45. Bagian terakhir

304 30 4
                                    

Jiro terpaku pada selembar kertas di genggaman tangannya. Kedua matanya memanas, mulai berembun, hingga akhirnya mengabur. Dadanya sesak. Sudah tak sanggup membaca ulang nama siapa yang tertera di atas kertas putih itu.

Inikah sakit yang dirasakannya dulu? inikah sebabnya ia tak pernah bahagia walau sudah melupakan segalanya?

"Gak ... gak ada yang boleh pergi sekarang." lirihnya. Memeluk erat-erat kertas putih yang sedang dipegangnya.

"Jahat! gak ada orang baik disini! mereka egois dan gak pernah berpikir tentang perasaan orang lain!" Hatinya hancur. Sakit hatinya mendera seperti jarum yang menusuk setiap inci tubuhnya.

Sedangkan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang ayah selain mematung di tempat ia berdiri. Ini merupakan keputusannya. Melihat kesedihan putranya juga melukai hatinya amat dalam.

"Ayah ... tolong ... tolong bilang ke kak Sena kalo Jiro gak mau. Jiro gak mau terima apapun dari dia. Ayah bisakan batalin ini? Jiro gak mau ayah! gak mau!!" pintanya seraya menggapai tangan sang ayah. Namun, derai air matanya tak meluluhkan hati ayahnya.

"Ayah ... " Jiro menyerah. Ia menundukkan kepala sembari membersihkan wajahnya. Isakan di dadanya tak kunjung berhenti. Ternyata ada yang lebih sakit dari tubuhnya yang sudah diambang kematian.

Andra melangkah maju. Tangannya meraih tubuh ringkih sang putra untuk dipeluknya. Hatinya pun berat dalam memutuskan ini. Seberapa banyak alasan yang ia sebut tak akan merubah pandangan orang tentang keegoisannya.

Mungkin, dilain hari ia bisa menjadi seorang ayah yang tidak egois untuk salah satu anaknya.

"Maaf, nak ... ayah minta maaf" Andra mulai terisak pelan. "Ayah masih gagal. Ayah masih egois. Ayah belum berhasil menjadi orangtua. Maaf ... maaf untuk anak-anak ayah" suaranya semakin melirih, tenggelam dalam kesedihannya.

Jiro masih terisak-isak. Walau kepalanya mulai sakit ia belum ingin berhenti menangis. Biarlah ia buang seluruh air matanya hari ini. Jika bisa ... ia tak ingin menangis lagi. Jika bisa ... ia harap semua yang terjadi hanya mimpi buruk. Seperti saat cerita ini dimulai.

"Ayah, bisa gak ayah cari orang lain aja?? ... jangan kakak, jangan ayah, jangan keluarga kita. Bukannya ayah udah janji kalau kita bakal bahagia? kalau begini kapan bagian bahagianya ayah?" isaknya dalam pelukan sang ayah.

Jiro mendongak. Menatap sang ayah dengan wajah penuh air mata. "Ayah, kakak pergi kemana? Jiro mau peluk kakak ... mau peluk yang lama. Jiro takut gak bisa peluk kakak lagi nanti"

"Kakak gak akan kemana-mana sayang. Kakak ... pasti akan baik-baik aja. Kamu harus yakin kalau ini bakal berhasil. Kita pasti bisa lewati bagian terakhir ini. Kita ... pasti bisa hidup bahagia bersama" ucap Andra membelai lembut punggung putranya untuk memberikan sebuah ketenangan.

Sebenarnya Sena tak pergi kemanapun. Ia tidak berani berbicara pada adiknya dan memilih untuk mendengarkan dari luar. Namun, Sena juga tak menyangka jika akan seperti ini reaksinya. Jiro sangat takut kehilangan keluarganya. Disisi lain, Sena merasa hidup. Ketika tahu ada orang yang akan kehilangan saat dirinya pergi.

Misinya setelah ini adalah menemui ibunya. Sejak hari penghukuman sang ibu, Sena tidak pernah menampakkan dirinya untuk mengobati rasa rindu sang ibu. Bukan maksut ingin bersikap jahat. Saat itu Sena butuh waktu untuk mengobati lukanya. Bukanlah hal mudah melakukannya, butuh berbagai macam bentuk plester untuk menutupi seberapa dalam luka itu agar nanti tak terlihat oleh siapapun. Bahkan dirinya sendiri.

Jiro Dan Ceritanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang