🔞🔞🔞🔞🔞
Hanya perlu waktu beberapa bulan bagi keduanya menjalin hubungan yang pada akhirnya mengikat perasaan satu sama lain. Meski Heiran juga tidak terlalu banyak menuntut untuk bertemu mengingat Hobie sendiri yang memang terbilang sibuk dengan apa yang sedang diwariskan untuknya. Termasuk Heiran yang sedang berusaha dengan baik agar menjadi pianis yang benar-benar profesional. Ingin segera menyelesaikan kuliahnya dan mengejar kariernya.
Walaupun, Hobie mengerti, alasan mengapa Heiran memilih musik adalah karena bayangan ibunya yang juga seorang seniman. Pemusik yang begitu menyukai violin. Selama beberapa bulan itu, tepat di hari ulang tahun Hobie yaitu 18 Februari, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Kualitas waktu yang memang diperlukan dalam menjalin suatu hubungan untuk mendekatkan diri satu sama lain sebagai pasangan kekasih.
Kala itu keduanya duduk berdampingan di atas sofa panjang tepat di ruang tengah di depan televisi. Merasakan penghangat ruangan yang bekerja begitu baik. Saat itu, Heiran meletakkan bukunya yang akhirnya selesai ia baca. Bersamaan dengan Hobie yang datang dengan dua gelas bertangkai tinggi dengan anggur merek ternama yang hanya dilihat dari kemasannya pun, Heiran mengetahui seberapa tinggi harganya.
Heiran pun menoleh di saat Hobie meletakkan apa yang ia bawa tepat di atas meja. Sehingga suara dentingan yang dihasilkan dari permukaan alas gelas tersebut yang menyentuh permukaan kaca meja pun menjadi ketukan awal baginya untuk membuka pembicaraan.
“Aku tidak mengerti mengapa kau memberikan buku ini padaku?”
Hanya untuk menunjukkannya, Herian mengangkat buku itu kembali di hadapan Hobie. Saat itu Hobie hanya tersenyum ringan, seolah tidak ada yang salah dari pemberiannya. “Kau sudah selesai membacanya?” tanyanya melihat buku tersebut yang dia ingat benar selalu dibawa ke mana pun oleh Heiran.
Hanya mengawasi tanpa perlu mendekatinya. Karena Hobie tahu, untuk membaca buku itu dan meresapi setiap kata yang tertulis di dalam setiap lembaran halaman, Heiran memang memerlukan waktu sendiri. Walaupun sesekali, dalam diamnya ia memperhatikan di mana Heiran tidak menyadari keberadaan pria tersebut, Hobie juga sering melihat Heiran meluruhkan air matanya. Tahu benar bahwa satu kalimat dalam buku tersebut seolah berhasil menjadi mantra yang menyentuh hati wanitanya.
Heiran justru balik tersenyum. Memberikan tatapan teduh bagi prianya. “Jangan berbalik menanyaiku, Hobie. Kau tahu benar ke mana maksudku.”
Hobie dengan senyum tipisnya, dengan santainya hanya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sembari merentangkan kedua tangannya dan mengistirahatkannya di sana. Hingga tanpa menunggu diperintah, Heiran pun sedikit menggeser duduknya agar semakin merapat, memilih bersandar pada Hobie dan memeluknya erat. Kenyataannya, perhatian Hobie yang begitu intens dan sanggup membuatnya tertawa tanpa sadar menarik dirinya untuk menerima uluran tangan tersebut. Mencoba membuka hatinya yang sepertinya telah menemukan tempat.
“Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Namun, sepertinya ... ada sesuatu di dalam dirimu yang begitu dominan dan terasa begitu familier dalam hidupku. Mengundangku masuk dan tanpa sadar membuatku untuk mengambil keputusan guna melangkah lebih jauh. Dari tatapan matamu, dari caramu memperhatikan sahabatmu Suhaa, dan dari bagaimana kau menjalani hari ... meski tidak kau sadari, aku sangat memperhatikanmu. Mungkin kau berpikir telah begitu baik menyimpan perasaanmu yang sebenarnya terluka di depan Suhaa. Sehingga sahabatmu mengira, dirimu baik-baik saja. Tapi di depanku ....” Hobie menggelengkan kepalanya. “Kau tidak akan pernah bisa melakukannya.”
Sontak Heiran mendongak. Hingga menampilkan kerutan tipis di bagian tengah permukaan dahinya. “Bagaimana kau bisa bersikap begitu percaya diri?”
Hobie pun mengubah posisi duduknya hingga Heiran mengurai pelukannya. Kini keduanya saling beradu pandang dan menatap satu sama lain untuk memahami perasaan masing-masing. Di mana Hobie tampak berusaha menjelaskan kepada wanita yang kini telah menjadi kekasihnya itu.
“Terkadang memang ada kata-kata yang tak mampu untuk kau ucapkan padahal perasaanmu begitu ingin. Sesak, tertekan ... aku melihat itu di dalam dirimu.”
Hobie pun mengusap kepala Heiran dengan lembut. Lalu memberikannya sebuah kecupan sekilas di kening. Hingga tanpa sadar, Heiran baru saja dibuat sulit bernapas. Betapa kalimat lembut prianya mampu menggetarkan perasaan Heiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.