14. Is This Jealous? (2)

34 12 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Sudah aku katakan tidak ada hubungan rahasia seperti itu,” tukasnya kembali mencoba meyakinkan. Padahal baru pagi tadi keduanya terasa begitu hangat dan juga dekat, merasakan keberadaan satu sama lain dengan begitu intim. Namun, siang ini, sungguh ekspresi Heiran membuat Suhaa frustrasi. Sampai-sampai ia bingung bagaimana meredakan kemarahan Heiran yang ternyata dipendam hingga saat ini.

Heiran memilih memalingkan wajahnya ke arah lain, menjatuhkan atensinya pada gedung-gedung perkantoran dan pusat pembelanjaan yang menjulang tinggi yang tampak berdiri berjejer dengan sebuah tulisan merek ternama yang turut tercetak pada bagian gedung.

Entah mendengarkan setiap penjelasan Suhaa, atau bahkan tetap menjatuhkan fokusnya ke hal lain, walaupun kini netranya justru terkesan menghindari sang kekasih. Dengan sikap defensif, Heiran melipat kedua tangannya di dada, mencoba menikmati perjalanan siang itu yang sungguh ia tahu benar ke mana arah tujuannya. Berusaha menghalau pikiran tersebut yang sempat membuatnya merasa kecewa, meski jujur Heiran tidak bisa mengenyahkannya begitu saja, masih terasa mengganjal.

Selama perjalanan, di tengah lengangnya kesunyian yang terpaksa hadir dalam mobil, Suhaa menyadari hanya dirinya yang sedari tadi berusaha mencairkan suasana. Meluruskan kesalahpahaman yang tentu Suhaa tidak bermaksud dengan demikian, menyinggung perasaan wanitanya yang kini terlihat begitu buruk dengan semburat kekecewaan. Begitu kentara dengan sikap defensifnya, mengabaikan eksistensinya yang sedari tadi sudah seperti radio rusak yang masih terus menyiarkan kabar.

Niat semula ingin menggoda kekasihnya, kini justru berubah dengan Heiran yang benar-benar mendiamkannya. Tanpa mengalihkan fokusnya pada jalanan beraspal yang mereka lewati di mana Suhaa masih menggenggam erat kemudi dan mengendalikan laju mobilnya, sesekali di tengah kesempatan, Suhaa hanya melirik ke arah samping dirinya. Wanitanya tetap saja masih bersikap seperti itu.

Namun, di tengah rasa cemburu dan kekecewaan yang Heiran rasakan, Suhaa tersenyum tipis nyaris tak kentara. Pasalnya, baru kali ini, ia melihat wanitanya dengan perasaan seperti ini. Walaupun berulang kali Heiran tidak mengakuinya, tapi Suhaa bisa melihat akan kemurnian perasaan di sana. Walaupun, Suhaa masih melihat perasaan masa lalu akan keberadaan seseorang masih jauh lebih dalam menyentuh hati wanitanya.

Meski begitu, Suhaa merasa puas akan ekspresi yang jujur begitu ia harapkan. Tanpa meminta izin, Suhaa sengaja menyelipkan tangannya. Berusaha meraih tangan wanitanya yang terlipat dengan perasaan kesal di sana. Lalu, begitu ia mendapatkan apa yang ia inginkan, Suhaa sengaja meletakkannya di atas dadanya.

“Kau boleh marah sekarang. Tapi nanti, tidak akan aku izinkan begitu. Aku tidak ingin anakku mewarisi sifat pemarah ibunya.”
Mendengar itu, Heiran merasa geli. Tiba-tiba saja seulas senyum geli menghiasi salah satu sudut bibir Heiran. Mau tak mau, akhirnya Heiran memalingkan wajahnya, menelengkan kepalanya menatap Suhaa.

“Kau yakin sekali aktivitas pagi ini akan menghasilkan bayi,” singgungnya dengan ringan. Ingin melihat seberapa yakin Suhaa akan usahanya.

Namun, respons yang terlihay, justru masih ditanggapi dengan tenang oleh Suhaa. “Jika aku benar-benar bisa menghadirkannya, aku anggap itu sebagai suatu karunia dan bonus paling berharga dalam hidupku. Tapi, sejujurnya, dibalik keinginanku tersebut, aku juga merasa lega di sana.”

Heiran sontak mengerutkan dahinya hingga kedua alisnya nyaris menyatu. Lagi, ia tidak mengerti akan makna dari perkataan Suhaa yang selalu menyimpan maksud terdalam. Hingga dalam diamnya, otaknya yang begitu lambat berusaha memproses hal tersebut. Dan berakhir dengan dirinya yang memilih menyerah, lalu bertanya.

“Maksudmu?” Heiran menangkap ekspresi Suhaa yang masih begitu tenang. Tersenyum puas untuk menjeda sejenak. Terlihat begitu bahagia seperti indahnya sunrise di tengah tenangnya ombak pantai. Lalu beberapa saat kemudian, Suhaa mengecup punggung tangan wanitanya dan mengusapkannya tepat di pipi.
Heiran seketika itu bergeming. Berusaha menghela napas samar, walaupun jujur, dari bagaimana Suhaa memperlakukannya seperti ini, hatinya turut menghangat. Tidak tahu bahwa irama degup jantungnya sudah kembali berubah. Berpacu, merangsang agar aliran darahnya semakin mengalir deras. Sumpah demi apa pun, Heiran merasa gugup.

Selama beberapa detik terdiam, Suhaa pun kembali angkat bicara. “Tidak ada penolakan darimu. See ... Heiran-ku baik-baik saja. Itu artinya Tuhan lebih menakdirkan dirimu untukku.”

Benar, Heiran untuk sesaat juga menyadarinya. Begitu keduanya memilih mengakhiri aktivitas yang menggairah di pagi hari tersebut, dalam hati, meski sejenak Heiran juga mengakui hal tersebut. Tidak ada tanda-tanda yang dulu selalu membuatnya merasa tak nyaman setelah bercinta. Bahkan, untuk kali ini juga untuk beberapa kali sebelumnya, Heiran sekalipun tidak pernah merasa tersiksa. Tanpa sadar, dalam diamnya yang membuatnya berpikir, justru menarik perhatian Suhaa.

“Kau menyadarinya?” tanya Suhaa menyentak lamunan wanitanya. Seolah menebak pikiran Heiran.

Hingga Heiran memilih bergelayut manja pada Suhaa yang masih memegang setir kemudinya. Memeluk lengannya seperti mendekap sebuah guling yang terasa begitu nyaman seraya menyandarkan kepalanya di sana. “Hm, entahlah. Sepertinya begitu,” responsnya ragu. Meski begitu tetap saja, Heiran masih harus memastikannya.

Disandari seperti itu, jujur, Suhaa merasakan hatinya menghangat. Menemukan kenyamanan bersamaan dengan mendengar deru napas wanitanya yang teratur dari jarak sedekat itu, sungguh sangat melegakan bagi Suhaa. Kelamnya masa lalu, ekspresi yang selalu dipenuhi rasa takut di bawah naungan awan kelabu, seolah masih tercetak jelas dalam ingatan Suhaa.

Namun, melihat perubahan Heiran yang sekarang, meski perasaan takut akan kesendirian masih tetap ada, Suhaa tetap merasa lega. Walaupun tidak bisa menghapus jejak yang masih terpatri kuat dalam benak Heiran, Suhaa masih berharap dapat mengenyahkan rasa sakit yang selama ini membelenggu wanitanya dengan kehadirannya sendiri.

“Masalahnya bukan pada dirimu. Tapi ada pada dirinya.”
Selang beberapa saat setelah tenggelam dalam pemikiran yang selama ini selalu membelenggu Heiran, akhirnya mobil tersebut pun tiba di area parkir gedung teater Coliseum, London.
Heiran pun segera kembali menegakkan tubuhnya. Bergerak secara refleks melepas sabuk pengaman yang sejak tadi masih menahannya di tempat. Suhaa pun langsung keluar dari tempatnya dan beralih ke sisi pintu milik Heiran.

Begitu pintu miliknya terbuka, Heiran pun beranjak untuk turun dari mobil. Namun, belum saja ia hendak bergeser agar keluar dari sana, Suhaa telah lebih dulu menahan pinggulnya hingga sisi mobil bagian samping seolah berubah menjadi sandaran bagi punggung Heiran.

Awalnya Heiran sempat merasa tersentak dan juga bingung akan sikap kekasihnya yang menahannya seolah tidak memberi celah. Bahkan kini bila dilihat dari posisi keduanya berdiri, sedikit pun tidak menciptakan jarak. Akan tetapi, begitu melihat gelagat Suhaa yang tampak mengerlingkan pandangan sebelum beralih padanya, Heiran pun mengerti bahwa Suhaa seolah ingin memastikan bahwa di area basement tersebut sama sekali tidak ada orang selain dirinya.

Hingga satu detik kemudian, Heiran dibuat membeku akan pergerakan Suhaa yang tiba-tiba. Sesuatu yang begitu familier dan juga hangat telah menyapa permukaan bibirnya. Bukan hanya sebuah kecupan sekilas, melainkan ciuman tersebut berubah menjadi sebuah lumatan kecil yang sialnya, meski harusnya Heiran telah terbiasa. Namun, tetap saja, Heiran merasa gugup dan malu sendiri dibuatnya. Bahkan jantungnya nyaris melompat keluar jika saja saat itu kesadarannya beranjak dari tempatnya.

Begitu Suhaa puas merasakan manisnya lipstik yang teroles di bibir pink cherry Heiran yang sangat menggoda bagi dirinya, dengan senyum nakalnya ia pun berucap.

“Aku hanya ingin kau memikirkan aku seharian ini.”
Entah makna lain apa lagi yang tersirat dari ucapannya yang ambigu. Yang jelas, Suhaa seolah telah memprediksi apa yang akan terjadi besok lusa ketika pertunjukkan orkestra digelar. Seharian itu, Heiran hanya menyaksikan bagaimana Suhaa begitu kompeten dengan instrumen yang ia mainkan di atas panggung pertunjukan dari bangku penonton.

Meski begitu tiba di dalam ruang yang megah tersebut, nuansa merah dan emas dari bangunan bergaya klasik dengan naungan cahaya lampu yang begitu terang dan teduh itu turut menyambut, Heiran merasakan sesuatu tiba-tiba saja merangkak masuk dalam benaknya. Berusaha menyentuh bagian terdalam dari sisi rapuhnya.

Ya, satu lagi memori yang pernah terlewat kala itu tanpa izin kembali berkelebat. Mencoba mengusik di tengah kebimbangan yang sempat terasa. Namun, buru-buru sebelum kenangan itu kembali merontokkan hatinya hingga mengurai air mata, Heiran segera mengalihkan fokusnya pada kekasihnya.

Tentu, dalam hati ia menekankan bahwa ia harus terbiasa dengan keberadaan Suhaa. Kekasih, yang sebentar lagi juga akan bertunangan dengan dirinya di akhir musim gugur. Netra Heiran yang berwarna kecokelatan kini terkunci pada sosok tersebut. Mengunci seluruh indranya dan fokus pada alunan melodi yang menggema di dalam sana.

Sosok pria dengan kulit putih pucatnya yang semakin bersinar di bawah lampu sorot panggung pertunjukkan. Wajah seriusnya yang nyata. Namun, di mata Heiran, seolah sosok itu hanyalah sesosok bayangan tipis di mana secara khusus Suhaa seolah tidak memijakkan kesadarannya di sana. Sosok tersebut seolah melayang, lalu menyebarkan melodi indah dari alunan pianonya yang telah saling beresonansi dengan seluruh instrumen alat musik. Melebur, berpadu menjadi satu kemudian berpendar ke sepenjuru gedung. Menyentuh satu penonton yang kala itu hanya menyaksikannya dari bagian tengah.

Bagaimana Suhaa menutup matanya dalam menikmati melodi yang terus melantun menembus rungunya, sesekali pun turut terbuka hanya untuk memastikan perpindahan pergerakan tangannya terhadap tuts-tuts piano yang ia sentuh berpindah secara tepat. Walaupun, sesekali, Heiran juga menyadari ada kalanya netra keduanya saling bertemu pandang sejenak. Dan sialnya, Heiran justru bersemu di kala seulas senyum simpul dipersembahkan untuknya. Sungguh, hanya Suhaa yang mampu memorak-porandakan kewarasan Heiran yang terjebak dalam kelamnya bayangan masa lalu.

Di lain pihak, seorang pria yang usianya nyaris menginjak kepala lima mengulas seulas senyum penuh arti kala netranya yang bengis dan sarat akan menyimpan dendam mendapati beberapa foto seorang pria dengan seorang wanita dengan aksinya yang begitu intens yang diambil secara amatir dari berbagai sudut tanpa diketahui di sebuah basement gedung opera paling bergengsi di London.

Tawa licik pun menggema sekilas dalam hunian sempitnya berikut dengan sebuah seringaian yang tergores di salah satu sudut bibirnya. Dengan menandas habis vodka yang masih tersisa dalam gelas dengan satu kali teguk, pria itu pun bergumam. Meloloskan satu nama yang semakin memicu gemuruh dalam dadanya yang berkecamuk. “Suhaa Xavier Sargas.”












Tim Heiran Suhaa...
Huhuhu... melting
But... see u next part yag

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang