23. DEJA VU

250 31 4
                                    

Di malam yang sama. Kali ini, terlihat Jiro ingin pergi ke kamar kakaknya untuk meminjam bulpoin karna miliknya sudah hilang semua.

Kenop pintu mulai ditarik ke bawah, derit pintu terdengar jelas di dalam kesunyian kamar Sena. Sebelum masuk, Jiro mengintip apakah ada kakaknya atau tidak.

Di dalam sana ada Sena yang sedang duduk di atas kasurnya. Dia terlihat sedang mengusap-usap pergelangan kaki, sesekali meringis kesakitan juga.

"Kak Sena kenapa?" gumam Jiro. Perasaan khawatir mendorongnya untuk segera masuk ke dalam kamar sang kakak.

"Kak Sen, kakinya sakit kah?" tanya Jiro sembari berjongkok di depan sang kakak.

Sena terkejut bukan main melihat kehadiran Jiro secara tiba-tiba di depannya. Dia tidak mendengar suara pintu dibuka sama sekali.

"Ngagetin aja lo! kirain demit nyasar"

Jiro memperhatikan lebam biru di kaki kiri kakaknya. Dari warnanya Jiro bisa tau kalau itu sangat sakit. Dia mengusap pelan luka lebam itu agar tidak terasa sakit.

"Gak usah sentuh-sentuh! rabies" sinis Sena menampik tangan adiknya.

Setelah itu, sang adik tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apapun. Sena pikir, Jiro kesal dan marah karna dia tampik tadi. Tapi adiknya kembali lagi membawa sapu tangan yang membungkus sesuatu.

"Itu apaan?" tanya Sena, curiga.

"Kompres, biar gak sakit" jawab adiknya, tidak seperti biasanya karena Jiro lebih suka menjawab asal dibanding dengan jawaban yang sebenarnya.

Melihat keanehan terhadap sikap Jiro, Sena jadi merasa bersalah karena berlaku kasar padanya beberapa saat yang lalu. Tapi dia menampik tangan Jiro juga karena takut kalau Jiro menyentuhnya terlalu keras, luka lebam itu sangat sakit.

"Kok bisa sampe kaya gini sih? lo nyungsep dimana?" tanya Jiro tetapi matanya fokus mengompres kaki sang kakak.

Sena melirik Jiro sekilas lalu membuang pandangan, "Bukan urusan lo"

"Yaudah" jawab Jiro singkat, seterusnya dia diam saja. Biasanya Jiro akan mengomel dan tidak mau berhenti mengoceh. Sena jadi bingung dengan tingkah baru adiknya ini.

Hanya sikap saja yang berubah, Jiro tetap penuh perhatian dan kehati-hatian dalam mengompres luka lebam di kaki kiri kakaknya. Sesekali Sena akan memarahinya karena menyentuh lukanya terlalu keras. Tapi lagi-lagi Jiro tidak membalas celotehan kakaknya. Dia hanya akan mengangguk, meminta maaf, atau bahkan diam saja.

"Kalo masih sakit besok lo izin aja, jangan dipaksain nanti tambah parah lukanya" ucap Jiro sebelum dia pergi.

Sena terdiam. Rasa sakitnya memang berkurang setelah diobati oleh adiknya, tapi rasanya berbeda saat Jiro mengobatinya sambil berceloteh ria. Sebelum Jiro meninggalkan kamarnya tadi, Sena ingin memanggil adiknya tapi suaranya tertahan.

Disisi lainnya, saat Jiro mencuci sapu tangannya di wastafel dapur, tiba-tiba pening menyerang kepalanya, lalu nyeri dibagian dada yang kembali lagi. Jiro mendudukkan diri sejenak di kursi ruang makan. Mengatur pernafasan dan mencoba untuk tidak panik.

Jiro menghela nafas panjang, "Kapan ya sembuhnya... capek kalo gini terus" gumamnya.

Setelah merasa lebih baik Jiro pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Dia menyelimuti diri sampai batas dada karena udara malam ini sangat dingin. Berkali-kali mencoba untuk tertidur tapi selalu gagal. Matanya memang tertutup tapi Jiro tidak tidur. Hingga sebuah usapan hangat ia rasakan di dahinya.

"Panas.." gumam pelan seseorang

Jiro merasa orang itu pergi karena mendengar langkah kaki yang semakin menjauh. Dia pikir dirinya sedang bermimpi atau berhalusinasi. Akan tetapi semuanya dipatahkan oleh seseorang yang kembali datang dan mengompres keningnya. Serta suara berat orang itu yang membuatnya langsung tau siapa dia.

Jiro Dan Ceritanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang