3. Memulai kembali

672 87 6
                                    

Malam itu, Hinata memutuskan untuk mengurus jenazah ayahnya di serahkan pihak rumah sakit. Bukan ia tak mau, Hinata hanya tak sanggup. Tapi beruntung beberapa tetangganya mau membantu proses pemakaman.

Sedangkan yang setia mendampingi tak lain ketiga sahabat asal London tersebut. Meski beberapa kali Hinata memerintahkan mereka untuk kembali ke asrama, mengingat waktu terbatas untuk pulang di malam hari. Meski tak sampai pemakaman keesokan harinya, setidaknya Hinata tak sendiri di kala terakhir dengan jasad sang ayah.

Para pelayat berangsur meninggalkan pemakaman, hanya menyisakkan Hinata seorang. Kain selendang hitam yang ia sampirkan di kepala melambai indah di terpa sapuan angin. Ametis itu kini sudah kering. Hinata tak sanggup lagi untuk menangis. Hatinya, tubuhnya sudah bisa menerima kepergian sang ayah. Ia tahu, takdir memang kejam menyapa dirinya, tapi di sisi lain ia bertekad, pasti bisa melalui cobaan ini. Mengecup lama batu nisan tersebut sebelum akhirnya Hinata pergi meninggalkan pengistirahatan terakhir ayahnya.

Baru beberapa langkah berjalan, ternyata seseorang sudah menunggunya. Gadis itu sempat terdiam sesaat. Tapi kemudian dia memutuskan untuk menghampiri pemuda tersebut.

Dari kejauhan, dia tersenyum seraya melambaikan tangannya.

"H-hay" Sapanya. Ia tersenyum kikuk dan menggaruk kepala belakang.

"Mr.Potter__"

"Cukup Harry saja."

Hinata mengangguk. "Aku berterima kasih untuk semalam. Kalian sudah mau menemaniku semalam suntuk. Lalu bagaimana saat di asrama?" Tangan mungilnya membenahi rambut yang sempat menutupi matanya.

"Ya, tidak masalah. Kita ini teman bukan? Harus saling membantu. Soal itu_ kau tidak perlu khawatir. Kami baik-baik saja, tidak ada masalah saat di asrama."

Padahal yang sebenarnya terjadi, Harry, Hermione dan Ron. Terpaksa menceburkan diri ke dalam got, mengotori seluruh tubuh dan wajahnya sebelum memasuki asrama. Itu adalah ide gila Ron. Rasanya jika berasalan teori logis dari Hermione akan membutuhkan waktu lama. Cukup dengan berkata dusta. "saat akan kembali, mobil tiba-tiba mogok. Karena terjadi badai kami terpaksa turun dari mobil tersebut alhasil kami terperosok ke dalam gorong-gorong. Dan kau tahu Pak? Kami hampir mati karena terseret air gorong__" Ron begitu mendramatisir ceritanya.

"Sudah, sudah cukup sekarang kalian masuk dan jangan lupa bersihkan diri kalian sebelum memasuki asrama. Ujung kebun sana tersedia air." Sejujurnya para petugas tidak tahan dengan bau dari tubuh mereka. Apalagi tikus-tikus kecil bertengger manis di saku Ron. Sengaja ia melakukan itu.

Harry meringis mengingat kejadian semalam.

"Begitu ya, syukurlah"

"Lalu bagaimana sekarang? Apa kau akan kuliah hari ini? Atau istrirahat?"

Sejujurnya Harry berkunjung kesini, ia ingin memastikan keadaannya. Dia memang tidak tahu rasanya di tinggal orang tua secara lamgsung. Karena sejak kecil ia hanya tahu dirinya di asuh oleh orang tua angkatnya. Ia juga heran kenapa tidak ada satupun temannya yang datang. Tapi Harry tak selancang itu untuk bertanya.

Gadis itu sedikit terkekeh mendengar pertanyaan Harry yang beruntun. Mata sembabnya semakin tertutup. "Aku akan pergi untuk kuliah, jika mengurung diri justru semakin ingat ayahku." Katanya dengan tatapan sendu.

Dia sudah bisa tersenyum dan tertawa? Syukurlah.

"Kalau begitu, kita pergi bersama saja, bagaimana?

"Apa tidak merepotkan?"

Pemuda itu menggeleng, tersenyum senang. "Tidak sama sekali." Kini keduanya berjalan menuju pintu gerbang pemakaman.

WHEN YOUR GONE {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang