13. Sore sebelum senja

293 33 3
                                    

1 minggu sudah berlalu. Tidak banyak yang berubah dari hari-hari sebelumnya. Langit kembali belum kembali bersinar setelah hujan mengguyur seharian. Banyak yang berharap senja membuat langit menjadi lebih indah.

Pukul 3 sore adalah waktu untuk beristirahat setelah berlarian kesana kemari, yang terarah maupun yang tak terarah. Mereka pulang menuju rumah masing-masing, bertemu dengan keluarga atau sanak saudara. Tapi lain halnya dengan satu orang ini.

Dia tengah menunggu seseorang mengangkat telfonnya. Sudah berpuluh kali mencoba tetapi tidak ada hasilnya. Namun, dia akan terus kembali mencoba walau berakhir sama.

"Ayah.." gumamnya sembari menempelkan ponsel di telinga.

"Ayah.." kini dia memanggil berharap seseorang membalasnya.

Senyap tanpa suara. Dia duduk di atas kursi sembari memandangi warna langit yang suram.

"Ayah Jiro sakit.. Jiro butuh ayah" ucapnya lirih nan sendu. Dadanya sesak tapi sulit menangis. Rasanya seperti dihantam ribuan kali oleh angin.

"Ayah gimana kalo Jiro gak usah pulang?" tanyanya tanpa jawaban. Tatapan matanya mulai kosong menghadap langit.

"Jiro mau disini aja, sampe ada yang jemput. Ayah pasti jemput Jiro nanti.. iyakan?" Jiro diem sebentar, "atau bunda?"

Genggamannya semakin erat pada ponsel yang masih menempel di telinganya. "Sebenernya salahku dimana ayah?" nada suaranya berubah.

"Aku sadar diri yah, sepanjang apapun aku jelasin ke ayah jawabannya akan tetap sama. Tapi.. setidaknya ayah dengerin. Pertanyaannya, apa ayah mau mendengar?"

Jiro menutup matanya. Tangan yang memegang ponsel jatuh meluruh. Namun, sosot matanya belum berubah.

"Apa pernah ayah berpikir kalau perbuatan ayah salah? Ayah aku sakit.. semua yang ayah lakuin ke aku itu rasanya sakit. Pukulan ayah, bentakan ayah, kata-kata ayah, semuanya sakit banget yah.. perih. Luka yang ayah kasih ke aku terlalu banyak, apa ayah sadar kalau anak ayah sudah rapuh?"

Jiro diam sejenak, "Apa yang ayah lihat dari aku?"

"Pembunuh?"

"Penjahat?"

"Perusak kebahagiaan?," ia menggulum bibirnya yang sedikit bergetar menahan tangis.

"Atau.. anak yang tidak diharapkan?"

Sayup suara angin mengisi kesunyian. Jam terus berdetik waktu berjalan lama tanpa disadar. Air mata jatuh meluruh membasahi pipi pucat sedingin es.

"Setiap ayah marah apa ayah sadar gimana aku natap ayah?" suara Jiro bergetar, "disaat itu juga aku pengen denger maaf dari ayah, aku berharap ayah peluk aku sebagai permintaan maaf. Tapi itu gak pernah terjadi"

Matahari di depan sana semakin turun. Langit suram sudah kembali berwarna. Ia mengusap bekas air mata di pipi kirinya kemudian tersenyum. Jiro kembali mengangkat ponselnya.

"Ayah lihat langitnya gak?," tanyanya

Senyuman Jiro semakin melebar. Namun, dengan mata berkaca-kaca, "Senja datang ayah.."

'Ya, ayah juga lihat,'  ucapnya namun tanpa suara.

Jika waktu hidupnya berakhir nanti, Jiro ingin pergi saat senja datang. Dia akan pergi mengikuti sandhya, lalu orang-orang akan segera melupakannya saat malam tiba. Mengapa? Karna kesedihan akan dibawa pergi oleh malam yang kelam.

Jiro Dan Ceritanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang