Entah bagaimana, rasanya hari ini begitu melelahkan. Malam itu, netra Heiran yang berwarna kecokelatan kala itu masih tetap terjaga, menatap ke arah dinding di mana lukisan akan seseorang yang sedang memainkan grand pianonya tampak menggantung di sisi kanan dekat pintu masuk jika dilihat berdasarkan dari mana tempat Heiran kini tengah memandangnya.
Masih dalam balutan selimut tebalnya yang hangat dan masih mendekap tubuhnya, di dalam sebuah apartemennya yang aman, pikiran Heiran seolah berenang kembali ke dalam memori yang beberapa waktu lalu ia lihat seusai resital. Mungkin karena otaknya yang masih memikirkannya, ataukah memang benar hari itu seolah Heiran menginginkan untuk melihatnya walaupun dalam pikirannya.
Antara kenyataan atau hanya halusinasinya, entahlah. Yang jelas, saat Heiran memainkan pianonya, suara dentingan yang dihasilkan dari tuts-tuts yang ia tekan mengingatkannya akan satu hal. Satu sosok yang eksistensinya lebih mendominasi dalam dirinya. Hingga saat di tengah permainan di mana bagian tengah itu merupakan inti dari emosi melodi yang tercipta yang berusaha ia sampaikan, dirinya yang memainkannya turut bergetar. Seluruh indra yang ia miliki turut berdesir.
Di dalam kegelapan ruang yang kala itu terpecah oleh cahaya lampu sorot yang berpendar menyorotinya, hati seorang Heiran tersayat. Tanpa sengaja sebuah memori seolah memaksa masuk guna diputar kembali dalam ingatan. Seperti sebuah rekaman yang bisa ia lihat visualnya. Namun, terasa berbeda kala setiap sentuhan kembali merayap. Menjadikan melodi yang ia mainkan sebagai backsound yang semakin meremas jantungnya.
Menyadari perasaan yang sejati itu, di tengah kesunyian kamar tidurnya yang lengang, ia menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan suaranya agar tidak terisak. Sadar benar seseorang di sampingnya pasti akan terbangun jika mendengar suara serak isak tangisnya.
Tanpa bisa ditahan sekaligus tanpa permisi, air matanya yang hangat meluruh membasahi pipinya hingga sarung bantal yang ia tiduri. Menyiksa ruang yang tersisa di dalam benaknya yang mengakui perasaan suci tersebut.
Heiran semakin menarik selimutnya. Berusaha menutupi tubuhnya yang tiba-tiba saja terasa dingin dan menggigil. Semakin meringkuk kala menyadari bahwa tak sedikit pun ia mampu berlalu dari kenyataan yang telah melukai dirinya.
Menyadari pergerakan tipis Heiran membuat ranjang yang mereka tiduri sedikit bergetar, pria yang sedari tadi berusaha terlelap pun memeluk tubuh yang tampak kesakitan tersebut. Semakin menariknya hingga bagian belakang punggung Heiran terasa menyentuh dada bidang milik Suhaa.
Suhaa yang kala itu masih terjaga, berusaha memberikan kehangatan agar wanitanya menemukan ketenangannya dalam pelukannya. Meraih tangan wanitanya dan menggenggamnya semakin erat. Heiran pun menarik napas berat di mana setiap tarikan napasnya, denyut nyeri menyerang pusat dadanya.
Diperlakukan selembut itu, Heiran yang berusaha menahan isak tangisnya akhirnya pun tak kuasa meluruhkan seluruh beban hidupnya. Hingga tubuhnya bergetar hebat dan membuat Suhaa semakin memeluk wanitanya lebih dalam.
“Ini salahku! Mungkin ini memang salahku! Jika saja bukan karena aku ... mungkin ....”
Tiba-tiba saja, dengan cepat satu jari telunjuk milik Suhaa telah mendarat di bibir Heiran. Menghentikan pergerakan bibir itu agar tidak semakin meracaukan kata-kata yang semakin membuat wanitanya merasa buruk dan rapuh. Menekannya agar Heiran bisa mengendalikan ucapannya yang mungkin akan terasa seperti sebilah pedang yang melukai dirinya sendiri.
“Sssstttt! Hei ... Hei cukup,” bujuknya berusaha menenangkan Heiran yang memberontak dalam dekapannya di mana sekuat tenaga Suhaa berusaha mengendalikan wanitanya yang tampak frustrasi dengan air mukanya yang telah sembab. Mencoba memberi pengertian agar wanitanya tidak semakin menyalahkan dirinya sendiri dan mau menerima kenyataan. Meski berkata tidak selalu mudah untuk menjalankannya.
Masih dengan pikirannya yang kacau, Heiran kala itu hanya bisa pasrah. Sekuat apa pun ia berusaha meloloskan diri, Suhaa tetap berusaha menahan dirinya agar tidak semakin hancur. Meski turut merasa sesak, ia lalu melanjutkan.
“Dengarkan aku, Heiran-ie. Apa yang terjadi bukanlah salahmu. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kau ingat apa yang aku katakan? Setiap kehidupan adalah halaman yang telah tertulis bahkan sebelum dirimu ada. Kau dan dia hanya menjalaninya. Begitu juga dengan diriku yang sekarang adalah milikmu. Jadi kumohon ... lihat aku. Pikirkan dirimu dan berhenti untuk memikirkannya. Aku tahu ... dan aku mengerti. Ini tidak mudah. Tapi, kau sudah melakukannya sejauh ini. Kau masih memiliki aku dan kita bisa menghadapinya bersama, mengerti?”
Meski sulit, Suhaa berusaha meyakinkan Heiran. Dengan penuh perhatian tanpa ingin semakin melukai Heiran, Suhaa membuat wanitanya nyaman. Perlahan tubuh Heiran yang menggigil dan bergetar hebat, kini mulai menurun. Tubuhnya melemas dan terasa lelah. Hanya embusan deru napasnya yang kala itu mengusik rungu Suhaa.
Begitu tubuh itu dirasa cukup tenang, perlahan Suhaa membalik tubuh wanitanya agar mau menghadapnya, di mana kini Suhaa lebih memilih berada di atas sekaligus mengungkung wanitanya lalu memberikan kecupan sekilas di kening kekasihnya dan menahannya sejenak di sana.
Walaupun masih terisak, Heiran merasakan perhatian Suhaa yang begitu hangat melalui kecupan kecil tersebut. Ingin sekali Heiran berusaha mengempaskan fakta tersebut dan mengikuti apa pun setiap perkataan Suhaa dengan pemikirannya yang rasional.
Namun, kenyataannya, apa boleh buat, kenangan buruk itu tidak sedikit pun berusaha tenggelam di dasar hatinya. Yang terjadi justru sebaliknya, timbul dan tenggelam. Memorak-porandakan perasaannya yang berusaha menata kembali kehidupan normalnya. Muncul sewaktu-waktu tanpa bisa ia prediksi kedatangannya.
Terlebih, meski sekilas, hari ini Heiran melihatnya. Melihat sosok tersebut dengan tatapan angkuhnya yang masih sama seperti terakhir kali. Begitu Heiran mulai bisa merasakan dirinya kembali, sebuah anggukan pun diberikan oleh Heiran.
Mungkin dirinya hari ini begitu emosional. Namun, kini dirinya sadar, Suhaa-lah yang kini berada di depan matanya. Meski saat itu, Suhaa turut menyesal di waktu bersamaan karena telah menyembunyikan sesuatu dari kekasihnya. Namun, saat ini yang Suhaa pikirkan adalah wanitanya. Ya, keberadaannya yang begitu intens dan hangat yang begitu Suhaa sukai.
“Maafkan aku, Oppa,” ucap Heiran lemah. Menyentuh pipi hangat kekasihnya di mana kening keduanya saling menyatu.
Suhaa mengangguk pelan, lalu kembali memberikan kecupan sekilas di bibir. “Nevermind. It’s okay about your past. I am your future, now.”
***
“Kau mengabaikanku seharian! Dan kau baru bisa menghubungiku sekarang?!” protes seorang wanita yang kini sedang melakukan panggilan video dengan seseorang yang menyandang status sebagai suaminya.
Netranya yang masih terlihat begitu nyalang masih menatap serius ke arah ponselnya dengan penuh amarah yang masih menguasainya di mana lawan bicaranya masih tampak begitu santai dan tenang tengah duduk di atas kursi putar di balik meja kerjanya. Menikmati segelas wiski dan menyesapnya secara perlahan. Mengalihkan pandangannya pada langit-langit ruang kerjanya yang dirasa jauh lebih menarik ketimbang seseorang yang sedari tadi tiada hentinya mencecar dirinya dengan begitu banyak pertanyaan.
Pria tersebut masih terdiam di kala wanitanya masih tiada hentinya melayangkan protes. “Hobie, aku tahu sesibuk apa pun dirimu, kau adalah pemimpin dari perusahaanmu sendiri. Apa aku yang istrimu terlihat tidak begitu penting bagi dirimu, huh?”
Hobie mengerucutkan bibirnya. Masih memperhatikan dengan indra pendengarnya yang masih senantiasa terpasang menjatuhkan atensi. Berlawanan dengan kedua netranya yang terpejam sejenak. Sejujurnya, ia masih merasakan sisa wiski di dalam mulutnya yang meleleh di dalam sana. Tidak terlalu ingin banyak berkomentar hingga penekan di akhir menarik perhatian Hobie sepenuhnya.
“Apa kau tuli?! Kenapa kau diam saja?!” tukasnya lebih sinis dari pada nada sebelumnya yang tak kunjung memperoleh jawaban.
Hobie pun memainkan gelas berisi wiskinya yang masih tersisa satu sentimeter di dalam sana. Pria itu pun semakin memerosotkan dirinya dengan mengandalkan sandaran kursinya. Sebelum pada akhirnya ia lebih memilih mencondongkan tubuhnya ke arah meja menatap istrinya dengan begitu santai. Meneguk sekali cairan tersebut sebelum memberi jawaban. Begitu nyaman dengan posisinya yang seperti ini.
“Aku tidak mengatakan aku mengabaikanmu. Bahkan anggapan akan status keberadaanmu. Kau sendiri yang mengatakan seperti itu. Aku sudah katakan, aku sibuk dan aku baru selesai. Lalu, langsung menghubungi dirimu. Lagi pula tidak ada yang serius. Jadi berhentilah membuatku pusing, Hyeri,” tandasnya bersamaan dengan dirinya yang menenggak habis cairan wiski tersebut. Sebisa memungkin tetap memelankan suaranya agar tidak terlalu tinggi dan terkesan membentak. Walaupun semenjak tadi, ia berusaha menahan kemarahannya yang tidak jelas yang masih berkecamuk di dalam sana.
Tidak terlalu ingin memperpanjang urusan tersebut dan menjadikan Hyeri sebagai sasaran akan suasana hatinya yang buruk. Bagaimana pun, Hobie bukan tipikal seseorang yang akan menyelesaikan masalah hanya dengan sambungan via ponsel. Terlalu melelahkan dan membuang tenaga. Selain terkadang jaringan menjadi salah satu pemicu tidak beresnya setiap masalah.
Seringai sinis tersungging di salah satu sudut bibir wanita tersebut, Hyeri Avior Becrux. Tidak mudah percaya dengan setiap perkataan Hobie. “Cih. Kau pikir aku akan percaya?” ia melipat kedua tangannya di dada. Menegakkan sedikit dagunya dengan angkuh. “Tidak semudah itu tuan Hobie Alioth Benetnasch. Meski kau berusaha menutupinya di depan semua orang, kau tidak akan pernah bisa mengelabuhi diriku.”
Prakkk. Hobie mengetuk dengan keras gelas wiski yang berada di genggamannya dengan penuh tenaga di atas meja kerjanya hingga gelas kristal tersebut pecah menjadi beberapa bagian melukai tangannya. Deru napas yang naik turun serta tatapannya yang begitu dingin sekaligus menusuk, ia lontarkan pada Hyeri.
Bibirnya yang semula tampak biasa saja kini terkatup, mencetak secara jelas kedua garis rahang milik Hobie. Hyeri yang menyaksikan di depan matanya turut tersentak kaget akan apa yang ia lihat. Darah segar mengalir sekaligus membanjiri pecahan gelas kristal yang baru saja dihantamkan secara keras dengan menggunakan tangannya sendiri di atas meja. Tak ayal, Hyeri hingga membeliakkan kedua matanya begitu lebar.
Hobie tak mampu menahan dirinya lagi. Betapa setiap ucapan Hyeri kali ini tidak dapat ditoleransi. Mungkin benar apa yang Hyeri katakan dan mungkin benar apa yang menjadi penilaian Hyeri. Kenyataannya, jika harus mengungkit fakta tersebut, Hobie akan lepas kendali. Namun, dengan seringaian yang tak kalah mengancam, pria itu pun menimpali.
“Baguslah jika kau mengerti, nyonya Benetnasch. Aku akan kembali besok ke London dengan penerbangan pagi! Jadi kita tidak perlu memperdebatkan masalah ini!” tukasnya dengan penuh penekanan secara telak.
Tanpa pikir panjang, Hobie memutus panggilannya secara sepihak. Membuat kemarahan wanita di seberang sana semakin memuncak. Pria itu tidak peduli. Menarik napas berat seraya bangkit berdiri. Walaupun sedikit, bibirnya yang tampak tersenyum menahan nyeri tak mampu memungkiri bahwa luka di tangannya terasa perih. Masih dalam posisi berdiri, Hobie meraih sapu tangan satin berwarna putihnya yang berada di dalam loker meja kerjanya dan membalut luka tersebut dengan begitu kasar.
Netranya yang masih begitu nyalang hanya bisa memandangi luka yang menyayat permukaan telapak tangannya yang ia balut tersebut. Hingga beberapa detik kemudian, atensinya terusik akan sebuah amplop persegi panjang dengan sebuah logo rumah sakit yang tertera di sana. Saat itu perasaan Hobie kembali kalut. Teringat akan ucapan seorang dokter yang masih terngiang jelas dalam rungunya.
Hobie tersenyum hambar jika mengingat hal itu. “Mustahil! Ini tidak benar,” sangkalnya berusaha menampik kebenaran tersebut. “Ya.” Ia mengangguk. “Ini mustahil. Ini tidak benar,” yakinnya sekali lagi sebelum meraih amplop tersebut dan merobeknya lalu membuangnya ke tempat sampah.
Pria itu mencoba menenangkan pikirannya dengan beralih menuju ruang istirahatnya. Kamar tidur yang ia yakini akan sedikit meredakan kekesalannya hari ini.Wah... akhirnya ketmu lagi.
Gimana kabar kalian? Hope you are healthy and happy.Gimana menurut kalian?
Kok aku ikut geter nulisnya. Wkwkwkw
But jangan lukavote and komen yag... tinkyu udah mampir😃😃😃😃 happy weekend
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.