24. Idea

148 20 2
                                    

Bersama suasana hening yang menyenangkan, Eunseo berusaha merekam semua kepingan adegan-adegan didalam kepalanya, berharap suatu waktu dia dapat mengenangnya kembali, lalu mungkin dapat mengambil pelajaran dari sana.

Tentang potongan-potongan kehidupannya dengan banyak hubungan di suatu tempat yang berubah setiap harinya seperti sebuah paradoks.

Dari gedung yang sedang dia tapaki, bisa Eunseo lihat seorang ayah menangkap anaknya yang ingin menyebrang dengan tiba-tiba tanpa mengamati adanya bahaya yang munbkin ada dikanan dan kiri jalan. Sang ayah lalu menggendong putranya kembali kebawah gedung yang ada dibawah kakinya ini.

Eunseo tersenyum tipis melihatnya. Anak-anak yang tak pernah mengamati bahaya dan masih memandang kehidupan sebagai ladang bermain.

Kemudian Eunseo beralih, dan dapat dilihat beberapa orang yang bersepeda di sore hari yang santai, lalu mobil-mobil yang melaju cepat memenuhi jalan raya yang semakin terlihat padat, dan ada juga pejalan-pejalan kaki disepanjang trotoar yang berjalan beriringan dan cepat.

"Hei." Tepukan halus dibahunya membuat Eunseo sedikit tersentak. Dia sama sekali tak mendengar derap langkah kaki yang mendekat kearahnya.

Eunseo menoleh dan mendapati Seola yang sudah terlihat santai sore ini dengan mengenakan kaos polos berwarna putih yang dibalut cardigan dongker tanpa kancing. Sedangkan dirinya sendiri masih mengenakan stelan jas tanpa dasi.

"Sorry telat Seo. Tadi ada urusan sedikit dirumah. Belum lama kan nunggunya?"

"Santai kak. Ini pertemuan buat ngobrol-ngobrol ringan tukar pikiran ala pria." Eunseo tergelak melihat Seola yang tersenyum canggung karena mungkin merasa tak enak.

Seola mengangguk kecil. "Ok." Lelaki itu berjalan lalu berdiri disamping Eunseo yang menyandarkan tubuhnya dipembatas balkon.

"Jadi apa yang mau lo curahin ke gue, hm?" Tanya Seola, menatap Eunseo cukup lama.

Eunseo menoleh kesamping, menatap Seola yang masih menatapnya dengan satu alis terangkat. "Lo lebih tua dari gue kak. Jadi gue mau denger sesuatu dari lo secara khusus."

Alis Seola semakin terangkat keatas. "Tentang?"

Eunseo mengalihkan pandangannya kearah depan, bersama mata yang mengawang-awang, hingga akhirnya tawa Seola meledak membuat Eunseo menoleh bingung, tapi entah kenapa itu membuatnya tersipu saat melihat senyum tengil Seola.

Seola menepuk nepuk bahu Eunseo masih dengan senyum tengilnya itu. "Ok, ada apa lagi sama si kecil kesayangan lo itu, hm?"

Eunseo menunduk sambil mengusap lehernya. "Kira-kira apa yang bisa buat perempuan dewasa merasa terkesan kak?"

Mereka berdua sama-sama bersandar. Seola mengangguk-angguk mengerti, paham akan arah pembicaraan Eunseo kemana.

"Ummm, selama gue kenal Luda, jujur dia itu perempuan yang emang nggak gampang terkesan. Dia selalu punya prinsip dan pendirian yang kuat. Bagi orang-orang yang nggak tau dia mungkin bakal ngira Luda itu perempuan yang pemilih berstandar tinggi."

Eunseo tanpa sadar mengangguk-anggukan kepalanya. "Dia emang susah banget buat dimenangin."

"Seo, tapi lo satu-satunya orang yang selalu ada disamping Luda apapun yang terjadi. Nggak peduli seberapa banyak hubungan kalian naik turun, suka dukanya juga, cuman lo yang berhasil dapet perhatiannya selain Yeoreum. Harusnya lo bangga, Son Eunseo."

"Tapi gue khawatir kak." Eunseo memberanikan diri menatap Seola yang sudah memasang wajah serius.

"Nggak ada yang berubah sama hubungin gue sama dia setelah kita tunangan, justru semakin kesini gue rasa hubungan ini cuman jalan ditempat dan nggak ada perkembangan sama sekali. Padahal gue mau ke tahap selanjutnya, yang lebih serius dari sebelum-sebelumnya." Eunseo menghembuskan nafasnya yang berat.

"Jadi gue mau minta saran sama lo kak."

"Supaya Luda merasa terkesan, gitu?" Eunseo mengangguk, dan Seola langsung menggeleng.

"Gue juga bingung Seo."


+++++


Luda sadar, dia seharusnya sudah harus bisa belajar menerima dunia dengan apa adanya, bukan seperti yang dia harapkan. Begitu banyak orang, faktor, dan masa-masa yang menyumbangkan diri untuk menjadi sebuah kenyataan diluar kendalinya.

Namun kali ini justru dia mendapat batu sandungan saat akan berusaha lebih keras lagi untuk melakukan itu, bahkan dia sering bertanya pada dirinya sendiri 'Seharusnya tidak seperti ini.' Tapi nyatanya dia tidak bisa melakukan apapun.

Luda hanya bisa tersenyum melihat Bona yang sedari tadi menatapnya dengan penuh arti setelah memberi masukan-masukan.

Sedangkan Bona langsung tergelak melihat Luda yang masih terlihat bingung dan ragu. "Kalo aku jadi kamu mungkin bakal langsung kakak terima. Siapa sih yang bisa menolak pesona seorang Son Eunseo, hm? Kalo aku nggak jatuh sama pesona appanya Juna, mungkin dari dulu udah ngajak Eunseo nikah. Tapi sayang sampai sekarang nggak ada yang bisa nyaingin pesona kuat seorang Seola Kim, bahkan aku nggak bisa berpaling dari dia sama sekali, karena saking kuatnya."

"Gue kak." Luda dan Bona sama-sama menoleh menatap Dayoung yang tengah bermain dengan Juna di karpet dekat mereka.

"Eunseo juga bakalan nggak mau sama lo Yom. Soalnya lo berisik sih." Ujar Bona yang langsung membuat Dayoung cemberut.

"Gimana mau nggak nolak, dia aja udah kepincut sama seseorang kak." Sahut Luda, membuat Bona tertawa dan mengangguk-angguk, Sedangkan Dayoung sendiri sudah tersipu.

"Bisa aja lo kak." Ujar Dayoung malu-malu.

"Uang, jataban keren, cek. Tampang, duh nggak usah dipertanyakan lagi. Perhatian, humoris. Kurang apa lagi coba?"

"Tapi semuanya nggak melulu masalah material sama fisik Yom. Jenjang ini emang udah harus benar-benar matang." Ujar Bona memberi nasihat.

Tanpa sadar Luda mengangguk-anggukan kepalanya, setuju apa yang dikatakan oleh Bona. Dia harus mengambil keputusan yang lebih matang untuk permasalan ini, dan harus mempertimbangkan banyak hal lagi.

"Dulu, saat kita berdua ada difase itu. Aku sama kak Seola juga sama-sama khawatir, bingung, ragu, dan takut. Tapi tanpa kita berdua duga, setelah menikah ternyata banyak hal kecil yang bisa berdampak besar bagi kita. Perubahan perubahan yang kecil bisa menjadi hal besar untuk orang lain, karena dalam pernikahan itu kita jalan bersama-sama, bukan sendiri-sendiri lagi."

Luda sendikit menunduk, tangannya memainkan ujung pakaian diatas pangkuan. "Kupikir aku sudah cukup dewasa kak. Ternyata ujiannya adalah diriku sendiri."

"Jika kau bisa membuat keputusan cepat, perubahan juga bisa terjadi secara cepat, Lee Luda."

Bona tersenyum tengil bersama gelak tama, membuat Luda menaikan alisnya. "TMI Da, nikah itu ternyata banyak enak nya loh. Hahaha..."

"Your mind, kak."




~~~~~~~~~~

Discover : Time, Love, & DiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang