Mereka berdua sedang menunggu Taxi.
Jihyo menunduk untuk melirik gadis mungil di sampingnya. Tangisnya memang sudah reda sedari tadi. Tapi sesekali masih terdengar suara tarikan ingus darinya.
Mulutnya ia buka, lalu tutup kembali. Jihyo ingin sekali bertanya pada Joohyun, kenapa dia ada di ruangan itu, juga—kenapa ia menangis?
Melihat Joohyun menangis tadi membuatnya mengingat saat dia membentaknya seminggu lalu. Dia memarahi Joohyun lalu mengusirnya, membuatnya pergi di antara hujan.
Jihyo mendesah pelan. Dia merasa—sedikit bersalah padanya. Hanya, sedikit.
"Tentang minggu lalu, aku tidak bermaksud untuk—"
"Meminta maaf tidak akan membuat harga dirimu turun, Brownie."
Joohyun mendongkak, memotong ucapan Jihyo dengan nada ketusnya.
"Iya, maksudku—"
"Kau hanya perlu bilang maaf. Sudah."
Jihyo memandang datar gadis bersenyum kelinci itu.
"Bisakah kau tidak memotongnya, Nona?"
Joohyun menghela. Kadang ia lelah juga dengan Jihyo.
"Aku tidak bermaksud untuk membentakmu saat itu. Aku hanya—terkejut ketika ada seseorang yang memegang tanganku tiba-tiba. Suasana hatiku sedang buruk, jadi aku—"
"Melampiaskan kekesalanmu padaku?"
"Aku—tidak bermaksud."
"Aku tidak mendengar kau bilang maaf?"
Jihyo mendengus.
"Baiklah, aku minta maaf." Ucapnya dengan sinis dan wajah datar. "Aku tidak pernah meminta maaf pada siapapun, jadi kau harus memaafkanku."
"Kenapa kau jadi pemaksa?!" Joohyun melotot.
"Aku tidak suka penolakan."
Mereka diam. Entah kenapa, yang Jihyo ucapkan barusan seolah memberi tahu siapa diri Jihyo sebenarnya. Joohyun melihat mata itu ketika Jihyo mengatakannya, terlihat jelas bahwa Jihyo sosok yang begitu tegas juga sangat keras. Tetapi, Joohyun juga merasakan yang lain. Dia melihat—rasa sakit yang begitu dalam dari mata tajamnya.
Joohyun mengusap lengannya pelan, ini belum terlalu larut untuk mendapatkan Taxi, tetapi karena cuaca dingin ia jadi tidak kuat untuk berdiri lama di sana.
Sekali lagi ia mengusap lengannya, kali ini lebih berisik, berharap—Jihyo akan melihatnya lalu memakaikan blazer hitam yang dia pakai untuk Joohyun. Namun, sayang. Jihyo adalah si acuh yang tidak pernah peduli pada Joohyun.
"Kenapa kau ada di ruangan atas tadi?"
Jihyo bertanya. Setidaknya dia tahu alasan gadis itu berada di lantai dua, meski sebenarnya ia juga penasaran kenapa Joohyun menangis.
"Hanya—mencari suasana baru."
"Kenapa kau—" Ucapannya terhenti ketika Joohyun melambai pada Taxi kosong yang melewati mereka berdua.
Jihyo memperhatikan Joohyun yang mulai melangkah, membuka pintu mobil dan mulai masuk ke dalam.
"Tunggu!"
Joohyun menatap bingung pada tangannya yang sengaja di tahan oleh Jihyo.
Jihyo tidak menjawab. Dia hanya membuka blazer hitam miliknya, lalu memakaikannya pada tubuh mungil Joohyun.
