Part 13

336 29 1
                                    

Deg!

Seluruh tubuh Reuben mendadak kaku. Aliran darah seakan mati dalam tubuhnya. Sistem saraf pun terasa bekerja dengan tidak baik. Yang ada dan yang bisa Reuben rasakan hanya desir jantungnya.

'Aya...' panggilnya lirih dalam hati.

Reuben memejamkan matanya sejenak, mengatur diri agar tak salah bersikap. Apa sekarang? Reuben berpikir langkah selanjutnya, tapi buntu. Tak ada jalan keluar. Semua pikirannya dipenuhi satu nama. Aya.

"Gi? Kalian saling kenal?" tanya Je, memecah konsentrasi Reuben.

"Sorry, gue balik duluan." Ucap Reuben singkat.

Semua memaku diri di tempat masing-masing. Berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa Nayla akan mengejar Reuben? Apa Reuben akan berbalik dan memeluk Nayla? Apa Nayla akan mengatakan sebuah penjelasan lebih lanjut, seperti, 'kita dulu teman satu sekolah' atau lainnya? Atau apa?

Tiba-tiba terdengar gesekan antara sepatu dengan rerumputan di sekitar sana. Nayla berlalu pergi. Itulah yang terjadi selanjutnya.

***

"Kenapa gue pergi? Bukannya gue balik juga buat dia?"

Reuben kembali menangkup wajahnya sendiri dan menghentak-hentakan kedua kakinya dengan tidak sabaran. Bahkan bangku taman terasa tidak nyaman untuk dirinya saat ini.

"Gi." Tepukan lembut pada bahu kirinya membuat Reuben kembali dalam kesadaran. Mada mengambil posisi duduk di samping salah satu adiknya itu. "Lo kenapa?" dua kata yang membuat Reuben ragu untuk sejenak. Tapi ia yakin, paling tidak Mada akan mengerti.

"Mad.... dia itu...." Reuben menghembuskan nafas dan bersandar lesu.

"Temen kecil lo yang suka main basket? Salah satu alasan lo berat buat pergi ke Denver. Ya kan?" jawab Mada ringan, membuat Reuben menatapnya heran. "Ngga usah ngeliat gue kaya gitu. Gue kakak lo." Mada mendengus geli. "Jadi problem lo?"

Reuben berdecak kesal. Ia pikir kakaknya benar-benar paham akar masalahnya. "Gue pikir cewe yang Je ceritain waktu kita jamming bareng, Nayla."

"Satu cewe yang sama." Simpul Mada cepat. "Masalah lo sama Je itu satu cewe yang sama, Gi." Ucapan Mada membuat Reuben menarik kembali kata-kata bahwa Mada tidak paham akan akar masalahnya.

***

Di sisi lain,

Nayla duduk sambil meneguk sebotol air mineral. Bulir-bulir keringat bergerak menyatu bersama dengan bulir-bulir air mineral yang diteguknya dengan tidak peduli.

"Dia itu kenapa sih? Kenapa nyebelin banget?"

"UGI NYEBELIN!" teriaknya lalu meremukan botol plastik air mineral yang isinya sudah habis ia tenggak.

Ia menggigit handuk yang ia kalungkan di lehernya, lalu berteriak sekuat tenaga. "AAAAKKKKHHHH!!!" pekiknya terpendam.

"Apa-apaan dia?! Datang dan pergi dari hidupku seenaknya!" Nayla menunduk dan menggeleng pelan. "Bahkan kata rindumu dalam secarik kertas dalam surat itu pun tak berarti apa-apa ya, Gi?" ia tersenyum pahit.

Putus asa. Ia tidak lagi mengerti Reuben, Ugi, atau siapapun dia namanya. Lelaki dengan bayangan sempurna baginya. Bagi hatinya. Yang sukses membuat hari-harinya berwarna, termasuk abu kelabu.

Tak jelas.

Samar.

Tak tertebak.

Ugi.

Reuben Nathaniel.

Nayla lalu beranjak pergi, bersenandung sendiri.

"You're fuckin' perfect to me!"

***

'Satu gadis yang sama dan kenapa harus gue sama Jeremy? Kenapa harus kami dan Nayla?'

Reuben kembali berpikir. Tapi apa yang sebaiknya Reuben lakukan?

Mengembalikan senyuman Nayla atau mengobati lukanya?

"Aya, apa yang kamu mau aku lakuin sekarang?" gumam Reuben.

Apa Reuben harus mengaku kenal pada Nayla setelah apa yang dulu ia lakukan? Apa ia harus berpura-pura tidak mengenal Nayla? Bukankah itu lebih baik? Bukankah Jeremy sudah bisa mengembalikan senyum Nayla yang dulu dengan jahatnya Reuben ambil? Tapi apa dengan begitu Nayla akan benar bahagia? Lalu, apa itu keputusan terbaik untuk Nayla, Reuben dan Jeremy?

***

Sorry for late update :( semoga ada yang baca. thankyou!

P.S : Ada salam dari Ugi, cek media hehe.

Dunia Bersamamu // TOVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang