The Power Of Ibu Negara

32 1 0
                                    

Hari berlalu dan tanpa terasa, sudah nyaris 1 bulan aku menjabat sebagai presiden di negara ini. "Ma. Ada bencana gempa di Jawa Barat dan aku sepertinya harus kesana besok. Kamu gimana?," tanyaku pada Renatta saat kami sedang menikmati teh sore di weekend itu. Qiana juga ikut. "Insya Allah besok pagi aku nemenin kamu, Pa," jawab Renatta. "Wait, Papa, Mama. Mmm...Qiana have it," sela Qiana dan ia memperlihatkan 2 celengan yang sudah terisi penuh pada kami. "Qiana mau buka celengan Qiana  dan isinya mau Qiana sumbangin ke orang-orang disana. Kan kasian mereka. Rumahnya kena gempa, belum lagi ada yang harus kehilangan orang tua dan saudara nya," sela Qiana dan ini membuatku tak tahan untuk memeluk gadis kecilku itu. "Nak. Papa bangga sekali sama Qiana. Tapi, katanya Qiana mau beli tas dan sepatu baru dari tabungan ini. Gimana donk, nak?," ujarku. AKu tahu, Qiana sangat menginginkan tas dan sepatu baru dari salah satu brand dan baik aku maupun istriku sepakat untuk mengajarkan Qiana menabung demi mewujudkan keinginannya atau anak kami itu harus memperoleh nilai yang bagus. "Kan bisa nabung lagi aja, Pa...Qiana gak apa-apa kok," sambung Qiana sambil tersenyum dan kuakui, Qiana memiliki senyum yang sama persis dengan Renatta. "Iya. Kalau itu maunya Qiana, mama dukung. Mama juga bangga banget loh, karena anak mama gak egois dan masih mau berbagi dengan yang membutuhkan. Itulah tugas kita sebagai manusia, harus saling membantu, Nak," sela Renatta. "Iya, kan papa sama mama ajarin Qiana untuk selalu berbagi. Trus kata oma, kalau misalnya kita makan dan disebelah kita ada yang laper tapi kita gak bagi makanan, kita dosa dimata Allah," balas Qiana. Ah gadis kecilku. Ia memang sudah tumbuh menjadi anak yang sangat baik pribadinya. Jaga ia agar selalu dijalan-Mu ya Allah. "Itu benar sekali, Nak. Kan kasian kalau orang didekat kita laper tapi kita kenyang. Itu gak baik, sayang," sahutku. "Pa. Ma. Bisa bantu Qiana buka celengannya gak? Trus mau hitung uangnya ada berapa," sela Qiana dan tanpa buang waktu, aku bersama istriku membantu Qiana membuka celengannya. Isi celengan anakku cukup banyak dan ada 15 juta rupiah karena celengannya berukuran lumayan besar. "Banyak loh, Nak. Ada 15 juta lebih nih. Gimana?," tanya Renatta. "Mama bawa aja. Atau beliin apa..gitu untuk disana, Ma," usul Qiana. "Iya Nak. Kamu benar. Kita beliin mereka alat sekolah aja. Pasti banyak anak yang gak bisa sekolah karena gak punya peralatannya, Sayang," ujar Renatta sambil melirikku dan aku paham maksudnya. "Iya. Papa tambahin nanti uangnya, Nak," sahutku. Maka, dengan bantuan paspampres, barang yang diminta Qiana untuk membantu warga korban bencana bisa dibeli. Malah, aku dan Renatta menambahkan uang dari putri kami. Kami juga membungkus paket alat sekolah dengan kertas kado bertulis, 'Salam hangat dari Qiana Moeloek.' Ya. Qiana memang lebih senang menuliskan Qiana Moeloek sebagai namanya. "Nah. Udah. Besok pagi, Qiana sekolahnya sama ayah Dani dan bunda Ajeng, Nak. Soalnya mama dan papa berangkat pagi banget. Gak apa-apa kan?," tanyaku sambil memangku sayang putriku. "Iya, gak masalah, Pa. Kan Qiana dan Mas Arya masih 1 sekolah, sama Kak ALton juga. Tapi mereka SMP nya dan Qiana masih SD," jawab Qiana. Kucium sayang putriku dan kemudian, kupeluk juga Renatta. Kami jadi saling peluk dan setelahnya, karena adzan maghrib sudah berkumandang, kami sholat bersama serta mengaji sebentar sebelum makan malam bersama. Malah, aku dan Renatta serta Qiana mengajak para staff di dapur istana kepresidenan untuk makan bersama kami. Ini karena aku dan Renatta ingin mengajarkan pada Qiana tentang kesetaraan kedudukan manusia dimata Allah dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan kedudukan dan harta.

Keesokan harinya. Aku dan Renatta berangkat usai subuh ke daerah terdampak bencana. Begitu tiba disana, kondisinya membuatku menahan sedih, begitu juga Renatta. "Mas. Kalau mau ke daerah sana kayaknya gak bisa deh pake mobil. Mana disana tuh, yang sepertinya butuh bantuan lebih," ujar Renatta padaku. Hari itu, aku dan Renatta kompak memakai kemeja warna navy blue dan celana hitam. Renatta memakai kaos lagi sebagai dalaman kemeja nya. "Maaf bu presiden. Disana memang bahaya daerahnya. Gak bisa pake mobil dan hanya pakai motor. Biar bantuan disini aja dulu dan warga yang kesini," sahut seorang pejabat di daerah itu yang kemudian aku tahu bahwa ia adalah sekretaris lurah. "Saya paham maksud istri saya. Dia ingin agar kita yang antar langsung bantuannya. Gini aja, Pak. Saya pinjam motor warga atau tossa nya deh. Biar saya dan istri saya yang bawa sendiri bantuannya kalau dari kalian gak ada yang mengantar kami kesana. Lagian, ini masih ada sinyal internet walau sedikit," timpalku. Ada emosi yang mendadak meluap namun harus kukendalikan. Aku ingat nasihat mamiku bahwa orang baik harus menjaga tutur kata sekalipun sedang marah. "Kalau itu kehendak bapak, ini pak. Ada 1 tossa milik kelurahan," ujar pak Lurah. Aku mengangguk dan Renatta ikut menaiki Tossa denganku. Bahkan sebelumnya, aku bersama istriku membantu menaikkan sebagian bantuan ke tossa yang akan kukendarai. Alhasil, kami memakai tossa untuk menembus daerah yang tak bisa dilalui kendaraan roda 4. Begitu tiba di daerah tersebut, rupanya pemandangan disana benar-benar memukulku sebagai kepala negara. Ada ibu yang harus berbagi 1 bungkus nasi dengan 3 anaknya. "Ma. Makanan masih ada?," bisikku pada Renatta. "Pa. Bahkan di dapur umum mereka, makanan juga tinggal sedikit. Beruntung kita bisa datang dengan membawa sebagian bantuan. Mama ke ibu-ibu disana dulu, ya. Papa teruskan membantu warga disekitar sini dan kita langsung ketemuan di dapur umum aja gimana?," usul Renatta. "Iya deh. Mama benar. Papa akan pantau perbaikan jalan dan tiang listrik dulu," sahutku. Sekilas kucium istriku. 

"Bu. Ini. Saya ada makanan," ujar Renatta. Ia hampiri ibu yang tadi kami lihat sedang berbagi 1 bungkus nasi dengan 3 anaknya dan salah 1 anak dari ibu tersebut seusia dengan Qiana, anak kami. Istriku itu mengangsurkan kotak makanan yang sedianya untuk kami makan siang dan ada 5 kotak. "Tapi.....Mbak gimana?," tanya ibu tersebut tanpa tahu bahwa yang berdiri didepannya adalah ibu negara alias istri dari presiden negara ini lantaran penampilan casual Renatta yang berbeda dengan petinggi-petinggi sebelumnya yang tampil formal sekalipun dilokasi bencana. "Udah, saya gak masalah, Bu. Ini untuk ibu dan anak-anak. Saya ke dapur umum dulu," jawab Renatta sambil tersenyum. "Ibu Renatta...," ujar seorang anak dari ibu tersebut. "Iya. Udah. kamu makan dulu dan jaga ibu serta adik-adikmu, Nak. Saya ke dapur umum dulu," sahut Renatta dan ia pamit. Ia tak mau terlalu mencolok dan mencuri perhatian. "Makasih, ya, Ibu. Ibu baik sekali, salam sama Pak Presiden dan semoga Allah lindungi kalian," ujar ibu yang dibantu oleh Renatta. "Makasih, Ibu. Oh iya. Ada bantuan sedikit dari kami, dan ini ada alat sekolah beberapa paket untuk ibu sekeluarga," sahut Renatta dan ia menyerahkan bantuan dari kami. Ibu tersebut sampai memeluk Renatta yang tanpa canggung membalas pelukan dari warga tersebut. Ini membuat Renatta dicintai warga karena ia sangat baik. Kemudian, saat di dapur umum, naluri chef dari istriku bekerja. Ia dengan cekatan segera mendesain menu makan siang dari bahan yang ada dan membimbing tim tagana serta para ibu untuk membuat menu sederhana namun bergizi. "Wah. Kali ini teh, chef nya bu negara," ujar bu Lurah yang ikut memasak juga karena menemani Renatta. "Ya...Ini kan juga pekerjaan saya sebelum dampingi suami sebagai kepala negara, Bu," sahut Renatta. Tangannya dengan lincah meracik masakan yang simpel tapi enak dan tampilannya menarik. Tak lama, aku dan jajaran pejabat dari kelurahan serta kecamatan dan kabupaten tiba untuk mengecek dapur umum. Malah, aku ikut membagikan makanan ke warga. "Pak presiden sampai ikut kasih kami makanan. Harusnya teh, kami yang sambut bapak dan ibu dengan baik," ujar seorang tokoh masyarakat. "Gak begitu, Pak. Sebagai kepala negara, saya yang harusnya melayani bapak-bapak dan ibu-ibu serta warga sini," sahutku, yang diamini istri tersayang. Renatta bahkan sempat mengajari ibu-ibu untuk membuat olahan sederhana dari hasil panen melon, yaitu keripik melon dan beberapa kudapan lainnya. Malah, dengan bantuan dari pemerintah dan juga keluarga besarku serta istri tersayang, segera berdiri pabrik untuk membuat sirup serta buah dan sayur kalengan di daerah tersebut dalam waktu dekat sebagai upaya perbaikan perekonomian.

Usai mengunjungi daerah tersebut, malam harinya aku dan Renatta menemui gubernur untuk membahas beberapa hal terkait rencana tindak lanjut beberapa program. Bahkan, program untuk membudidayakan makanan lokal juga kumasukkan sebagai upaya menambah daya tarik wisatawan dari sisi kuliner. "Untuk program 1 itu sepertinya..pak presiden bekerjasama dengan istri tercinta," goda Pak Ridwan sebagai gubernur. "Iya. Soalnya, banyak makanan yang udah jarang kita temui karena mungkin..mulai susah dicari bahannya atau faktor lain. Nah, kita bisa gali potensi kuliner dari tiap desa dan nantinya, bisa jadi khas dari desa itu. Jadi, gak hanya desa bambu misalnya, nih, karena di desa itu juga ada makanan khas yang..mungkin aja baru warga desa itu yang tahu, kan,"  sahutku sambil melirik istriku yang malam itu sangat cantik dengan setelan blazer dan sepatu dr.Marten andalan. Istriku itu memang tak terlalu menyukai high heels hingga detik ini. "Nah. Iya. Barangkali aja ada beberapa menu tradisional yang kalau di elevate lagi malah bisa mendunia dan itu menguntungkan untuk kita," timpal Renatta. Ya. Semua orang jadi mengenalku dan istri sebagai pasangan serasi yang sama-sama saling mendukung dan pintar serta penuh empati pada warga. Bahkan aksiku dan Renatta saat mengendarai tossa dengan membawa bantuan untuk warga mendapat simpati dari masyarakat negara ini hingga mancanegara. Namun, aku dan istri tak terlalu berlebihan menanggapinya karena itu wajar dan kami dalam kondisi harus membantu warga yang kesulitan akibat bencana. Kado dari Qiana pun menarik perhatian karena menurut warga negara ini, anak seusia Qiana plus anak seorang presiden yang baru duduk di kelas 4 SD sudah memiliki empat dan jiwa sosial tinggi dan mau tak mau, banyak yang menanyakan pola asuh kami ke Qiana. Menurut kami, memang Qiana diajarkan untuk memiliki empati sejak kecil agar ia bisa menjadi manusia seutuhnya yang tak hanya memperhatikan diri sendiri namun juga memperhatikan serta memiliki empati pada orang lain, terlebih yang tak seberuntung dirinya.

Kesempurnaan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang