"Aku takut."
Joohyun berucap pelan dengan masih setia memeluk tubuh Jihyo dengan erat. Setelah tadi pelukan mereka terlepas karena Joohyun menarik Jihyo untuk masuk ke dalam apartemennya.
"Tenanglah. Aku—ada disini."
Matanya menatap sekeliling ruangan milik Joohyun. Hanya ada satu kamar, ruang tamu, dan juga dapur yang berdampingan dengan kamar mandi. Terlihat biasa juga tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman.
Jihyo melepaskan pelukan Joohyun pada tubuhnya, menuntunnya untuk duduk di sofa sedang yang cukup untuk di duduki oleh mereka berdua.
"Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu?"
Joohyun mendongkak dengan mengusap sisa air matanya.
"Kau menyuruhku untuk pergi ke San Fransisco?"
Jihyo mengernyit dengan wajah datar, dan itu benar-benar keren di mata Joohyun.
"Aku tidak punya rumah disini. Orangtuaku tinggal di sana. Jadi—aku hanya menyewa apartemen ini saja."
"Kenapa tidak tinggal di sana saja?"
Joohyun menghela.
"Aku ingin kuliah disini."
Hening.
"Kau belum menjawab pertanyaan ku tadi. Dia—siapa?"
Mata kelinci itu kembali memanas. Dia tidak kuat jika harus mengingat lagi bagaimana rasa sakitnya ketika tubuh mungilnya selalu mendapatkan hantaman keras dari pria itu.
"Dia—Suho."
"Kekasihmu?"
Jihyo bertanya, dan dia malah berharap jawaban Joohyun adalah bukan. Bukankah sedikit aneh?
"Aku tidak pernah menganggapnya begitu."
"Lalu—dia siapamu? Apa dia—yang membuatmu seperti ini?"
Jihyo memang tidak pernah melihat siapa orang yang sudah memukuli Joohyun, tetapi dia sudah melihat pria itu dua kali dengan Joohyun yang selalu ketakutan karenanya.
"Suho—orang pertama yang dekat denganku saat aku tiba dari Dan Fransisco. Aku tidak pernah menganggapnya kekasih karena—aku tidak pernah merasa begitu, juga—aku tidak pernah mencintainya."
Jihyo mengangguk lega.
"Aku—terlalu bergantung padanya dulu. Karena aku merasa bahwa aku disini akan sendirian. Orang baru, tempat tinggal baru—semuanya baru. Jadi, aku selalu meminta bantuannya. Dalam apapun dan—hal kecil apapun. Orangtuaku bahkan sengaja menitipkan ku padanya."
Jihyo masih setia mendengarkan.
"Sampai ketika di tahun kedua aku berada disini, dia mulai berubah. Dia—selalu membentak ku jika aku meminta bantuannya. Padahal—tidak apa jika dia menolak. Aku tidak tahu apa salahku. Apa dia terbebani karena aku selalu meminta bantuan padanya? Sejak saat itu, aku mulai belajar mengurus semuanya sendiri. Dan—"
Joohyun kembali menangis, bahkan dia tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya. Rasa tidak tega dalam diri Jihyo menuntunnya untuk menggenggam tangan gadis mungil itu.
"Saat aku mulai melakukan semuanya sendiri, dia akan datang ke apartemenku, memarahiku dengan semua hinaannya, bahkan—memukuliku habis—habisan seperti-hari ini."