Sepeninggalan Je yang kembali pergi ke sekolah, Nayla berjalan tertatih menuju kamarnya. Ia ingin menghentikan segala kerja pada tubuhnya untuk sementara waktu. Rasanya lelah. Namun perumpamaan antara perban dan luka yang Jeremy katakan, nampaknya menyita sebagian besar pikiran, bahkan mungkin hatinya?
Nayla tidak begitu paham lagi mengenai masalah hati. Nayla pikir, hatinya sudah membeku sejak dia pergi. Tapi, kehadiran Jeremy nampaknya mengikis sedikit demi sedikit biang es yang melekat seperti benalu di dalam hatinya.
Drrrtt..... Drrrttt....
Nayla mengambil handphone-nya yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Melihat nomor yang sama yang menghubunginya terus-menerus selama beberapa waktu belakangan ini. Hendak Nayla matikan panggilan tersebut tanpa menjawab, namun ia urungkan. Ia men-slide ke kanan untuk menjawab panggilan tersebut. Sama seperti sebelum-sebelumnya saat Nayla menjawab panggilan tersebut, tak ada suara, kecuali angin dapat masuk dalam kategori tersebut.
Jujur saja, Nayla jengah!
"Halo?" ucap Nayla pada akhirnya, namun tak ada jawaban dalam beberapa waktu, 3 menit!
"Kalau tetap ngga dijawab, aku matiin aja sambungan telponnya. Besok aku ganti nomor, biar kamu –" belum selesai Nayla berbicara menumpahkan semua rasa kesalnya, suara berdeham dari ujung telepon sana membuatnya mengatupkan kedua bibir pucatnya rapat-rapat. Tak mampu berucap, namun ujung sprei berwarna hijau pastel bermotif bunga matahari dengan senyuman, tepat sebagai luapan suasana hatinya.
Hati yang sudah hancur tak karuan.
Hati yang dengan sangat perlahan sedang kembali ia rekatkan dengan hati-hati, sejak kedatangan sosok Jeremy dalam hari-harinya yang abu-abu.
Hati yang entah bagaimana ceritanya bisa kembali pada bentuk yang bisa dikatakan tak berbentuk, hancur!
Demi Neptunus, bahkan Nayla hafal untuk suara dehamannya!
Nayla menelan ludah susah payah. Ya Tuhan!
"Nay.. aku—" tak ada ucapan lagi yang terucap dari sebrang sana. Suara itu. Hanya dua kata yang terdiri dari kata sapa pada dirinya dan satu kata untuk melanjutkan kata lainnya, atau mungkin kalimat?
Entahlah, bahkan dari saat suara dehaman itu terdengar, ingin sekali Nayla mematikan sambungan telepon tersebut. Tapi dirinya membeku!
Hingga kesadarannya kembali sewaktu seseorang di ujung panggilan sana menyapanya singkat. Nayla tak sanggup bahkan untuk sekedar suara!
Klik.
Sambungan telepon pun terputus. Sama sepertinya beberapa waktu lalu yang secara sepihak memutus kontak dengan lelaki yang terus-menerus berusaha menjaga kontaknya walau dengan kertas dan amplop yang tak pernah mendapatkan jawaban.
***
Je mengetuk-ngetukkan pulpennya di ujung sepatunya. Ia sedang duduk bersila dalam ruang seni untuk mengurusi urusan mading bulan ini. Namun pikirannya tak ada di sana. Ketika ia merasakan lengannya disentuh pelan, ia mengerjap kaget.
"Gue balik duluan ya. Nanti gue setor tulisan gue. Bye!"
Hanya itu yang diucapkan Je pada teman-teman madingnya.
Ia malah akan merasa sangat bersalah apabila sosoknya di sana, namun pikirannya berkeliaran entah kemana.
Je melintasi jalanan ibukota dengan rasa tak karuan. Rumah Nayla-lah yang ia tuju.
Sesampainya di sana, Je mengetuk pintu dan Mbok Na yang membuka pintu, lalu mempersilahkan Je masuk. Sesaat setelahnya, Mbok Na bercerita tentang keadaan Nayla sejak pagi tadi, bahwa Nayla tidak mau keluar kamar untuk alasan apapun.
"Apa boleh aku samperin mbok?"
Mbok Na terlihat ragu untuk sementara waktu, namun mata Jeremy memberikan keyakinan. Anggukan Mbok Na membuat Je langsung melesat ke kamar dengan tulisan "NAYLA" di ambang pintunya.
Tok.
Tok.
Tok.
"Aku kan udah bilang mbok, aku mau sendiri!" suara Nayla parau dan geraman sempat terdengar sesaat sebelum ia redam dalam bantal.
Clek.
"Mbok—" ucapannya terpotong.
"Nay?" kepala Jeremy sedikit menyembul di ambang pintu kamar Nayla, "Boleh aku masuk?" Nayla menangguk lemah, lalu mengusap kasar wajahnya.
Jeremy meletakkan tasnya di sudut kamar Nayla, lalu mengambil kursi belajar Nayla dan menempatkan diri duduk di hadapan Nayla yang sedang duduk di tepi ranjang.
Jeremy tersenyum melihat Nayla yang masih tidak mau menatapnya.
Ia mengatur nafasnya sebentar, lalu mencoba mengajak Nayla bicara.
"Sakit?"
Hanya itu yang terucap dari mulut Jeremy. Nayla ingin menumpahkan semua pada Jeremy. Hanya saja, seperti ada sesuatu yang menahannya. Entah, tapi ia tidak ingin menyakiti lelaki di hadapannya. Nayla memeluk Jeremy, "Dia....kembali...." Isakan kecil Nayla dalam dekapnya, membuat Jeremy sesak.
"Aku akan jadi perban Nay, entah siapa yang melukaimu sampai seperti ini." Senyum pahit terukir di bibir Je, lebih untuk dirinya sendiri.
***
HAI hehe udah panjang kan part-nya?
semoga suka ya ><
Oh ya! Jangan lupa beli album TheOvertunes (Mada, Reuben, Mikha) para sepupu Jeremy haha di KFC :D
Salah satu lagunya ada di media, judulnya 'Jatuh dari Surga' hehe, thankyou gaes!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Bersamamu // TOV
Fanfiction"Inilah duniaku, untuk bersamamu." Cover by : Jessica Ayu Eka Pramudita