?

Melihat kekalutan di wajah Gihan, Nila jelaskan duduk permasalahannya. "Latte bilang, temen-temennya ngejek dia nggak punya mama karena nggak pernah kelihatan dianter mamanya. Apalagi beberapa hari lalu itu Hari Ibu, temen-temennya pamer ngasih kado ke mamanya, sedangkan Latte nggak."

Gihan hanya bisa mendesah lelah, lalu lanjut menyesap chamomile tea miliknya.

"Kenapa nggak coba jelasin ke Latte?"

Gihan menggeleng. Latte masih terlalu kecil untuk paham.

"Latte anak yang pinter. Dia pasti paham." Nila tahu apa yang memberatkan Gihan.

Bukan berarti Gihan meragukan kepintaran putrinya. Hanya saja, terlalu berat. Gihan belum sanggup untuk menjelaskan.

Gihan lantas menoleh pada Nila, mengalihkan topik pembicaraan. "Udah malam, kamu nginep aja."

"Nggak, lah. Deket ini," tolak Nila. Pasalnya, rumah mamanya hanya berjarak dua blok dari rumah Gihan.

"Kamu kan nggak bisa tidur di kamar kamu." Gihan tahu itu.

"Biasanya juga tidur di kamar lain."

Gihan menatapnya dalam, tapi memilih tak berkomentar, beranjak mengantarkan Nila hingga ke depan rumah. "Hati-hati."

Nila mengangguk, mulai menunggangi motor matiknya meninggalkan rumah lelaki itu.

Baru lima menit berkendara, dering telepon di tengah jalanan komplek yang sepi terdengar hingga telinga. Terpaksa Nila menepi, mengeluarkan ponsel dari tas selempang, melihat nama Alfa terpampang di layar ponsel.

Change the WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang