AURUM
Lenganku terluka karena ledakan barusan. Aku dikepung oleh beberapa orang prajurit Lucas yang berdatangan dari arah luar. Mereka membawa pedang prajurit Armeeya di tangan dan menggendong panahan di punggung. Tanpa ragu aku menghunuskan pedang. Aku berniat memperkecil jarak dengan mereka agar lebih mudah menyerang.
Aku mendengar suara kakakku. Kak Genio berlari mendekat diikuti Kakak yang terengah-engah. Di belakang mereka, pasukan kelompok kami menyusul. Tak sebanyak tadi, beberapa orang justru yang mengarahkan senjata pada kawanan kami.
"Ada pembelot di kelompok kita!" teriak Kak Genio padaku.
"Apa yang terjadi di bawah sana?" tanyaku polos.
Tak ada waktu untuk menjelaskan, Kak Genio menarik tangan kakakku dengan kasar. Kelihatannya mereka berdua sudah berbicara terlebih dahulu sebelumnya. Kakak menatap Kak Genio kesal terlihat tidak menyetujui keputusannya.
"Tinggalkan saja senjata yang tersisa. Bukunya sudah ada padaku. Jangan lupa bawalah tas berisi dokumen ini. Aku akan berada di sini untuk memimpin kelompok," ucap Kak Genio sambil menyerahkan tas berisi dokumen yang cukup berat itu.
"Kita harus pulang bersama-sama," ujar kakaku menatap Kak Genio tajam.
"Jangan keras kepala, V. Pulanglah bersama Aurum. Kau harus mengamankan senjata-senjata ini. Aku akan bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sini. Ini ide gilaku, jadi biarkan aku yang menanganinya," kata Kak Genio tersenyum.
Aku terperangah memandangi punggung besar Kak Genio yang gagah. Aura kepemimpinannya selalu membuatku terkesan. Kakakku dan Kak Genio berdebat soal pulang bersama atau berpisah. Aku selalu mempercayai Kak Genio sampai kapanpun, sehingga kupikir Kakak memang terlalu keras kepala.
Aku mengambil alih tas berisi dokumen lalu menggendongnya. Kuharap kakakku yang keras kepala itu akan mengekor di belakangku dan meninggalkan Kak Genio di sana.
Aku berhasil, namun saat kulihat sebentar keringat sudah membanjiri wajah kakaku. Ia kelelahan akibat sihir yang tadi ia gunakan.
Langkah kami dihadang oleh pasukan Lucas. Mereka harus menangkap tujuh orang yang sedang buron secara hidup-hidup atau membawa mayat kami ke hadapan Lucas. Dan kami adalah dua dari tujuh orang itu. Aku dan Kakak kompak bersembunyi di salah satu ruangan yang sepertinya merupakan dapur markas. Kulihat Kakak sedang kesulitan mengatur napasnya yang terengah-engah. Aku mengambilkannya sebuah botol air mineral dari dalam box yang tertumpuk rapi di sudut ruangan. Aku lega saat Kakak meneguk habis minumannya dengan sangat rakus.
"Kau terluka, ya?" tanya Kakak sambil memandang pakaianku yang sobek.
"Ada ledakan tadi, tapi ini bukan masalah besar," ujarku.
"Nanti Kakak akan mengobati lukanya."
Aku hanya terdiam saat Kakak bangkit dari tempatnya. Kakak memeriksa keadaan, lalu melambaikan tangan padaku. Kakak lalu menggendong tas berisi dokumen, katanya aku tidak boleh membawa beban sebab tugasku adalah bertarung. Kakak tidak bisa menggunakan sihir lagi untuk kabur karena kehabisan tenaga. Itulah sebabnya kami melarikan diri secara konvensional.
"Aurum, kita tidak bisa keluar. Banyak yang berjaga di depan," keluh Kakak.
Ada sedikit rasa hambar di hatiku saat bibir Kakak sudah sangat ahli menyebut nama Aurum. Terkadang, sebenarnya aku ingin mendengar Kakak memanggil nama Sylva, walau hanya sesekali. Tapi, aku malu mengakuinya, sebab sebelumnya akulah yang menolak panggilan itu.
"Itu Vion Viore!! Ia membawa dokumennya!"
Sialnya kami langsung dikenali begitu saja. Kakak masih sok keren berdiri di depanku sambil menatap tajam ke arah prajurit Lucas yang mungkin mendapat informasi dari para pembelot kelompok kami. Kakak benar-benar keras kepala dan seperti menutup telinganya saat kubilang sebaiknya ia mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Story of King's Diary (SUDAH TERBIT)
FanfictionViore adalah bangsa terkuat di Armeeya yang telah mempertahankan warisan sihir dari leluhurnya. Vion kehilangan segalanya saat keluarganya, Viore, dibantai habis pada malam itu. Bersyukur ia diselamatkan. Paman Veloz yang merawatnya selama sepuluh t...