Part 18 - The Feeling

57.7K 5.1K 67
                                    

Ketika hasil medical checkup Nicko akhirnya keluar, justru Sabrina yang deg-degan nggak keruan. Bagaimana kalau Nicko menuntut hubungan suami istri betulan? Apakah dia akan rela menyerahkan keperawanannya untuk hubungan seperti ini? Hanya pengganti biaya kos di tempat nyaman ini? Serta biaya sarapan plus sesekali traktiran makan malam? Itu pun nggak selalu terjadi seminggu sekali.

Apakah harga dirinya semurah itu? Ataukah dia sebenarnya tidak cukup punya harga diri sehingga harus kerja keras bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya?

Lalu buat apa lo terima pernikahan itu, Bree?

“Gue pengen cari suami, Bree. Capek gue hidup kayak gini,” celetuk Tika ketika mereka sedang bergosip sambil makan siang. “Nggak usahlah suami yang terlalu kaya atau yang ideal gimana. Gue sadar diri lah, gue ini siapa. Cukuplah yang bisa jadi teman hidup dan baik sama gue.”

“Hm …,” dengkus Sabrina sambil menyesap teh tawarnya melalui sedotan dengan suara keras. “Apa lo pikir menikah bakal menyelesaikan masalah lo?”

“Yah, minimal hidup gue punya tujuan lah. Gue kerja buat apa. Tiap hari gue pulang ke siapa. Jelas.”

“Emang selama ini lo merasa hidup lo nggak jelas?”

“Yah, jelas sih. Gue punya gaji meskipun kecil. Selalu ada alasan buat gue untuk bangun tiap hari, pergi kerja, ketemu orang, menikmati hidup, terima gaji, buat bayar kos, buat beli makan tanpa ngerepotin orang, buat beli ini itu—”

“Tuh, kan? Banyak banget tujuan hidup lo. Kenapa masih galau?”

“Bukan begitu, Bree! Dih, susah banget ngomong sama ansos macem lo. Gue cuma pengen punya status, Tika, istrinya siapa. Ntar jadi emaknya siapa. Ada tujuan gue grow up jadi dewasa. Bukannya menjadi tua dengan sia-sia.”

“Dan itu harus suami?”

“Kayak lo kemarin nggak ngarep Bang Hasan aja.” 

Ucapan Tika begitu tepat sasaran. Karena hal itu juga yang Sabrina rasakan. Saat dia 

“Karena kasus gue yang kege-eran sama Bang Hasan itu, gue jadi mikir. Semakin sedikit orang yang terlibat sama gue, hidup gue bakal semakin mudah.”

Sabrina memang merasakan hal itu. Ketika dia berada dalam kondisi paling terpuruk, dan merasa satu-satunya penyelesaian adalah menikah dengan lelaki sebaik Bang Hasan. Namun beginilah nasibnya sekarang. Tidak bisa lagi berharap pada Bang Hasan dan hidupnya baik-baik saja. Menjadi istri rahasia Nicko juga tidak membuat hidupnya menjadi luar biasa.

Gadis itu akhirnya, memang sebatas inilah hidup yang bisa dia nikmati. Dan dia tidak bisa mengeluhkannya. Karena kalau dipikir lagi, hidupnya sama sekali tidak berada dalam masalah yang besar. Biasa-biasa saja. Dan dia jalani dengan wajar setiap hari.

Memang, keterlibatannya dengan Nicko menjadi satu penyelesaian sederhana bagi salah satu masalah hidupnya. Dia butuh tempat tinggal aman dan nyaman. Dan dia mendapatkannya melalui perjanjian sederhana dengan Nicko. Sudah.

Makanya Sabrina tidak ingin hidup menjadi lebih rumit dengan menetapkan target lanjutan. Seperti bayaran. Kalau dia menetapkan harus menerima uang nilai sekian, artinya dia membuat Nicko menetapkan standar pelayanannya. Seolah Nicko bakal ngomong: lo gue bayar segini, jadi lo harus kasih layanan segini juga buat gue dong.

Nggak! Sabrina nggak mau begitu. Dia nggak mau terikat terlalu banyak. Sehingga tidak harus memenuhi tuntutan lebih banyak lagi. Sudah cukup hidupnya menjadi bahan caci-maki Tante Renata hanya karena dia berstatus keponakan. Membuatnya harus merepotkan Tante Renata yang tidak pernah menginginkan kehadirannya secara tiba-tiba. Ketahuilah Tante, gue juga sebenarnya nggak minta kok, dilahirkan sebagai keponakan Tante atau siapa pun.

Secret Wife (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang