3. I Know It even if You Don't Say It

71 16 8
                                    


“Kau mau ke London?” tanya Heiran yang baru saja tiba dari dapur dengan membawa dua cangkir berisikan cokelat panas di tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kau mau ke London?” tanya Heiran yang baru saja tiba dari dapur dengan membawa dua cangkir berisikan cokelat panas di tangannya. Lalu meletakkan salah satunya tepat di atas grand piano yang tertutup itu dengan alas piringan kecil yang sebelumnya telah ia sediakan di sana.

Heiran memilih duduk di sisi Suhaa dengan berbagi tempat duduk yang tidak terlalu memiliki cukup ruang. Namun, dapat mendekatkan dirinya dengan Suhaa yang kala itu sedang memainkan benda klasik tersebut. Duduk dengan arah berlawanan seperti memunggunginya walaupun keduanya duduk secara bersisian.

Masih membiarkan jari-jemarinya menari di atas jajaran tuts-tuts berwarna hitam dan putih tersebut, Suhaa masih memainkan sebuah lagu untuk mengisi kekosongan yang sempat tercipta di mana semalaman keduanya justru berakhir dengan terjaga. Duduk di beranda kamar keduanya seraya menyaksikan pergerakan langit malam di kala saat itu kumpulan awan mendung tengah berjalan. Menutupi cahaya bulan dengan awan hitam pekat seolah menghalangi.

Heiran yang semalam masih berada dalam balutan piama bermotif garis berwarna biru, malam itu hanya bisa duduk di balik jendela kaca yang sengaja dibuka oleh Suhaa. Tidak terlalu lebar. Hanya sedikit menciptakan celah kurang lebih lima sentimeter guna memberi akses masuk bagi embusan angin di luar sana. Memberikan ruang sirkulasi guna mengganti udara dalam ruang yang dirasa pengap.

Netranya yang tampak sembab sekaligus berkaca-kaca masih terus mendongak menatap langit luas yang membentang. Tidak sadar hingga beberapa waktu berlalu ketenangannya terusik oleh sosok Suhaa yang memilih turut untuk duduk tepat di belakang Heiran. Memberikan pelukan hangat dengan menyusupkan kedua lengan kekarnya sembari mengusap bagian perut Heiran yang rata.

Untuk awalnya, Heiran sempat terenyak akan sentuhan tersebut dengan sedikit menegakkan tubuhnya yang kala itu tengah memeluk kedua lututnya dalam satu pelukan. Ketegangan yang begitu canggung turut menyusup dalam suasana yang terasa suram tersebut.

Bagaimana tidak, meski telah dua tahun berlalu, kenyataannya kekosongan yang kini mulai terisi masih begitu enggan melepaskan akan luka yang memilih tinggal tersebut. Hingga selama satu menit berselang, tubuh Heiran seolah mulai menyesuaikan dan menerima sentuhan yang dirasa hangat sekaligus menenangkan.

Kenyataannya, pria inilah yang sedang memeluknya malam itu adalah sosok yang paling tidak ingin melihat dirinya yang rapuh hancur begitu saja. Berusaha memberikan sandaran meski eksistensinya, jujur Heiran juga tidak bisa menampiknya.

Hanya menikmati suasana malam dengan embusan angin yang pada akhirnya bercampur gerimis. Keduanya terjaga hingga subuh menjelang. Dan kini, setelah malam yang membelenggu Heiran dan begitu menyiksa itu terlewat, akhirnya keduanya berada di sini. Duduk bersisian tanpa menyisakan jarak sedikit pun di tengah mentari pagi yang masih enggan menampakkan wajahnya.

Begitu melodi mendekati akhir, barulah Suhaa menanggapi kekasihnya. Berpaling guna menatap wanitanya yang kini tampak lebih baik dari pada semalam.

“Hm. Jika sesuai rencana ... itulah yang terjadi. Kau tahu, ‘kan? sebagai musisi sekaligus produser ada beberapa hal yang perlu kuurus setelah menggelar resital solo-mu.”

Suhaa menyingkirkan beberapa helai surai Heiran ke belakang telinga yang sempat menutupi visual sampingnya. Membiarkan wanitanya menyeduh cokelat panas yang Heiran buat.

Heiran pun sedikit memutar tubuhnya guna meletakkan cangkir berisikan cokelat panas tersebut seolah menjeda sejenak. Sebelum pada akhirnya ia menanggapi dengan perhatian penuh.

“Aku tahu. Bahkan kau juga sedang mempersiapkan orkestra besar atas permintaan ketua penyelenggara guna memberikan pertunjukkan bagi para pejabat dan para petinggi dalam negeri ini.”

“Karena itu, sebelum aku mengurus orkestra yang waktunya masih satu bulan lagi, aku harus ke London untuk menyelesaikan sesuatu,” jelas Suhaa seraya meraih cokelat panas tersebut. Tidak tahu bahwa ucapannya yang terdengar jelas telah menarik perhatian Heiran.

Beberapa kerutan halus telah mengisi ruang kosong di bagian kening. Kedua alis Heiran tampak menyatu karena bingung akan sesuatu. “Sesuatu?” ulangnya memberikan penekanan di akhir ucapan Suhaa.

Seulas senyum kecil, tertangkap oleh kedua netra Heiran, di mana Suhaa hanya memberikan anggukan kecil sebelum kembali menjelaskan. “Hm. Sesuatu yang penting. Sebuah kontrak kerja sama guna semakin membesarkan namamu. Ku rasa kau tidak lupa bahwa aku juga seorang manajermu. Namun, tidak hanya itu. Aku harus bertemu dengan kawan lama. Yah, lebih tepatnya, bukan hanya aku saja yang memiliki pekerjaan, tapi temanku, entah mengapa ia mengambil kesempatan di antara jeda waktu pekerjaan yang aku miliki. Ingin menemuiku.”

“Apa dia wanita?” tukasnya secara cepat. Pertanyaan refleks yang tiba-tiba saja membuat Heiran merasa tidak enak.
Membuat Suhaa sontak mengerlingkan pandangannya pada Heiran dengan tatapan yang penuh arti. Dengan nada yang menyiratkan kecemburuan, Heiran dengan berhati-hati mencoba menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Untuk menutupi rasa malunya, ia pun berdeham seraya merapikan surainya yang sebenarnya sudah rapi.

“Maksudku, apa seseorang yang kau temui nanti, seseorang yang kau sebut teman itu, seorang wanita?”

Tiada maksud untuk menyinggung Suhaa, Heiran masih bersikap tenang. Meski bisa dibilang, pekerjaan mereka sebagai pianis tidak ada yang menutup kemungkinan bahwa rekan kerja mereka adalah laki-laki atau perempuan. Tidak ada batasan khusus dan juga larangan mengenai hal tersebut. Hanya saja, ayolah, sejak tadi Heiran berpikir bahwa dirinya hanya akan menunggu di dalam apartemen tempat keduanya tinggal bersama seorang diri. Satu hal yang sangat mengerikan bagi perspektif Heiran.

Selama memandang lekat Heiran dalam beberapa detik, Suhaa pun terkekeh. “Kau, cemburu?” dengan menaikkan sebelah alisnya, Suhaa menggoda. Betapa ucapannya langsung membuat rona pipi Heiran yang semula biasa tampak pias.

Dengan pergerakan yang terlihat kikuk, bola mata Heiran akhirnya tak mampu menatap lawan bicaranya. Terlalu bingung hingga dirinya harus menggigit bibir bawahnya sendiri. Sebenarnya bukan perasaan yang seperti itu yang muncul.
Memang, seharusnya sudah sewajarnya jika Heiran sedikit menaruh curiga dan cemas apabila prianya bertemu dengan seorang wanita selain dirinya. Sejujurnya bukan masalah cemburu. Melainkan sesuatu yang selama ini sungguh menakuti Heiran. Berada di dalam ruang lengang dengan kesendirian yang ia sadar lebih mendominasi. Perasaan takut akan kesepian, lebih tepatnya perasaan itulah yang Heiran rasakan.

Jika Suhaa benar-benar pergi meninggalkannya seorang diri walaupun hanya untuk beberapa hari, tetap saja, hari-hari di mana tidak adanya eksistensi pria tersebut membuat Heiran takut. Faktanya, ia sangat bergantung pada Suhaa yang mengerti benar akan apa yang terjadi pada dirinya.

Heiran menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, bersamaan dengan satu tarikan napas samar sebelum kembali menjatuhkan pandangannya pada Suhaa. “Dibilang cemburu ... kupikir kau tahu benar bahwa aku belum mengartikannya seperti itu. Meski sejujurnya, harusnya perasaan itulah yang seharusnya ada lebih dulu.”

Wanita itu kembali menunduk. Tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Namun, tanpa harus menjelaskan, Suhaa juga mengerti akan setiap alasan sikap Heiran yang terlihat seperti ini.

Dengan sayang, Suhaa mengusap puncak kepala Heiran yang masih menunduk. Menarik seulas senyum simpul seolah segalanya berjalan baik.

“Aku tahu. Sejak awal ... perasaan itu hingga saat ini hanya kau tujukan pada satu orang.”

Mendengar ucapan Suhaa yang terdengar dalam dan lirih, sontak Heiran memandang Suhaa. Ingin sekali menjelaskan. “Oppa ... bukan seperti i ....”

Namun, di tengah ucapan Heiran, Suhaa menyelanya lebih dulu. “Aku tahu, Heiran-ie. Kau tak perlu menutupinya.”
Lagi dan lagi pria itu tersenyum. Mengusap punggung tangan Heiran dengan perhatian. Memilih menggenggamnya lalu memberikan kecupan sekilas di sana.

Lalu melanjutkan ucapannya. “Salahku, sejak awal aku tidak mengungkapkan perasaanku padamu. Sehingga, di saat ada pria lain yang menyatakan perasaannya, saat itu aku hanya bisa memberi ruang padamu. Sadar atau tidak, netramu tidak dapat menyembunyikan kebenaran bahwa kau mencintainya.”

Seketika itu, suasana di dalam ruang tersebut terasa intens. Lebih tepatnya, entah mengapa, tiba-tiba saja ucapan Suhaa semakin membuat Heiran merasa bersalah. Padahal, keduanya baru saja menjalani hubungan yang jauh lebih intens dari pada seorang teman.

Namun, lihatlah apa yang terjadi barusan. Dalam sekejap, Heiran mengacaukan suasana yang harusnya terasa hangat dengan hanya keberadaan keduanya, tanpa tahu suasana tersebut perlahan menggeser perasaannya akan sisi tersebut. Sisi yang harusnya hanya menjadi milik Heiran, akan tetapi Suhaa yang begitu peka mengerti benar akan hal ini.

Saat itu, Heiran hanya bisa menjatuhkan kepalanya tepat di bahu Suhaa. “Maafkan aku. Aku berusaha. Aku selalu berusaha ketika menerima hubungan ini. Harusnya aku cemburu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Aku membuatmu cemburu dan terluka.”

Suhaa menghela napas ringan. Masih mengusap surai Heiran dengan sayang tanpa ada maksud ingin menghakimi. “Aku tahu. Lima tahun, bukanlah waktu yang sebentar Heiran-ie. Banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun itu. Kenangan, bayangan akan sosok dirinya, atau bahkan ....”
Suhaa menjeda. Memahami benar bagaimana tulusnya perasaan tersebut. Pria itu menunduk sejenak. Mengulum bibirnya yang terasa kelu.  “Sungguh, aku mengerti bahkan aku sadar benar bahwasanya keberadaanku tidak akan bisa menggantikannya dalam sekejap. Terlebih, hubungan kita baru berjalan satu setengah tahun. Bisa tinggal bersamamu seperti ini saja, bagiku itu lebih dari cukup.”

Entah mengapa, mendengar setiap perkataan Suhaa, menciptakan sepercik sinar yang terasa hangat. Satu hal yang begitu Heiran sukai mengenai Suhaa. Di dalam hubungan keduanya yang berjalan tidak secara mulus, selama itu, Suhaa tidak pernah memaksakan kehendaknya. Memaksakan ingin mengusai hati seorang Heiran secara utuh.

Padahal, hal yang mungkin saja bisa diminta Suhaa tersebut tidaklah sulit. Akan tetapi, kenyataannya, melepaskan sekaligus melupakan adalah dua hal yang memiliki tujuan yang sama. Tujuan yang sedikit pun tidak ingin menciptakan luka baru dengan rasa yang dipaksakan.

Heiran pun akhirnya melingkarkan kedua lengannya pada Suhaa. Mencari kehangatan kembali dalam dekapannya yang hangat sekaligus menenangkan. Mungkin sikapnya bisa dibilang tidak tahu diri. Namun, Heiran tidak peduli. Di antara sakit itu, baik Heiran maupun Suhaa keduanya sedang mencoba mencari jalan untuk saling menerima dan menyembuhkan.

Hingga helaan napas samar yang sarat akan rasa syukur mendekap perasaan Heiran yang merasa lega. Netranya yang bergetar tipis mencoba melawan kabut tipis yang hinggap dan nyaris meluruh.

“Terima kasih. Kau berusaha menerimaku, Oppa. Aku tidak tahu, bagaimana caranya untuk berterima kasih padamu.”

“Hanya perlu ikut denganku ke London. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian. Lagi pula, sepertinya sudah lama sekali kita tidak berlibur bersama.”

Sontak Heiran mendongak meski kepalanya kini telah bersandar tepat di dada Suhaa. Hingga suasana yang menenangkan sekaligus menghangatkan tersebut seolah turut mengambil alih. Mendorong keduanya guna merasakan sentuhan bibir satu sama lain. Untuk kali ini, bukan Suhaa yang mengambil inisiatif. Melainkan Heiran yang ingin menghapus jarak yang sempat tercipta sekaligus sebagai tanda permintaan maaf.

























Hey....
Spill donk gmna mnrt kalian bab ini...
Btw thanks yag dah mau support.
See u on next chapter😃😃😃

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang