30. Just Do It (1)

30 11 12
                                    


Jika ada satu kata yang mampu merefleksikan kondisi dirinya untuk saat ini, satu kata yang paling tepat itu adalah lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jika ada satu kata yang mampu merefleksikan kondisi dirinya untuk saat ini, satu kata yang paling tepat itu adalah lelah. Jujur, Hobie merasa begitu penat akan aktivitas yang menjemukan dan amat membosankan bagi dirinya. Di mana, setiap masalah datangnya selalu silih berganti jika hal tersebut masih bisa dinilai sebagai batas kewajaran.

Sayangnya, masalah ini bukan bertumpu mengenai masalah pekerjaan sehingga Hobie tidak selalu menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Melainkan sesuatu yang bersumber dari masalah intern dalam keluarganya sendiri yang jujur begitu menekan dirinya. Padahal, di sela waktu kesibukannya, ia masih berharap dapat menemukan waktu senggang untuk memberinya sedikit ruang.

Bahkan untuk situasi saat ini. Hobie hanya bisa menumpukan kepalanya di atas satu tangannya seraya memijit bagian pelipis yang terasa pening di mana sikunya menjadikan meja tempat ia bekerja sebagai tumpuan. Setelah bergumul dengan beberapa dokumen perencanaan yang harus ia tinjau ulang sebelum ditandatangani, siang itu, tepat di waktu jam istirahat, ia memilih mengambil jeda sejenak.

Tidak seperti biasanya yang akan langsung menyelesaikan pekerjaan tanpa menunda waktu sebelum pada akhirnya ia benar-benar merasakan istirahat meski tidak tepat pada waktunya. Akan tetapi, di tengah ketenangan ruang kerjanya yang begitu hening tanpa kebisingan, kedua netranya yang semula sempat berdenyut pening, mau tak mau harus mengerling ketika ia mendengar suara langkah kaki yang dihasilkan oleh ketukan sepatu high hills seorang wanita.

Dengan menghela napas berat, Hobie mengubah posisi duduknya dan memilih bersandar pada kursi kebesarannya. Di mana kursi tersebut selalu senantiasa menjadi dudukan yang selalu mendekap dirinya nyaris seharian. Menyandarkan punggungnya dan berusaha merelaksasikannya untuk sejenak.

Dari kedua netranya yang menjatuhkan pandangan secara lurus pada sosok tersebut, ia menangkap sesuatu yang pasti tidak menyenangkan telah menyinggung istrinya pada hari itu. Benar, kunjungan tak terduga yang mengusik ketenangannya tersebut adalah Hyeri.

Terlihat dari bagaimana sikap Hyeri yang tiba-tiba saja melemparkan tas kecilnya secara asal ke sofa ruang tamu yang berada di ruang kerjanya. Sehingga tak butuh waktu lama bagi Hobie untuk memahami ekspresi tersebut yang jelas sesuatu baru saja terjadi. Dan alasan mengapa Hyeri akan mendadak berubah sikap seperti ini adalah pasti bersinggungan dengan ibunya.

Masih diam di tempatnya, Hobie hanya mengamati setiap pergerakan Hyeri yang tiba-tiba melemparkan tubuhnya ke atas sofa begitu melepaskan mantel cokelatnya ke sandaran lengan sofa. Lalu menghela napas kasar guna meluapkan amarahnya yang sedari tadi ia tahan sepanjang perjalanan.

“Aku tidak mengerti akan jalan pikiran ibumu. Terlebih teman-teman sosialitanya yang bersikap begitu kurang ajar di balik sikap keanggunan yang menunjukkan keangkuhan mereka yang dibalut dengan kesopanan yang terkesan dibuat-buat. Tiada hentinya menunjukkan kesombongan mereka melalui setiap pergerakan yang sengaja diminimalisasir padahal maksud hati adalah untuk pamer. Bila yang dipamerkan adalah benda berharga yang melekat pada diri mereka, aku masih bisa mentoleransi. Tapi ini ... sungguh Hobie ... Ya Tuhan! Tidak bisakah aku segera memiliki anak?”

Betapa dari mulut manis Hyeri begitu lancar mencibir kelakuan para teman ibu mertuanya tanpa jeda, sehingga di balik celah yang tercipta yang mampu ia lihat sampai Hyeri tidak bisa berhenti mengungkapkan penglihatannya ia sampai kehabisan kata-kata.

Mengoreksi setiap hal yang tidak pantas yang seharusnya sempat ia luapkan di tempat. Namun, yang terjadi justru seperti ini. Hanya bisa mencercanya di belakang dengan dalih menjaga kesopanan dan kehormatan ibu mertuanya meski di waktu bersamaan di dalam diamnya ia mencoba menahan diri.

Bukannya merasa turut khawatir dan bersimpati akan perasaan Hyeri yang merasa kesal, Hobie justru terkekeh mendengarnya. Seolah keluhan Hyeri hanyalah sebuah cerita komedi yang patut untuk ditertawakan. Begitu biasa mendengar omelan Hyeri setiap harinya dari mulutnya yang jujur Hobie mengakui bahwa istrinya bukanlah tipikal seseorang yang penurut. Melainkan seorang pembangkang yang begitu perfeksionis dan mudah meledak jika sesuatu dianggapnya tidak sesuai.

“Kali ini apa lagi? Bukankah seharusnya kau telah kebal mendengar hal semacam itu?” tukasnya seraya semakin bersandar pada sandaran kursi kerjanya. Menyilangkan kedua kakinya dengan santai di bawah sana.

Menampilkan senyuman yang terkesan menyebalkan berikut pandangannya di mata Hyeri yang masih memandangi suaminya dengan posisi terlentang. Hanya netranya yang mengerling mencari sosok suaminya itu.

“Apa dari sekian banyak kalimat, hanya itu yang bisa kau ucapkan atas apa yang menimpa istrimu? Sadarlah Hobie! Mereka sama saja mempertanyakan diriku sebagai wanita dan kelaki-lakianmu!” cibirnya dengan sinis yang sialnya begitu menusuk rungu Hobie. Terdengar tidak ingin disalahkan seorang diri.

Hyeri teringat akan ucapan salah seorang wanita yang usianya sama dengan ibu mertuanya yang sempat menanyakan kapan nyonya Benetnasch akan memiliki seorang cucu. Sembari memangku seorang balita berusia dua tahun seolah mengejek. Terlebih ini telah tujuh tahun terlewat dari pernikahan putranya.

Meski begitu implisit, Hyeri tahu bahwa wanita dengan perangai pongah dan congkak itu sedang membicarakan dirinya di balik deretan kata-kata analoginya. Membandingkan dirinya dengan Heiran yang tampak jauh lebih sempurna dengan kecantikan yang meneduhkan. Seperti sedang duduk di bawah pohon sakura yang rindang dengan hamparan bunga yang bermekaran di musim semi di mana angin turut berembus pelan. Terkesan hangat dan juga lembut. Tidak seperti dirinya yang digambarkan seperti urat pohon kayu yang tampak kaku.

Jijik, dalam hati, Hyeri berdecih kala itu, mengutuk sembari menahan napasnya. Meremas dress yang ia kenakan, menahan diri. Mencoba mengendalikan diri agar tidak turut terpancing untuk berkata kasar dengan turut mencibir. Berusaha membalas setiap perkataan mereka yang tidak beradab.

Dan yang semakin membuatnya kesal, setelahnya begitu Hyeri mengantar Evelynee, ibu mertuanya pulang, di dalam mobil Evelynee tiada hentinya membahas masalah itu. Bahkan tanpa sadar, di tengah kemarahannya, Hyeri sempat mengambil cara termudah sesuai saran dari dokter kandungannya yang selama ini membantu Hyeri dalam pengobatan agar terbiasa dengan cairan milik suaminya yang sialnya, hingga detik ini belum berhasil.

Akan tetapi, saat itu Hyeri menggeleng ingin menyerah. Ibunya tidak menyetujui cara itu. Tentu saja, Evelynee masih menuntut kesempurnaan untuk melahirkan calon cucunya, sehingga Hyeri hanya bungkam. Persis sama seperti ucapan Hobie yang membuatnya bergeming.

Hobie pun bangkit berdiri. Beralih beranjak dari tempatnya dan melangkahkan tungkainya mendekati Hyeri. Masih dengan tatapan dinginnya yang menyebalkan dengan seringai yang begitu Hyeri benci. Hingga begitu Hobie berdiri di sisi Hyeri yang masih terlentang merebahkan tubuhnya, tanpa beban Hobie pun angkat bicara.

“Masalahnya bukan pada kelaki-lakianku. Melainkan dirimu yang tidak bisa menerima benihku,” ucapnya dengan penuh penekanan. Menyinggung sisi kelemahan Hyeri yang memang terbukti adanya.

Bahkan saat berhadapan dengan Hyeri seperti ini pun, Hobie tampak terlihat santai dengan kedua tangannya yang masih bersembunyi di balik saku celananya. Kemeja berwarna hitam yang melekat pada suaminya semakin menimbulkan kesan kegelapan dengan aura intimidasi yang sengaja ingin Hobie tonjolkan untuk menekan dirinya.

Terlihat angkuh sehingga Hyeri mau tak mau turut bangkit berdiri, meski di waktu bersamaan ia berusaha melawan ketakutannya akan sikap suaminya yang seperti ini.

“Tidak mampu katamu?! Lalu kau berpikir Heiran mampu?!”

Dengan tatapan muak dan rahang yang mengeras, Hobie yang sempat mengerlingkan pandangannya pun segera membungkam mulut Hyeri dengan tangannya. Hingga tanpa sadar, sikapnya yang begitu kasar membuat Hyeri kembali terduduk di mana Hobie masih menahan mulut istrinya. Bahkan satu lutut Hobie sampai harus naik ke atas sofa di tengah celah kedua bagian paha Hyeri.

Kali ini sorot mata Hobie begitu tajam. Sampai-sampai Hyeri bergidik ngeri. Pernyataannya yang refleks tanpa sadar membuatnya terpenjara dalam situasi yang menegangkan tersebut. Bahkan saat Hobie menekannya, sedikit pun rahang suaminya tiada terbuka dan terus terkatup. Hanya mengandalkan bibirnya saja untuk bicara.

“Harus kuperingatkan berapa kali untuk tidak menyangkut pautkan hal ini dengan Heiran?! Bukankah keputusanku untuk membuangnya dengan menggantikan posisinya dengan dirimu adalah keputusan yang tepat?! Karena dirinya tidak mampu, mangkanya kau berfungsi untuk itu! Aku masih berusaha menjaga sikap denganmu agar tidak bersikap kasar seperti yang aku lakukan pada dirinya! Dan satu lagi Nyonya Benetnasch! Ini kantor dan bukan rumah! Jika kau ingin mengajakku berdebat, sebaiknya kau tahan emosi sampai di tempat yang layak!”

Dengan kasar, Hobie melepaskan tangannya dan menyingkirkannya dari istrinya. Bangkit menarik diri, meski posisinya tidak beranjak seperti semula. Masih menyandarkan satu tungkainya di sana tanpa memberikan jarak dengan Hyeri. Namun, dengan kedekatan yang seperti itu dan keangkuhan yang seperti itu, akhirnya Hyeri meluruhkan air matanya. Ya, meski ia begitu jengkel dengan situasinya, akan tetapi intimidasi dari suaminya selalu berakhir ancaman.

Dan sisanya, yang terjadi adalah seperti yang sudah-sudah. Bisa saja kala itu Hobie akan menidurinya secara paksa hingga pada akhirnya dirinya sendiri yang tersiksa. Meninggalkannya dengan derai air mata dan masalah yang ia alami begitu suaminya mendapatkan kepuasan.

Dengan kasar, Hyeri pada akhirnya menghela napas. Meski diperlakukan seperti itu, mengapa dirinya masih bertahan dengan harapan tipisnya? Masih mendengarkan ucapan suaminya yang tidak berhenti sampai di sana.

“Aku ....” kali ini nada suaminya melembut. Mengusap wajahnya dengan kedua tangannya meski sempat menahannya beberapa menit. Lalu dengan kasar kembali menunjukkan wajahnya yang kali ini jauh lebih tenang meski di waktu bersamaan, ada semburat penuh arti di sana.

“Sejujurnya tidak ingin memperlakukanmu seperti ini. Jika masalah anak, mungkin bisa saja kita mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan karena aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku tahu kau lelah. Tapi bisakah jangan mendatangiku dengan membawa topik yang sama di saat aku sedang bekerja?”

Ada nada memohon di sana meski tidak terlalu kentara. Untuk sejenak, entah mengapa Hyeri merasakan sesuatu menyentuh hatinya. Lagi, keduanya kembali terdiam dengan merenung.
Mengulas kembali akan kesalahan yang seharusnya tidak membuat keduanya terluka. Benar, Hobie bahkan kali ini tidak terlalu berniat membuat beban dalam kehidupan keduanya setelah hari itu. Dengan perasaan yang sedikit lebih baik, Hyeri mengusap air matanya dengan kata-kata yang seharusnya membuat suaminya merasa baik. Namun, entahlah, Hobie masih belum bisa berpikir jernih.

“Maafkan aku. Harusnya aku tidak mendatangimu di tempat seperti ini. Aku saja yang tidak bisa menahan diri.”

Hyeri menunduk. Merenungi kesalahan yang jujur ia sendiri baru menyadari bahwa sikapnya juga tidak terbilang pantas.

Hobie menghela napas berat. Kembali beranjak berdiri dengan sempurna dan memunggungi Hyeri.

“Aku tidak menyalahkanmu. Aku tahu kau lelah. Aku juga tidak memaksamu agar menghadiri dan mendampingi ibu bila kau tidak suka. Mulai sekarang lakukan sesukamu. Kau bisa memilah mana yang bisa membuat perasaanmu baik atau tidak. Jadi jangan memaksakan diri. Lagi pula, berhentilah menyudutkanku. Bukankah kita sedang berusaha agar memilikinya? Harusnya tanpa aku mengatakan ini, kau bisa melihat usahaku untuk membuat rumah tangga kita lebih baik. Tapi ... sepertinya Tuhan seolah menghukum keluarga ini. Jadi maaf ... jika telah membuatmu terbebani.”

Suasana kembali hening. Terlebih saat Hobie meninggalkan Hyeri dalam ruangannya. Seketika itu Hyeri merosot. Menyugar surainya dengan perasaan tak menentu.

























Hair. Maaf aku telat update ya.
D rl ada musibah yg harus aq hadepin jd gak bisa mampir k sini.
Walaupun dikit, aq harap sedikit mengobati rindu kalian ama para karakter Retrouvaille🥺🥺🥺

But, thanks dah mau mampir. Jangan lupa voment okay n ramein.
Thanks so much.

Touch with love.
Eirlys❄🌻

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang