'Apa kabar? Terlalu kaku ya pertanyaanku? :) tapi itu jujur, aku ingin tau kabarmu. Berbulan-bulan aku mengirimu surat, tapi tak ada satu pun surat balasan darimu yang aku terima. Kamu tau? Rasa rindu menggerogoti di tiap hariku. Aku rindu tawamu, senyummu, bahkan aku rindu wajah cemberutmu. Tak apa, tapi aku harap kamu baik-baik saja. Aku akan kembali dua minggu lagi. Aku harap ini kabar baik untukmu.
Note : aku benar-benar rindu padamu.'
Tanpa sadar, Nayla meremas kertas berwarna pastel itu, nyaris sobek. Emosinya seperti bermain setelah membaca secarik kertas itu.
Surat itu datang lagi!
Lagi dan lagi, air mata mulai menetes.
"Kamu masih biarkan aku menunggu selama dua minggu ke depan?! Mempermainkanku dengan sekian banyak kata rindu dalam kertas?!"
"Omong kosong!!"
Nayla melempar kertas itu ke arah tempat sampah di ujung sudut kamarnya. Meleset.
Ia meringkuk memeluk kakinya. Menikmati wangi aromaterapi dan menikmati sesengguk isak tangisnya sendiri yang beradu dengan kilat petir di luar balkon kamar.
***
"Ben!"
Mikha setengah berlari dan melambaikan tangannya. Mendapati kakak laki-lakinya ada di depannya, Mikha memeluknya, rindu, begitupun dengan Je, sepupunya.
"Gimana?" tanya Mada sembari memberi peluk pada adik laki-lakinya. Reuben tak menjawab, hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Balik yuk! Kangen rumah." hanya itu jawabnya. Mada seakan mengerti, ia mengusap sayang kepala adiknya yang lama tak berjumpa dengannya.
Mobil melewati satu rumah yang sangat Reuben hafal. Rumah yang dulu sering ia kunjungi. Rumah yang membuat Reuben mau pergi keluar dari rumahnya sendiri. Rumah yang kini terlihat jauh dari harapnya.
"Apakah masih sama?" gumamnya.
"Apa Ben?" tanya mereka nyaris bersamaan.
"Apa? Apa gue bilang sesuatu?" katanya sambil mengangkat bahu, berbohong.
***
Nayla mengikuti jalan setapak yang ada di taman komplek rumahnya.
Gerimis mulai membasahinya, tapi Nayla tak peduli. Ia senang datangnya hujan, seakan memaksa mengingat segala tangisnya.
Angin membiarkan cardigan putih yang melekat padanya sedikit tercoak. Nayla merapatkannya, memeluk tubuhnya sendiri.
Seperti yang sudah dikatakan, hujan memaksa mengingat segala tangisnya.
'Aku ngga bisa lepas kesempatan ini Nay, ngga bisa!' lelaki itu nyaris membentak gadis manis di hadapannya. Sementara air mata Nayla menggenang di pelupuk mata, ia meradang melihat lelakinya seperti itu.
'Maafin aku Nayla, bukan aku mau meninggalkanmu. Hanya saja....' kalimatnya terhenti, menggantung begitu saja. Lantas ia memeluk gadis yang terlihat rapuh di hadapannya.
Nayla diam dalam peluk lelaki dengan alis tebal dan rambut hitam pekatnya, merasakan setiap perih dalam dadanya yang seakan tak mampu ia redam.
Nayla bahkan tidak pergi meninggalkannya, ia seakan begitu paham bahwa waktu akan memisahkannya dan lelaki di hadapannya.
Ingin rasanya ia menampar sosok di hadapannya keras-keras saat itu juga, tapi tak bisa. Kekuatannya seakan lenyap saat Nayla melihat manik matanya.
'Ini impianku, Nayla. Maafin aku.'
Tanpa Nayla sadar, ia terdiam melihat ke langit dan mendapati bahwa hujan dengan kejamnya menusuk tubuhnya. Lemas, ia terjatuh. Lalu mendapati sneakers hitam di hadapannya. Sedikit mendongak, samar ia lihat wajah seseorang. Sekilas itu adalah dia yang dalam dua minggu ini akan datang.
"Jangan bangunkan aku jika aku sedang bermimpi saat ini." gumamnya sembari mengusap wajah yang diterpa air hujan.
Lalu semuanya gelap.
***
Nayla membuka mata, melihat keadaan di sekelilingnya. Ini kamarnya, masih dengan langit-langit yang sama.
Nayla merapatkan selimutnya, kembali meringkuk dalam dinginnya udara yang membuatnya sedikit menggigil.
Sebatas mimpi, pikirnya.
Mimpi yang memutar kembali memori itu.
Menyedihkan.
***
Part 3 done! Haha semoga dapet ya feelnya :')
Btw yang di media itu loh yang namanya Reuben :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Bersamamu // TOV
Fanfiction"Inilah duniaku, untuk bersamamu." Cover by : Jessica Ayu Eka Pramudita