44. Keputusan terakhir

286 28 2
                                    

"Kamu inget sesuatu?"

"Emm..." Jiro menutup matanya mencoba mengingat dan melihat apa yang tadi sempat lewat di kepalanya. Sebuah bayangan seorang wanita dewasa... itu pasti ibunya, tunggu ibu kakaknya. Sebuah kamar rawat yang berantakan dan darah yang tiba-tiba mengalir dari dinding.

"AAAAAA!!!" pekik Jiro kencang. Kedua tangannya menutup lubang pendengarannya. Suara benturan keras memekakkan gendang telinga Jiro. Dalam hitungan detik bulu kuduknya berdiri saat suara-suara aneh terngiang di kepalanya.

"Kamu kenapa Ji?? kenapa teriak-teriak?? hey!" seru Sena sambil mengguncang kuat kedua pundak adiknya.

Mendengar kerusuhan dari luar Andra segera menyelesaikan kegiatan di kamar mandinya, sebenarnya ia menjeda. Dengan perut yang masih mulas ia berlari keluar menghampiri brankar putranya.

"Jiro, kamu kenapa sayang? lihat ayah sini, kamu denger sesuatu? kamu denger apa, nak?? jangan ditutupin gitu telinganya, lepas ya sayang" dengan pelan Andra mencoba melepas tangan anaknya yang sedang menekan kedua telinganya sendiri.

"Gak mau! berisik ayah! serem ... suaranya ... takut ... takut ... ayah Jiro takut, ga mau denger suaranya! takut!!!!" Jiro semakin memekik keras.

Namun, tiba-tiba Jiro merintih sakit. "A-akhhh" ia mencengkeram kuat perutnya. Rasa sakitnya mengalahkan suara benturan yang terus menggema di telinganya.

Jiro menitikkan air matanya, menutup erat-erat kedua kelopak mata. "Ayah sakit! akkh!" rintihnya hampir berteriak. Semakin hari sakitnya semakin menyiksa, seperti sedang uji coba cabut nyawa.

"Jangan panik sayang, dengerin ayah ya. Atur pernafasan kamu pelan-pelan aja. Jangan buru-buru. Ayah disini. Jangan takut. Lihat ayah udah peluk kamu" ucap Andra. Suaranya terdengar lembut dan menenangkan. Ia mengusap-usap punggung kecil putranya.

Perlahan namun pasti Jiro tenang. Nafasnya kembali teratur walau masih sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin Jiro menetes. Dalam tenangnya Jiro sempat terbayang bagaimana jika setiap hari ia terus mengalami ini?

"Ayah gak panggil dokter Wisnu aja?" tanya Sena tak tega melihat keadaan adiknya.

"Gakpapa, perutnya sering kram gini. Cuma butuh penanganan ringan" Andra menunduk melihat wajah pucat anak bungsunya. "Jiro, udah lebih baik belum?"

"Udah.." jawab sang anak pelan hampir tak terdengar.

Sena mengusap peluh di kening adiknya dengan waslap. Selang beberapa saat Jiro tertidur dalam pelukan sang ayah. Wajahnya terlihat damai dengan kedua mata yang tertutup tenang.

Setelah menidurkan anak bungsunya di brankar Andra beralih pada anak sulungnya.

"Sena, ayo bicara diluar"

Kemarin sudah menjadi masa lalu dan hari ini pun hampir berlalu. Di depan sebuah cermin seseorang tengah meratapi nasibnya sendiri. Menerawang sampai mana ia masih bisa berjalan. Pada akhirnya ialah orang yang akan berkorban. Bukan ingin menyembuhkan melainkan menutupi kesalahan.

"Sen, Jiro butuh kamu"

Air matanya jatuh ketika suara itu kembali terdengar. Layaknya sebuah air terjun tanpa muara. Pada akhirnya ayahnya pun egois ingin mempertahankan dengan mengorbankan. Hatinya tahu jika ini adalah keinginannya. Tapi ketika hari itu datang jantungnya berdebar. Tubuhnya membeku seolah berhenti di satu waktu.

"Maaf... ayah egois, nak"

Sena jatuh meluruh menyapa lantai dingin kamarnya. Ia sandarkan punggung rapuhnya sembari menenangkan dirinya yang terus menangis.

Jiro Dan Ceritanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang