EMPAT PULUH EMPAT

21.8K 1.8K 6
                                    

Happy reading
.
.
.

"Huh...huh....huh......"

Fara bangun dari kondisi pingsan nya dengan nafas terengah-engah. Matanya langsung menatap sekitar. Saat mengetahui dirinya kembali ke dunia novel, rasa kecewa perlahan menggerogoti hatinya.

Fara menghela nafasnya dalam-dalam. Gadis itu langsung beranjak dari kasur yang ia duga klinik sekolah. Namun, saat kakinya akan menyentuh tanah, gerakannya terhenti.

Gadis itu mengerjap bingung saat melihat sekelompok laki-laki tertidur dilantai yang hanya beralas karpet tipis. Terlebih mereka adalah sahabat dari abangnya dan juga tunangannya.

Dengan perlahan ia berjalan melewati mereka. Jangan sampai langkahnya membangunkan mereka. Bisa ribet nanti kalau mereka melapor ke bos masing-masing.

Saat langkahnya mencapai depan pintu, Fara menghela nafasnya lega. Senyumnya terbit tanpa dicegah.

Saat tangannya akan menyentuh handle pintu, senyumannya membeku. Pintu itu terbuka tepat saat tangannya mengambang.

"Fara."

Nathan masuk ke dalam klinik dengan ekspresi lega. Laki-laki itu langsung memeluk Fara erat. Hatinya sedikit ringan, saat melihat keadaan adiknya yang membaik.

"Gue khawatir, dek. Kenan bilang Lo balik ke dunia Lo disana," ucap Nathan dengan nada bergetar. Laki-laki itu masih mengingat dengan jelas perkataan Kenan beberapa jam lalu.

Jutaan detik lalu Nathan lalui penuh dengan kegelisahan. Dirinya sangat takut dengan pikirannya sendiri yang jelas selalu muncul berbagai hal negatif.

Fara mematung dengan tubuh yang menegang. Tangannya dengan kaku menepuk pundak Nathan.

"Gue masih disini kok," ujar Fara pelan.

Nathan mengurai pelukan mereka. Tangan laki-laki itu berpindah ke pipi Fara dan menangkupnya penuh kasih sayang

"Jangan tinggalin gue, oke!" Kata laki-laki itu.

"Takdir siapa yang tau," ucap Fara lalu memegang tangan Nathan yang masih betah dipipinya, berniat melepaskan tangkupan itu.

Fara mengalihkan tatapannya asal, lalu beranjak dari sana.

"Gue ke kelas dulu, bang."

Fara beranjak dari sana tanpa menatap Nathan. Langkah gadis itu penuh keyakinan, tidak ada keraguan, meski hanya setitik.

Laki-laki itu masih terpaku ditempatnya. Matanya menatap punggung Fara yang mulai termakan tembok. Perlahan tangannya terangkat, ia menatap telapak tangannya sendu. Setetes kristal bening jatuh tanpa diminta.

"Gue takut pikiran gue jadi kenyataan. Far, gue mohon jangan pergi, gue sendiri disini."

Laki-laki itu bergumam pelan lalu berbalik beranjak dari sana seorang diri, tangannya dengan kasar mengusap air mata yang entah kapan membasahi pipinya. Langkahnya penuh dengan keraguan, seolah jalan yang dia ambil salah.

*****

Sesosok laki-laki dengan pahatan sempurna duduk di kursi kebesaran khas seorang CEO perusahan besar dengan tenang. Dia menatap jam pasir yang terletak tak jauh dari mejanya. Perlahan seringai misterius muncul diwajah paripurna itu.

"Sebentar lagi akan saya pastikan, kita akan bersatu."

*****

Fara duduk dibangkunya dengan diam. Gadis itu langsung menidurkan kepalanya diatas meja. Hatinya tiba-tiba perih saat melihat laki-laki yang memiliki hubungan darah dengannya mengeluarkan air mata. Haruskah ia melupakan keinginan hatinya? Haruskah ia melupakan kariernya didunia nyata?

Huft

"Loh, Fara. Kok Lo disini?" Tanya Afri yang baru tiba dikelas. Kebetulan gadis itu berniat menjenguk Fara diklinik, tapi saat melihat sahabatnya baik-baik saja, rencanya sudah pasti gagal.

"Gue nggak sakit."

'Nggak sakit, kok pingsan?' batin Afri mencibir.

Tanpa dicegah, gadis itu langsung menyentuh kening Fara dengan telapak tangannya. Saat merasa suhunya normal, ia mengangguk.

"Kantin yok," ajak Afri.

Fara menimang sejenak tawaran Afri. Saat dirasa tawaran itu lebih berat keuntungan ketimbang kerugian, Fara tanpa ragu mengangguk. Sepertinya, bakso super pedas adalah pereda stress paling manjurr, pikir Fara dalam hati.

Karena suasana sekolah yang sedang berlangsung KBM, kantin terasa sangat sepi. Hanya ada penjual makanan yang sibuk berlalu-lalang menyiapkan dagangan mereka.

Fara dan Afri duduk di meja paling dekat dengan penjual bakso. Dengan semangat, kedua gadis itu menyebutkan pesenan mereka.

Mereka menikmati pesanan makanan dengan gembira. Melupakan sejenak beban yang terpikul di pundak, setidaknya untuk sesaat sebelum kembali menghadapi kejamnya kenyataan.

Kehidupan yang indah, namun, hanya bisa dinikmati sejenak. Masalah selalu menanti dimanapun berada, selalu datang disaat yang tidak tepat.
.
.
.
TBC.

26 November 2022

Transmigrasi FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang