Part 25

3.9K 511 7
                                    

Dengan penuh emosi, Zergan menghampiri Kevin yang duduk teringkat di kursi kayu. Tanpa berpikir panjang, Zergan langsung memukul Kevin yang wajahnya sesungguhnya masih penuh luka lebam dan bengkak.

"Brengsek! Gak seharusnya manusia kaya lo masih hidup, Kevin" cerca Zergan yang tak berhenti memukuli Kevin. Kevin sendiri terus meringis karena sakit dibagian kepalanya, ditambah Zergan yang kini berganti memukul perutnya dan menendang, melampiaskan seluruh amarah kepada pelaku pelecehan seperti Kevin.

Melihat tanda-tanda Kevin akan pingsan, Zergan menghentikan pukulan dan tendangannya "setelah ini, lo bakal mendekam di penjara tapi perlu lo tahu, ada hukuman lain yang pantas buat lo sebagai pelaku pelecehan" desis Zergan mencengkram wajah babak belur Kevin.

Ketika Kevin sudah tak mampu menjaga kesadarannya, Zergan langsung menyuruh salah seorang anak buahnya menggotong Kevin pergi menuju sebuah Rumah Sakit. Bukan untuk diobati melainkan 'hukuman' yang tadi Zergan singgung. Kebiri.

Katakanlah hukuman ini terlalu berat namun Zergan tidak peduli, sebagai pelaku pelecehan, hal seperti ini menurutnya adalah pantas, memaksa seseorang memenuhi nafsu atas obsesinya, tidak layak untuk diberikan kesempatan kedua. Biarlah Kevin tidak memiliki keturunan kelak, yang penting dia tidak akan lagi bisa menodai perempuan lain dengan otak kotor dan labilnya.

Hukuman ini juga atas persertujuan keluarga Parwez. Bagi mereka selaku keluarga korban, rasanya bahkan mereka ingin menguliti Kevin hidup-hidup namun hidup di negara hukum, membuat mereka harus patuh dan berpuas diri dengan hukuman penjara pelaku. Hukum tidak akan memberikan kematian pada Kevin dengan alasan bahwa korban 'belum' sampai tahap pemerkosaan. Terkadang hukum memang tidak adil dan inilah yang membuat mereka menyetujui proses kebiri Kevin. Itu sebagai kenangan bahwa dirinya pernah hendak memperkosa gadis tidak bersalah.

***

Zenna tengah menandatangani berbagai dokumen di perusahaan baru nya, ditemani oleh Wilbert, sang sekretaris pribadi.

"Kak Wilbert, apa ada perkembangan baik mengenai kondisi Tina?" tanya Zenna sembari terus menandatangani berkas.

Wilbert dengan kacamata beningnya melirik sesaat sebelum akhirnya kembali ikut mengerjakan pemilahan dokumen yang perlu Zenna tanda tangani "beliau masih menjalani terapi bersama psikolog pilihan keluarga Parwez. Tampaknya mentalnya masih belum menunjukan perbaikan ke arah yang positif".

Gerakan tangan Zenna berhenti sesaat sebelum akhirnya menghela nafas "sudah kukatakan untuk berbicara non formal ketika tengah berdua"

Wilbert tersenyum kecil "saya lupa karena sudah terbiasa bersikap seperti ini"

Zenna hanya dapat mengangguk pasrah, meladeni Wilbert yang duduk manis di depannya, membantu memilah banyaknya dokumen "kak? Bisakah aku meminta tolong sesuatu?"

Wilbert tanpa memandang Zenna, mengangguk kecil, karena tahu bahwa Zenna tengah menatapnya.

Zenna menunduk, menyandarkan kepalanya di meja, seolah beban berat tengah menerpa dan dirinya perlu beristirahat "tolong jenguk Tina saat kakak memiliki waktu luang"

Kali ini gerakan memilah Wilbert ikut berhenti, dirinya memandang aneh Zenna "kenapa harus saya?"

Zenna mendengus dengan sikap acuh tak acuh Wilbert, pantas saja Wilbert belum memiliki pasangan diusianya yang telah menginjak 25 tahun "karena kakak orang yang menyelamatkannya, tubuhnya bereaksi berbeda. Buktinya dia tidak ketakutan saat kakak memeluknya saat itu kan? Aku sudah mendengar semua ceritanya dari Zergan. Disaat dia bahkan takut dengan kembarannya, dia justru merasa nyaman dengan penolongnya. Itu reaksi tubuh yang wajar. Dan aku ingin dia bisa sembuh seperti dulu lagi dan berarti memerlukan seseorang yang tidak otak dan tubuhnya takuti. Itu kau, kak" jelas Zenna panjang lebar, berharap Wilbert akan membantu.

Wilbert terdiam memikirkan sesaat, sebelum akhirnya tangannya mulai mengambil dokumen lain lagi sembari menjawab "tergantung kesibukan saya. Tapi bila ada waktu luang, saya akan coba menjenguknya".

Bibir Zenna sedikit terangkat. Entah mengapa, Zenna merasa bahwa Wilbert akan menjadi pasangan yang cocok untuk Valentina. Valentina yang labil karena memang masih 17 tahun, dipertemukan dengan Wilbert yang lebih dewasa, pasti akan jauh dari kata keributan.

"Apa anda sedang berperan menjadi dewi cinta, nona?" interupsi 0.1 yang mengetahui pikiran Zenna.

Zenna terkekeh dalam hatinya "Valentina pantas mendapatkan yang terbaik dan Wilbert sepertinya sosok yang mampu mengayomi Tina dengan rasa aman dan nyaman. Wilbert juga terlihat setia. Tina, sudah putus cinta oleh Egan dan harus mengalami pelecehan, aku hanya berharap Tina tidak mendapatkan pria brengsek. Jadi bila memang mereka jodoh, aku akan sangat gembira. Lagipula aku tulus ingin Tina sembuh dari traumanya, kalau benih cinta justru timbul di keduanya, ya berarti itu takdir kan, Zero?"

"Ya, nona benar. Nona, sebaiknya saat ini nona juga mulai merekruit para calon talent yang akan dinaungi oleh perusahaan nona, terlebih fasilitas dan mentor sudah dimiliki, tidak mungkin dianggurkan begitu saja"

Zenna setuju dengan ucapan Zero "aku sudah memiliki kandidat, tapi tidak tahu orangnya mau atau tidak, aku perlu menunggu besok saat tiba di sekolah"

"Baik nona"

Zenna meregangkan otot tangan dan punggungnya yang pegal karena telah lama duduk untuk menyelesaikan segala dokumen "terimakasih atas bantuanmu, kak. Sepertinya kita sudah bisa pulang sekarang"

Wilbert berdiri menatap Zenna yang tengah mengenakan blazer kerjanya, hendak pulang "anda pulanglah terlebih dahulu, saya masih tersisa sedikit pekerjaan tertinggal"

Zenna lantas mengangguk dan tersenyum "baiklah, hati-hati nanti pulangnya kak. Aku pamit" Zenna langsung pergi meninggalkan Wilbert yang kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Setibanya Zenna di lobby, terlihat Zergan sudah menunggunya dengan tampilan sederhana namun entah mengapa tetap terlihat luar biasa.

Kaos V neck lengan pendek berwarna hitam, dipadukan dengan celana jeans hitam juga, membuat tampilannya menjadi memukau, terlebih otot yang tidak berlebihan, membuat Zergan tampak hmm sexy? Zenna menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran liarnya mendominasi.

"Kepalamu sakit?" Zergan menghampiri Zenna yang berjalan mendekat, namun saat sudah dekat, Zergan justru melihat Zenna menggeleng pelan.

Zenna terkejut mendapati Zergan yang entah sejak kapan berdiri di depannya "astaga! Jangan mengagetkanku, Egan"

Zergan terkekeh dan mengusak rambut Zenna, gemas "kamu aja yang melamun. Sudahlah, ayo pulang, tapi sebelum itu, kita dinner diluar terlebih dahulu"

Zenna mengangguk dan menautkan tangannya pada genggaman Zergan, membuat Zergan tersenyum karena Zenna sudah bisa lebih dulu inisiatif menyentuhnya.



To Be Continue

***

New Me : 0,1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang