TRUTH UNTOLD II

244 37 2
                                    

CIEL SAGEZZA

Dia seorang Viore. Aku memang pernah melihat sihir semacam itu sebelumnya, jadi aku yakin dia seorang Viore. Tapi, bukannya Viore sudah musnah? Bukannya Menteri Pertahanan telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada lagi Viore yang tersisa? Ah, jangan-jangan dia luput dari pendataan dan selama bertahun-tahun tinggal di dalam hutan sehingga tidak ada yang mengetahuinya?

Apa aku melakukan kesalahan karena berteman dengannya?

"Hei, siapa namamu?" sahut anak yang kini turut menunggang kudaku.

"Bisakah kau panggil aku pangeran?"

"Kalau aku memanggilmu begitu, aku tidak bisa jadi temanmu," katanya lalu terkekeh.

"Terserah kau saja. Namaku Ciel Sagezza. Panggil Ciel saja jika kau tidak mau menggunakan embel-embel."

"Pangeran Ciel, rupanya. Aku akan memanggilmu pangeran jika ada orang lain, tenang saja."

"Namamu?"

"Vion."

Aku ingin menanyakan lebih banyak tentang dirinya, tapi kelihatannya dia enggan. Apalagi aku seorang pangeran Armeeya, anggota kerajaan yang dikenal mendalangi penyerangan bangsa Viore. Walaupun sebenarnya aku bukan bagian dari kegilaan yang dilakukan Yang Mulia Raja kala itu, tapi siapa yang tahu. Aku ingin mendukung Reich yang bermimpi mengembalikan keseimbangan di negeri ini, termasuk menebus dosa atas pembantaian Viore.

Kami menyelesaikan perburuan sampai matahari menuju ufuk barat. Kami mendapatkan seekor rusa, dengan sedikit bantuan dari sihir Vion. Sebagai gantinya, aku pun membantu Vion untuk mengumpulkan tanaman obat.

Menyenangkan.

Kurasa kami bisa berteman dan bertemu lagi suatu hari nanti. Vion membuat tak ada kesenjangan sosial di antara kami. Aku selalu menginginkan pertemanan semacam ini. Meski aku seorang adik sepupu Raja, aku bisa saja bernasib sama dengannya jika pemerintah menilai aku telah mempengaruhi keputusan Raja.

"Terima kasih sudah membantuku," ujar Vion sambil merapikan keranjangnya.

Aku mengangguk. "Bisakah kita bertemu lagi?"

"Ah, tapi kau harus sering keluar istana jika ingin bertemu denganku."

Aku terdiam sejenak, membenarkan perkataannya. Aku berpikir cukup keras, mencoba memikirkan kenakalan yang akan aku lakukan untuk bisa keluar istana sekadar untuk menemui Vion.

"Atau haruskah aku yang masuk ke istana?" sahut Vion membuatku heran.

"Kau mencari pekerjaan?" tanyaku.

"Apakah ada pekerjaan yang bisa kukerjakan? Usiaku sudah 20 tahun tapi setiap hari aku hanya mencabuti tanaman obat dan mengantarkan pesanan obat. Kau bisa membantuku?"

"Hmmm, kau tidak bisa menjadi pegawai negeri lewat jalur belakang. Jangan memanfaatkan pertemanan ini untuk berbuat curang. Kau harus bersekolah dan mengambil ujian."

"Aku tidak pernah mendapatkan ijazah, hanya membaca buku tidak membuatku bisa mengikuti ujian pegawai negeri, kan? Aku tidak mencari pekerjaan seperti itu."

Aku mengangguk-angguk paham. Benar juga, Vion memiliki wajah tampan dan tubuh yang lumayan tinggi itu malah lebih cocok menjadi pangeran daripada pegawai negeri. Kalau begitu mencari tanaman obat juga tidak cocok untuknya.

"Aku bisa melakukan apa saja,"

"Penjaga istal sepertinya sedang kekurangan orang. Kau paham tentang kuda?" kataku terlintas begitu saja soal penjaga istal yang sudah lama tidak mengalami regenerasi.

Behind The Story of King's Diary (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang