46. Selesai dengan memaafkan

414 26 9
                                    

"Sini Jiro makan dulu. Ayah kamu udah nungguin di depan daritadi. Nanti dia ngomel-ngomel lagi karna kamu lama!" bunda Jiro, Ainna. Dia menarik perlahan anaknya untuk duduk di meja makan. Ia melepas apron masaknya lalu mengambil piring makanan dan menyuapkan nasi untuk anaknya.

"Kenapa ayah nunggu diluar bunda?" tanya Jiro masih blank dengan ingatannya. Antara mimpi dan dunia nyata.

Kening Ainna mengernyit. "Kan' kamu nanti mau pergi, lupa, ya? tadi pagi udah bangun, eh ke kamar malah tidur lagi. Bunda mau bangunin gak tega, jadi bunda masak sebentar terus bangunin kamu nanti aja. Tapi ternyata udah bangun sendiri."

"Bunda, Jiro bisa makan sendiri gak usah disuapin" tolak Jiro sambil mendorong pelan suapan ibundanya yang kedua.

Ainna berdecak pelan. "Ish! kan bunda mau suapin anak sendiri, gak boleh?? sini majuan dikit jauh banget sih kan bunda susah nyuapinnya," ia menarik kursi yang di duduki anaknya lalu kembali menyuapi.

"Enak?" tanya Ainna dengan sepasang manik mata yang berbinar.

Jiro mengangguk dengan senyuman lebarnya. "Ini enak banget bunda! udah lama Jiro gak makan masakan bunda. Kangen banget, apalagi di suapin gini." Terharu. Dalam sesaat kedua mata Jiro memanas tapi ia menahannya agar tak menangis di depan sang bunda. Tidak mungkin ia menceritakan kisah tragisnya dalam mimpi tadi.

Baiklah. Jiro akan menganggap ini mimpi. Semua yang sudah terjadi padanya, pertemuan dengan kakaknya, juga semua plost twist di hidupnya. Ia senang sekaligus sedih karena harus melupakan semuanya yang merupakan sebatas bunga tidurnya.

Setelah sarapannya selesai, Jiro segera beranjak untuk menghampiri sang ayah diluar. Takut jika ayahnya pundung dan marah-marah nanti. Tapi langkahnya tiba-tiba dicekal oleh sang ibunda.

"Kenapa bun----- " kalimat Jiro terpotong dengan sebuah pelukan yang tiba-tiba ia terima.

Ainna memeluk erat-erat anaknya. Memberikan seluruh rasa sayang dan afeksi hangatnya untuk sang anak. Ia belai rambutnya, usap punggungnya, dan mencium pucuk kepala anaknya dengan penuh sayang. Sesekali ia menggoyangkan pelukan ke kanan dan kiri, menikmati cengkeraman pelukan yang sudah lama sama-sama tak mereka rasakan.

"Bunda kenapa peluk-peluk? minggir ih nanti ayah cemburu lho."

"Biarin! emang gak boleh ya, bunda peluk anak bunda sendiri?? kangen tauuu!"

Jiro menghela napas pendek. "Kan tadi udah ketemu bunda, nanti juga ketemu lagi. Kok bisa kangen sih."

Sang ibunda tak menjawab lagi. Mereka sama-sama menikmati pelukan hangat yang diberikan masing-masing dari mereka.

"Jiro, bunda sayanggg banget sama kamu. Walau bunda jauh banget nanti dari kamu, rasa sayang bunda gak akan pernah berkurang malah bertambah jadi berkali-kali lipat! bunda gak akan pernah lupain kamu. Anak kesayangan bunda, anak bunda yang paling manis, anak satu-satunya yang bunda punya." ujar sang ibunda panjang dengan intonasi yang sangat lembut.

"Jiro juga sanyang banget sama bunda! sayangnya Jiro lebih besar dari sayangnya bundan ke Jiro! pokoknya Jiro sayang banget sama bunda!!" balas Jiro semakin mengeratkan pelukannya.

Ainna tersenyum manis walau tak dilihat oleh anaknya. "Jiro baik-baik ya, sama ayah nanti. Jangan berantem mulu kasihan ayahmu itu udah tua nanti kena serangan jantung kan jadi anak yatim kamu."

"Kaya gak ada beban bunda ngomongnya. Emang bunda gak takut jadi janda??"

"Bunda masih cantik ya! bunda bisa cari lagi, wlee." balas Ainna.

"Ohhhh! jadi selama ini cinta bunda ke ayah itu cinta monyet??"

"Sttt! anak kecil gak ngerti cinta-cintaan!"

Jiro Dan Ceritanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang