15. Perjalanan 5. (Misi Pencarian)

351 45 6
                                    

Pagi ini mereka di antar Konohamaru dan Udon menggunakan perahu kayu untuk melintasi sungai. Hanya ini satu-satunya rute terdekat untuk sampai pada suku pedalaman tersebut. Meskipun nantinya mereka harus menempuh jarak aman dengan berjalan kaki.

"Hindari jika mendengar suara seperti ini." Peringat Udon. Pasalnya sepanjang sungai yang mereka lalui, tak ayal suara hewan seperti katak begitu jelas terdengar.

Remaja itu menunjuk batang-batang pohon yang tinggi. "Itu adalah suara ular pada saat musim kawin. Sebisa mungkin hindari suara hewan seperti itu."

Keheningan terjadi selama mereka melintas. Bahkan riak air pun tak terdengar. Ini jauh lebih berbahaya. Dalam air yang tenang biasanya hewan buas justru terlelap.

Sungai ini di kelilingi tebing batu dan pohon rimbun. Terlihat sangat asri. Jika ada gelombang dari atas air itu, pertanda hewan akan naik ke permukaan. Bahkan mereka harus meneguk air liurnya saat melihat sepasang mata mengintimidasi mereka.

"Bisa kau lebih cepat?" Ron berujar begitu bergetar. Ia bahkan enggan membuka mata saat melihat hewan aligator menyembulkan tubuhnya ke atas.

"Ini sudah menjadi kecepatan maksimal. Lagi pula, sebentar lagi sampai. Aku pernah di bawa kakekku ke wilayah ini. Jadi jarak disini masih aman dengan suku kanibal."

Konohamaru mengira Ron ketakutan akan adanya suku tersebut.

"Bukan itu maksudku!"

"Lalu apa?"

Ron menunjuk hamparan sungai luas tersebut. Semua mata melihat apa yang di tunjuk Ron. Mereka tak bisa mengatakan apa-apa. Hanya satu dalam otaknya.

Jangan panik

Meski berkata demikian, tetap saja peluh keringat sudah menetes sejak pertama kali mereka menaiki perahu. Ini saja sudah menegangkan. Bagaimana jika bertemu dengan suku tersebut?

Sejak semalam dan pagi ini, gadis bersurai indigo hanya diam. Bahkan Hinata tak mengeluarkan suaranya jika tidak perlu. Hal itu di sadari oleh Naruto.

Diamnya Hinata, menjadi kegelisahan bagi lelaki pirang tersebut.

Gadis itu memang dasarnya pendiam dan pemalu. Tapi entah kenapa kali ini sikapnya berbeda. Naruto menyadari betapa seringnya dia menyakiti sahabat kecilnya ini.
Mata birunya menyendu, entah mengapa ia takut sekali jika kehilangan Hinata. Tapi dia terlalu pecundang untuk memulai.

Jemari mungilnya bermain di sisi perahu. Hinata menyentuhkan jemarinya pada sungai tersebut. Entah mengapa perasaannya begitu sedih. Ia pernah merasakan ini sebelumnya. Kehilangan sosok sang ayah.

Gadis itu menahan mati-matian bulir air mata yang menggenang. Namun sebagai gantinya, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Mengharuskan ia menutup matanya sejenak dan memegang dadanya yang tiba-tiba sakit.

"Hinata, kau baik-baik saja?" Hermione yang saat itu duduk tepat di depannya tak sengaja melihat ekspresi Hinata seperti itu. Ia melirik pada Naruto yang hanya diam dan menatap Hinata khawatir.

Gadis itu terpaksa menampilkan senyumnya.

Ini hanya perasaanku saja. Semua akan baik-baik saja.

Hinata menalan ludahnya susah payah. Sebelum ia menjawab kekhawatiran Hermione. "Aku baik-baik saja. Sungguh."

"Jujurlah Hinata." Desak Hermione. Ia sama sekali tak bisa di bohongi.

Memegang lengan Hermione dengan lembut. "Tadi entah kenapa tiba-tiba dadaku terasa sakit tapi sekarang sudah baik-baik saja."

"Kau pernah mengalami hal serupa sebelum kita menemukan Naruto, kan? Kau mengalaminya lagi?"

WHEN YOUR GONE {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang