Part 9

364 29 1
                                    

Perban dan Luka

'Aku memberanikan diri menatap ke arahmu

Mencari sisi lain dari manik matamu

Takut-takut mata kita bertemu, lalu terkunci

Bukan senang, tapi aku takut

Takut terlalu dalam mengenalmu

Takut terlalu paham akanmu

Terlalu banyak takut dalam jiwaku

Terlebih aku takut jatuh cinta padamu

Lalu takut tak sengaja melukai hatimu

Hati dengan entah berapa banyak tambal-sulam disana

Hatimu nampak begitu rapuh

Tapi aku terlalu ingin meraihnya

Hingga sumpahku untuk menjagamu layaknya aku

Tak sadarkah kau, bidadariku?

Aku ada untukmu

Tapi kau rela memberi hatimu untuknya

Relakah kamu jika terluka, lagi?

Namun,

Biarkan aku tetap menjadi perban hatimu

Sekalipun aku paham

Jika perban hanya dipakai saat terluka dan dihempas setelahnya

Sekalipun aku sadar, jika perban dan luka tak bisa bersama

Selamanya'

***

Nayla memejamkan mata sejenak sesaat setelah membaca kolom puisi di mading bulan ini. Ia tau persis siapa yang membuatnya, walaupun ia absen mengurusi mading untuk bulan ini.

JEREMY HUGO!

Satu nama yang terus berputar sewaktu membaca puisi tersebut. Bahkan untuk judulnya saja sudah mengingatkan gadis manis itu pada kakak kelasnya.

Ia berjalan perlahan menuju kelasnya. Saat melewati lapangan basket, tanpa sadar Nayla berhenti dan melihat Jeremy yang sedang memainkan bola di kedua tangannya.

'Lama sekali rasanya aku tidak bersentuhan dengan bola basket.' pikir Nayla, dan tanpa sadar pula ia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

"Nayla? Ayo ke kelas!" ucapan Ellen tidak didengar oleh Nayla. Ellen justru mengikuti arah mata Nayla yang tersenyum menatap Je yang sedang men-dribble bola di kedua tangannya secara bergantian. Tanpa basa-basi, Ellen melancarkan aksinya sekalipun sekolah masih sepi, tapi Ellen tak peduli. Ia lalu berteriak dari pinggir lapangan, "Kak Jeremy! Dicari Nayla!" lalu sesaat setelah itu, ia melesat pergi meninggalkan lapangan sambil tertawa karena melihat ekspresi Nayla yang tidak siap.

Nayla menunduk malu waktu Je menghampirinya. Senyum sumringah Je menghangatkan hati Nayla melebihi sinar matahari yang perlahan meninggi.

"Kenapa senyum-senyum gitu Nay?" itu adalah kalimat pertama pagi ini yang diucapkan Je pada Nayla. Bukan sapaan selamat pagi atau kalimat seperti, "ada apa" atau sejenisnya, padahal bisa dikatakan Je menghampiri Nayla karena teriakan Ellen yang menyatakan bahwa Nayla mencarinya.

Rona merah di wajah Nayla semakin menjadi, namun pipinya menggembung karena sebal sukses dijadikan bahan godaan Je pagi ini.

"Makin lucu aja kalo pipinya gitu." lalu tawa Je memecah keheningan pagi hari.

Nayla mencubit kedua pipi Je, menyebabkan kedua pipi itu memerah dan sang empunya meringis kesakitan.

"Sama kakak kelas kok gitu." Je mencibir, sedangkan Nayla tersenyum geli, "Kakak kelas kok macemnya kaya kamu?" Nayla menggelengkan kepalanya, lalu pergi.

Baru lima langkah ia menjauh, Je memanggilnya, membuat Nayla berputar 180 derajat untuk menghadap Je, membuat anak-anak rambut Nayla agak sedikit terurai dari ikatannya.

"Have a nice day!" lalu Jeremy tersenyum tulus, membuat Nayla tak henti bersyukur dapat mengenal sosok di hadapannya itu.

"You too Je!" lalu Nayla segera memutar arah tubuhnya untuk menyembunyikan warna merah pada pipinya.

***

Reuben berhenti dan berlutut sejenak untuk mengikat tali sepatunya yang mulai melonggar. Keringat bercucuran dari dahi hingga leher serta rambut hitamnya yang mulai basah. Ia butuh membuka pikirannya. Pikirannya kalut, hanya karena penutupan telpon sepihaknya dengan Nayla dua hari kemarin. Lari pagi sepertinya bagus, setidaknya Reuben tidak hanya berdiam diri di rumah dan bergumul dengan pikirannya sendiri. Dengan kaos putih polos yang dilapisi jaket merah dengan logo Liverpool, klub sepakbola kesayangannya asal Inggris dan celana training panjang, Reuben melanjutkan kembali perjalanan lari paginya. Melewati rumah demi rumah dan gedung demi gedung. Melewati satu gedung sekolah dengan papan nama yang sudah tak asing lagi bagi hidupnya, gedung SMP-nya dengan Nayla, membuatnya menyunggingkan senyum di ujung sudut bibirnya.

Reuben menyempatkan diri untuk membeli bubur kacang hijau yang ada di depan gedung sekolahnya dulu. Lembar kenangan demi kenangan seakan-akan menempel tak mau pergi dari kepalanya.

Ia ingat waktu Nayla yang belum sarapan, akan ia paksa menemaninya memakan bubur kacang hijau ini. Walau Nayla hanya memakan separuh mangkuk pun, seulas senyum dan rasa bangga akan muncul dengan sendirinya.

"Eh mas, kemana aja? Lama ndak kelihatan." ucap si ibu pemilik warung bubur kacang hijau itu. "Ih, ibu ini bagaimana toh? Ya pasti melanjutkan sekolah ya mas?" kali ini si bapak yang menimpali dengan tawa dan logat jawa yang tak kalah dengan si ibu yang sedang tersipu malu.

"Iya pak." jawab Reuben ramah. "Ah iya, temannya yang perempuan mana mas? Kok ndak diajak?"

"Oh, si nak Aya ya?"

Bapak dan ibu pemilik warung terus mengobrol dan seakan bernostalgia mengenai Reuben dan Nayla tanpa menghiraukan Reuben yang memucat saat mendengar nama Nayla.

"Eh iya, ini mau makan disini apa dibawa pulang bubur kacang hijaunya?" si bapak kembali memecah lamunan Reuben.

"Em, dibawa pulang aja, enam bungkus ya pak!" sahut Reuben yang terdengar bersemangat.

Sambil menunggu pesanan, ia kembali menerawang.

Aya,

Satu nama dengan sejuta kisah dengannya.

***

Itu di media lagu TheOvertunes yang judulnya 'Sayap Pelindungmu' lagu buat Je yang mau jadi perban buat Nayla.

Perban = Sayap Pelindung

"Ku akan selalu, jadi sayap pelindungmu." - Je

Mau ingetin aja kalo Je itu nama panggilan Jeremy :D thankyou yang udah vote dan ninggalin komentar.

Happy Reading!

Dunia Bersamamu // TOVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang