Part 15

350 30 2
                                    

Jangan lihat Jeremy untuk saat ini. Dan jangan tanyakan alasannya. Sungguh, ini bukan Jeremy Hugo.

"Je, lo kenapa sih? Diem terus. Sakit gigi lo?" Mikha terkekeh sebentar berharap Je akan membalasnya, namun tidak. Je hanya sepintas melihat Mikha, lalu kembali mengacuhkannya. Yang dilakukannya kemudian adalah mengambil satu buah kentang goreng dan mencocolnya dengan saus.

"Pas tadi di tempat gokart juga lo kaya ngga semangat gitu. Padahal biasanya paling seneng balapan sama gue." tambah Mikha.

"Gue lagi ngga ngerti." Perkataan Je membuat Mada tersenyum dan menggelengkan kepala pelan. "Pasti cewe yang kemarin. Siapa namanya? Nayla ya?" Je mendongak menatap Mada di depannya yang sedang menggigit burger di tangannya, lalu mengangguk.

"Iya, dia kaya ngehindar." aku Je. "Sejak kemarin."

"Apa perlu tanya Ugi? Ada hubungannya mungkin?" tanya Je hati-hati dengan mata menatap Reuben yang sedang berjalan membawa sebuah nampan berisi pesanan-pesanan mereka. "Kenapa ngeliatin gue kaya gitu? Bener-bener cocok apa gue jadi pegawai di KeFeC (read: KFC)?" lalu Reuben tertawa, tapi tidak ada yang tertawa selain dirinya.

"Kita lagi hangout Je, lupain sebentar si Aya. Well, ini KeFeC bro! We need to have fun!" lalu Reuben pergi lagi untuk mengambil beberapa saus sambal.

Tanpa Reuben sadar, ia menyebut Nayla dengan panggilannya, Aya. Membuat Mada yang mengetahui kisah dua sejoli itu merutuki adik pertamanya itu. Dilihatnya wajah Jeremy, namun yang ada hanyalah arus tenang di wajahnya. Kemudian dilihat Mikha, takut-takut kalau adik keduanya itu mulai melontarkan spekulasi-spekulasi yang memiliki dampak. Tapi nihil, Mikha masih sibuk dengan satu gelas softdrink dan handphone yang sejak tadi ia scroll.

'Pake keceplosan segala aja lo Gi, elah.' Geram Mada dalam hati.

***

"Eh Je, gimana sama urusan pensi lo? Udah nemu sesuatu yang lo maksud itu? Yang baru, yang beda, huh?" tanya Mada sembari mengemudikan Nissan X-Trail hitamnya. "Belom ada ide." Jawab Je lemah. "Serius? Ide-ide gue kemarin ngga lo pake gitu? Oh My God Jeremy!" Mikha menghempas dirinya ke jok mobil.

"Gimana kalo kita bantu Je?" semua mata memandang Reuben yang berbicara, termasuk Mada dari spion mobil.

"Gue udah ngebantu kemarin. Tapi ngga dipake tuh." Mikha terlihat tidak tertarik karena idenya tidak ada yang digunakan. "Yaelah Mik, gitu aja ngambek. Tenang, kita pake sebagian ide lo." Jawab Reuben yang ditanggapi Mikha dengan menengok ke belakang, tempat Reuben dan Jeremy duduk bersebelahan. "Serius lo? Gimana?"

"Kita isi acara di pensi lo Je. Gimana?" tanya Reuben. "Ngapain?" tanya Mikha polos. "Lo ngasih saran apa sih Mik kemarin? Nge-band ada dalam ide lo kemarin kan? Nah itu!" seru Reuben gemas. "Gimana?" tanya Reuben lagi, yang dijawab anggukan dan tatapan meminta penjelasan dari Mada. Tapi yang dilihat hanya mengangkat bahunya. "Woohoo Ugi! Lo emang sodara gue banget deh. Thankyou!" tanya Je memecah komunikasi Mada dan Reuben dari spion dan tatapan.

"Je, itu ada ide gua juga kali." cetus Mikha tak terima. "Iya deh. Thankyou juga Mik!" lalu dilayangkan satu jitakan di kepala Mikha, "Gitu aja ngambek sih, haha!"

***

Nayla berjalan di koridor lantai dua sekolahnya. Ruang kesenian yang ditujunya terasa lebih jauh. Ia masih merasa tidak enak pada Jeremy karena cenderung menghindar.

Bukan, ini bukan salah Jeremy. Nayla sadar itu. Tapi mengetahui bahwa selama ini ia dekat dengan sepupu dari Reuben membuat kepalanya berputar. Apakah dunia sesempit itu? Sebegitu kuatkah sosok Reuben bagi hidupnya? Mau melupakan, tapi justru didekatkan. Sekalipun dengan sepupunya, tapi ia benar-benar tak habis pikir.

"Kamu ngapain berhenti disitu? Masuk." seru Je dari ambang pintu. "Rapat udah mau mulai. Ayo sini!" lalu kaki Nayla bergerak masuk ruang kesenian. Dalam lima belas menit awal, beberapa orang di dalam ruang kesenian yang adalah anak-anak OSIS dan anak-anak kesenian sudah mulai serius membahas mengenai pensi untuk ulang tahun sekolahnya yang sebentar lagi akan diadakan.

"Jadi susunan acara udah dibuat kemarin. Ada tambahan?" tanya salah seorang anggota rapat, yang adalah penanggung jawab acara untuk pensi sekolah kali ini. Tak ada jawaban, kecuali gelengan kepala para anggota rapat. "Oke, desain spanduk juga udah ada. Tinggal di bikin aja spanduknya. Lusa juga udah jadi." tambahnya lagi. "Masalah teknis untuk lain-lain juga udah oke. Dari kemarin kan anak OSIS juga udah sempet bahas masalah ini. Jadi anak kesenian, karena desain spanduk juga udah selesai, bantu bahas kita di majalah dinding dan majalah edar untuk bulan depan, gimana?" tanyanya.

Dan tak ada masalah untuk itu, paling tidak Je akan sibuk dengan urusannya sebagai anak OSIS dibanding anak kesenian. Untuk sementara waktu Nayla tidak perlu repot untuk menghidar.

Tapi untuk apa sebenarnya ia menghindari Jeremy?

Sebenarnya Nayla tidak tau pasti, tapi masih sulit untuknya mengetahui kebenaran bahwa dua orang itu adalah saudara sepupu.

***

Nayla berjalan menuju kelasnya, berniat mengambil tasnya yang belum ia bawa saat rapat tadi. Ia pikir rapat hanya sebentar dan ia akan segera kembali ke kelasnya. Namun tebakannya salah, rapat bahkan berlangsung hingga bel pulang sekolah berdering. Ia segera mengambil buku-bukunya yang masih berserakan di meja, lalu menggendong tas ranselnya dan menutup pintu kelas. Lalu ia langkahkan kakinya menjauh dari kelas, menuju lobby sekolah.

Saat itu dilihatnya sosok yang tidak asing di matanya sedang bersandar pada pilar di lobby sekolah dengan case gitar di sampingnya.

Mikha.

Begitu mirip dengan Reuben walau tampak dari belakang.

Nayla menepuk pelan pundak Mikha, membuat Mikha menoleh dan melepas headset yang melekat di kedua telinganya. Ia tersenyum manis.

"Ah, Nayla! Aku pikir Je yang–"

"Yang nepuk kamu?" lalu Mikha mengangguk untuk meng-iya-kan ucapan Nayla. Nayla menggeleng pelan, "Dia masih ada di ruang kesenian sama beberapa orang lagi. Biasa ketua OSIS pasti masih sibuk." Lalu ia tersenyum.

"Kamu ngga bareng dia?" tanya Mikha dan tanpa sadar Nayla menghembuskan nafas sedikit kasar sebelum menggeleng.

"Kalian kenapa? I mean, Je dari kemarin beda. He's not Je anymore, Nay." Ucap Mikha terdengar sedih. Tapi dia tidak tau, Nayla lebih sedih mendengarnya! Tak ada jawaban, tatapan Nayla menerawang langit siang yang sudah mulai menuju sore, agak kemerahan.

"Hm, entahlah. Oh ya, kamu ngapain ke sini?"

"Mau latihan sama Je." Wajah Nayla memperlihatkan wajah ingin tau dan Mikha menjawabnya. "Latihan buat pensi. Dia mau latihan buat pensi sekolah beberapa hari lagi kan? Nanti kita bakal isi acara. Kamu nonton ya!" ajak Mikha antusias. Nayla tersenyum singkat, tidak yakin akan menonton. "Aku pulang dulu Mik. Kalo kamu mau samperin Je, dia ada di ruang kesenian lantai dua. Naik aja, nanti ada tulisannya kok. Bye!"

Nayla berlalu saat Mikha mulai beranjak naik ke lantai dua menyusul sepupunya, Jeremy.

***

"LO KETEMU NAYLA?" tanya Je saat hanya sisa mereka berdua di ruang kesenian. Mikha menatap Je dengan wajah jengkel. Bagaimana tidak jengkel? Jeremy berteriak!

"Apaan sih lo Je? Biasa aja kali. Iya gue ketemu Nayla. Kalo ngga, gimana bisa gue sampe sini?!" Mikha masih menggerutu sembari mengelus telinganya.

"Gue kira lo nanya satpam." Tangan Je bergerak menutup pintu.

"Lo bilang apa aja sama dia?" kini mereka sudah berjalan berdampingan. "Nothing. Gue cuma ajak dia nonton kita pas pensi." Jawab Mikha santai. "Dan dia bilang?" "Dia ngga bilang apa-apa. Malah pamit pulang." Je diam. "Makanya Je, kita harus tampil maksimal!" tuntut Mikha. "Lagian juga kan, anak-anak sekolah lo pasti cantik-cantik! Hahaha!" Mikha berhasil memecah kesedihan yang sempat tersirat di wajah Jeremy.

"Modus lo!"

***

Vote sama komen yaaaa kutunggu :3

Media........ ada TheOvertunes dengan personil lama (read: ada Jeremy juga). Thankyou!

MERDEKA INDONESIA <3

Dunia Bersamamu // TOVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang