Part 17

288 30 6
                                    

Acara pensi sudah selesai dan sekolah mulai sepi di setiap sudutnya, kecuali untuk yang belum dijemput atau ada beberapa urusan dengan sekolah; mungkin urusan perut (read: kantin) atau lainnya.

Nayla baru saja menutup pintu ruang kesenian setelah ia mengambil tasnya yang ia tinggal disana setelah beberapa menit ia melakukan rapat dengan anak-anak kesenian, kali ini tanpa Jeremy yang sedang bertugas untuk OSIS.

"Kenapa kamu ngehindar dari Jeremy?" langkah kaki Nayla berhenti setelah mendengar suara berat yang sudah lama tidak ia dengar. Oke, terakhir ia dengar adalah perkataan yang tidak sesuai keinginannya.

Reuben berjalan mendekat ke arah Nayla yang baru saja keluar dari pintu salah satu ruangan yang ada di sisi sebelah kirinya. Ia bersandar ke dinding sekolah dengan santai; kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan sebelah kaki menyilang, menimpa punggung kaki lainnya; menunggu Nayla berucap.

Nayla mendekat, berdiri di hadapan Reuben dengan punggung bersandar pada pilar sekolah.

"Jangan libatkan Jeremy." Tatapannya menatap ke lantai di hadapannya.

'Bicara saja seenakmu, Gi!'

Detik demi detik berikutnya diliputi keheningan. Tak ada yang berkomentar dan tak ada yang bersuara lagi.

Nayla menegakkan tubuhnya dan hendak melangkahkan kakinya, namun Reuben bergerak cepat. Ia menggenggam tangan Nayla, menariknya mendekat dengan tempo sepersekian detik. Mata mereka terkunci.

"Mungkin aku akan pergi dari kamu, Aya."

Hanya itu. Lalu menyeruaklah rasa sesak itu disertai genggaman tangan Reuben yang mulai melonggar.
Nayla berlari, tak peduli dengan tetesan bulir air bening dari pelupuk matanya yang mulai mengaburkan pandangannya.

Aya.

Aya.

Aya.

Panggilan Reuben menggema di seluruh memori otaknya. Ugi dan Aya. Ia merindukan Uginya!

Terus saja pergi. Kamu selalu menjauh.

***

"Kenapa lo bilang kaya gitu ke Nayla sih Gi?!" cecar Mada saat Reuben menceritakan apa yang ia katakan pada Nayla. Saat ini mereka sedang menunggu Mikha dan Jeremy dari kantin sekolah Je untuk membawa beberapa makanan dan minuman. Bukan berarti empat kotak snack kurang banyak. Mereka hanya perlu asupan lainnya, seperti minuman pengganti isotonic karena cuaca cerah.

"Gue..."
"Lo lanjut studi lo juga kan di sini! Di Indonesia! Di Jakarta, Gi!" Mada tidak habis pikir dengan tindakan adiknya. Bagaimana bisa Reuben mengucapkan kata-kata yang terdengar seperti kalimat perpisahan pada seseorang lama yang baru saja ia temui? Terlebih ini adalah dia yang ia sukai. Oh man!
"Gue ngerti Mad. Gue cuma ngga mau dia terus-terusan diem di gue. Gue... gue mau dia..."
"Lo mau dia move on? Ke Jeremy?" Mada melihat wajah Reuben sekilas yang sedang memperhatikan air mineral dalam kemasan di tangannya.

"Jangan nyesel untuk kedua kalinya, Gi." Kata Mada membuat Reuben terhenyak.

Tanpa mereka sadar, ada seseorang yang mendengar semua percakapan mereka.

***

"Gue tadi nyamperin Aya." ucap Reuben pada kakak sulungnya yang sedang merapikan susunan alat musik di dalam mobil. Perhatian Mada, kakak sulung keluarga Brahmantyo itu otomatis teralihkan. Mada menatap Reuben dengan tatapan yang seakan berkata, 'Ngomong apa lagi deh, Gi.'

"Gue tadi bilang sama dia buat jangan libatin Jeremy." Ia menghela nafasnya sebentar. "Gue juga bilang kalo gue bakal pergi lagi."

Jeremy yang awalnya akan memberikan beberapa botol minuman isotonic pada kedua sepupu yang ada di mobilnya, menghentikan langkah saat Reuben memulai percakapannya. Lalu ia sengaja bersembunyi, mendengarkan percakapan mereka berdua. Tidak sopan. Jeremy tau itu. Tapi rasa penasaran semakin bertambah. Sebenarnya ada apa antara Nayla dan Reuben? Sejak saat mereka berolahraga bersama di taman, lalu tadi, lalu... tunggu. Jadi, Aya dan Nayla adalah satu orang yang sama? Jadi selama ini..... Reuben dan Nayla? Jadi?

Jeremy bergelut dengan pikirannya sendiri hingga Mikha menghampirinya dengan dua kantung plastik hitam berisikan gado-gado untuk makan siang mereka yang baru dibelinya dari kantin sekolahan Je.

"Ngapain disini Je?" tanya Mikha mengembalikan Jeremy dalam dunia nyatanya. Jeremy menatap Mikha sejenak lalu menggelengkan kepalanya. "Ngga, tadi angkat telpon. Yuk ke sana!" ajak Je memecah rasa kagetnya.

***

"Je, lo serius mau ikut kuliah bareng si Ugi?" Tanya Mada sembari mengambil setangkup roti dan mengolesinya dengan selai hazelnut. Menyetir membuatnya lapar bung!

Je meneguk segelas air mineral di dalam gelas dalam genggam tangannya. Rencananya ia akan mengambil berbagai brosur yang sempat Reuben ambil dari calon kampusnya.

Bukan tidak ada internet. Tapi bukti secara nyata bukannya terkadang lebih membantu?

"Iya, kenapa Mad?" Jawabnya setelah air berhasil turun ke kerongkongannya.

Mada menggedikkan bahunya sebentar lalu menelan semua roti yang tersisa di tangannya sebelum memberi Je sebuah pertanyaan yang membuat Je menjawab dengan, sedikit ragu.

"Bukan karena ngehindar Nayla kan?"

***

'Ku sering bertanya dalam benakku
Apakah engkau orang yang datang memang untukku?
Benar-benar hanya untuk aku seorang?
Entah apa, tapi aku tak yakin
Mungkin seorang disana pun menunggumu
Menunggu untuk sebuah kepastian
Sama hal-nya denganku
Yang tak tau harus
Pasrah atau mengejar
Cintaku yang telah pergi
Terus mencari dan mengejar cintanya yang hilang
Aku pernah berpikir
Apa ini sebuah kebodohan?
Atau dia memang bukan untukku?'

***

Maapin pendek. Yang penting update (?)
Ditunggu votes sama comments ya. Kalo pada diem diem aja atuh gimana mau lanjut.... kan ga ada semangat.

Eya. Serius nih tari ya. Thankyou <3

Salam dari Mada di media!!


Dunia Bersamamu // TOVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang