Lampu temaram di luar restaurant itu menyinari Joohyun yang berdiri di bawahnya.
Dia menatap kosong pada Jihyo yang sudah masuk ke dalam mobil.
"Ayo masuk!" Jihyo berteriak. Tapi, Joohyun mendadak tuli.
"Apa—kalian sedekat itu?"
"Tentu. Kami berteman sejak kuliah."
Jihyo kemudian turun. Menghampiri Joohyun yang masih tidak menyadari keberadaan dirinya di hadapannya.
"Kau tidak ingin pulang?"
Joohyun masih bisu. Sedari tadi setelah percakapan terakhir mereka di dalam restaurant.
"Aku—tidak suka jika ada yang mendekatimu, Brownie."
Itu bukan jawaban dari pertanyaan Jihyo. Pantas jika si rambut cokelat mengernyit heran. Tetapi dia tetap menjawab.
"Memangnya kenapa? Aku bebas dekat dengan siapapun. Kau—siapa?"
Joohyun kembali bisu. Benar, memang—siapa dirinya. Dirinya tidak punya hak apapun untuk melarang Jihyo dekat dengan siapapun, termasuk—Mina.
"Ada apa denganmu?! Sedari tadi kau terus menanyakan dirinya. Jika kau tidak suka dengan Mina itu urusanmu. Kau tidak perlu—"
"Aku cemburu." Lirih Joohyun pelan. Tetapi—berhasil memotong ucapan Jihyo.
"Aku—cemburu, Brownie."
Joohyun mendekat pada tubuh Jihyo. Mata kelincinya menatap mata tajam Jihyo yang mulai sayu. Terlihat bergetar, entah kenapa. Atau karena—jaraknya dengan Joohyun terlalu dekat?
Perlahan—tangan lembutnya terangkat untuk mengusap pelan pipi tirus milik Jihyo, mengusap dengan pelan lalu berpindah pada tengkuknya.
Jihyo merinding karena tangan lembut itu sudah berada di tengkuknya.
Gadis mungil itu berjinjit. Menatap sebentar pada mata si rambut cokelat itu sebelum—,
Chup!
Bibir yang sedikit tebal itu terbentur sesuatu yang kenyal.
Joohyun—menciumnya. Dia—mencium Jihyo. Dengan gerakan yang pelan dan juga lembut dia mulai memainkan bibir Jihyo. Menghisap lalu melumatnya pelan, atas—dan juga bawah.
Jihyo—dia hanya membeku. Tangannya seolah mati rasa untuk mendorong Joohyun atas serangannya yang tiba-tiba. Tetapi tidak. Nalurinya—memilih untuk tetap mengikuti irama dari permainan yang Joohyun berikan.
Keduanya—begitu menikmati ciuman yang begitu memabukkan. Sampai—Joohyun tidak sadar kedua tangannya sudah mengalung sempurna di leher Jihyo. Dan kedua tangan Jihyo—sudah memeluk erat pinggang ramping Joohyun.
Ciuman mereka terlepas.
Joohyun menunduk malu, dia hanya bisa merutuki kebodohannya yang terlalu ceroboh karena sudah berani mencium Jihyo. Dia—takut Jihyo akan marah padanya, lalu meninggalkannya. Joohyun—tidak mau itu terjadi.
Oh, hallo Joohyun. Kemana keberanianmu yang tadi?
Sedangkan si rambut cokelat hanya diam. Dia mengusap bibirnya yang sedikit basah akibat perang saliva dengan Joohyun tadi.