Hari pertunjukkan orkestra di Gedung London Coliseum, Inggris.
Di tengah hiruk pikuk para penonton yang sedang sibuk mencari kursi untuk duduk sesuai fasilitas yang mereka inginkan, dalam balutan gaun merahnya yang terjuntai panjang hingga menutupi mata kaki, akan tetapi membentuk belahan di bagian sisi paha sebelah kiri pun Hyeri tampak duduk dengan anggun di bagian bangku VVIP.
Duduk tepat di bagian sayap kiri teratas dari pintu masuk utama. Tempat di mana biasanya para kaum bangsawan kerajaan Inggris tampak duduk menikmati sekaligus menyaksikan pertunjukkan dari tempat terpisah. Tidak berbaur dengan para penonton yang hanya duduk di bagian tribune yang terdiri atas empat lantai.
Wanita tersebut sengaja menggerai surainya yang bergelombang sepekat malam sembari mengedarkan pandang. Mengajak pasangannya untuk berkonversasi, mengingatkan suatu hal.“Kuharap kau tidak lupa mengenai janji temu kita dengan dokter Vander besok pagi. Kau sudah mengosongkan jadwalmu?”
Dalam balutan kemeja berwarna hitamnya dengan jas berwarna senada yang membingkai dirinya, Hobie tampak menikmati segelas wine-nya. Menanggapi istrinya dengan santai. “Tidak perlu khawatir. Sebagai pria, aku selalu menepati janji."
Merasa geli, Hyeri pun menyeringai. Sepertinya pernyataan Hobie tidak sesuai kenyataannya. “Benarkah? Aku hanya ingat kau menghadiri resital solo seorang pianis bernama Heiran di Paris,” sindirnya mengingatkan kembali seolah tidak ingin Hobie memungkiri fakta tersebut. Bahkan bagi Hyeri sendiri, ia merasa begitu cemburu. Hanya menyembunyikannya saja. Namun, terefleksi baik dalam setiap katanya yang mampu menjelaskan segalanya.
Hobie yang semula tampak menanti dengan tenang seraya ditemani cairan merah dengan merek ternama itu pun sontak berpaling begitu cairan tersebut berhasil melewati kerongkongannya. Menolehkan kepalanya menatap sang istri yang selalu saja melayangkan statement dengan rasa tidak sukanya mengenai suatu hal. Termasuk mengenai wanita bernama Heiran.
Dengan elegan, Hobie meletakkan gelas bertangkai tinggi di atas meja bundar berukuran kecil yang berada tepat di sisi kanannya yang beberapa waktu lalu sempat mengisi sela jemarinya. Lalu ia mendekatkan dirinya hingga bibirnya berhasil menarik atensi telinga Hyeri.
“Jangan sampai aku menelanjangi dirimu di sini, hm?” Hobie menarik diri. Menaikkan sebelah alisnya guna memperingatkan sekaligus mengintimidasi. Jujur, ia paling tidak suka disindir sekaligus ditantang. Bukan suatu hal yang tepat bagi Hyeri untuk mengajaknya berdebat di tempat seperti ini. Sedangkan Hyeri, dengan wajah masamnya hanya bisa menahan emosinya mengenai hal ini. Bukan jawaban yang menenangkan, seolah Hobie ingin mempermalukannya di depan umum.
Wanita itu pun menggelengkan kepalanya tak percaya. Meraih gelas Wine miliknya lalu menenggak isinya hingga habis. Hingga Hobie yang turut menyaksikan hanya menampilkan smirk-nya sinis. Memandang Hyeri berharap hari ini tidak ada perdebatan apa pun lagi.
“Lagi pula, jika situasi ini mengingatkan dirimu akan eksistensi Heiran, seharusnya kau tidak membawaku kemari. Mengingat, Heiran memang seorang pianis. Bila kau tahu.”
Di tengah perasaan Hyeri yang berkecamuk, Hobie sedikit pun seolah tidak memikirkan perasaan wanitanya. Terlebih kejadian hari ini yang menambah daftar baru kekesalan seorang Hyeri di mana ia baru mendapati Hobie pulang ke rumah tepat pukul sepuluh pagi.
“Hah. Baiklah. Kita tidak akan memperdebatkan masalah itu mengingat aku yang mengajakmu kemari.” Hyeri merespons di mana Hobie mengangguk setuju akan pemikiran terbaik tersebut. Sadar benar bahwa Hyeri masih tahu diri akan alasan keduanya berada di sana.
Namun, ketenangan yang diharapkan oleh Hobue ternyata tidak berlangsung lama. Masih belum hanya berhenti di sana, selang menjeda tiga detik, wanitanya pun melanjutkan. “Kau ... semalam kenapa tidak kembali? Aku menanyakan pada asistenmu bahwa kau sudah pulang setelah bertemu dengan klien terakhir pukul 20.00. Sisanya kau ke mana?”
“Apa ini semacam interogasi?” tanya Hobie dengan santainya secara langsung. Netranya masih berlarian kagum memandangi arsitektur bangunan tersebut.
Entah sudah berapa lama, sepertinya ia telah lama sekali tidak mengunjungi bangunan dengan nuansa panggung opera kerajaan tersebut. Warna yang dipilih pun sangat berpadu. Bangunan dengan corak warna putih dan emas meninggalkan kesan begitu teduh dan klasik. Terlebih bangku para penonton yang sengaja dipilih dengan warna merah. Tampak elegan dan begitu mewah.
Sebenarnya, tidak masalah dengan warna tempat duduknya. Yang terpenting bagi Hobie kala itu adalah dengan siapa ia menduduki kursi merah tersebut di bawah naungan lampu kristal dengan cahayanya yang kekuningan, temaram memberikan kesan hangat walaupun bukan dengan lampu kristal berukuran besar. Memberikan kenangan yang berkesan yang sedetik pun, Hobie masih mengingatnya dengan jelas.
Bahkan bagaimana penerangan ruang tersebut pun hanya bergantung pada beberapa lampu kristal berukuran sedang yang di pasang di langit-langit yang di posisikan pada empat titik pada setiap sudut yang membutuhkan. Sisanya balam lampu yang di pasang tepat di dalam langit-langit seolah bersembunyi dan juga di beberapa titik masing-masing dekat pagar pembatas tiap lantai. Bersamaan dengan beberapa lampu sorot untuk menyoroti panggung pertunjukan.
Jika dilihat secara lekat, Hobie yang menyipitkan mata dapat melihat secara jelas bagaimana bagian sisi samping dari bagian bawah pagar pembatas itu dibuat secara unik. Di mana dalam jarak tertentu, terdapat ukiran wajah seorang dewi di sepanjang pinggiran yang membentuk setengah lingkaran tersebut yang Hobie yakin, hal ini pasti memiliki filosofi tersendiri.
Terlebih di dekat beberapa ukiran wajah tersebut, terdapat lampu yang mirip sekali dengan obor piala kejuaraan berukuran kecil. Di mana keduanya saling berdiri sejajar di atas pilar penyangga bergaya romawi tersebut.
Hobie pun beralih mengalihkan pandangannya pada bagian bentuk langit-langit tersebut. Dalam ruang dengan nuansa yang megah, langit-langitnya membentuk setengah kubah yang di dalamnya seperti payung yang baru saja dibuka dengan aksen garis warna yang sama untuk menghalau hujan. Meski terdapat juga beberapa ukiran rumit khas kerajaan Eropa. Namun, tetap berpadu dengan warna emas yang begitu cantik.
Hanya untuk mengalihkan perhatiannya, Hobie pun menjatuhkan atensinya ke arah panggung pertunjukan di mana tirainya telah tersingkap di dominasi dengan warna ungu. Tepat di bagian panggung pertunjukan di bagian kiri dan kanan terdapat sepasang dewi bersayap layaknya dewi romawi kuno. Entahlah, Hobie tidak terlalu mengerti bagaimana menginterpretasikan makna dari tiap-tiap simbol yang ada. Yang jelas tepat di bagian atas dari panggung pertunjukan, terdapat simbol seekor burung yang membentangkan kedua sayapnya dengan tulisan Coliseum di bawah kakinya. Meskipun bagaimana penulisan huruf di dalamnya ‘U’ lebih mirip dengan huruf ‘V’ dalam jajaran alfabet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.