Sarapan pagi di ruang makan terkesan begitu hening. Sampai-sampai, eksistensi dua orang yang kini saling duduk berhadapan di meja makan berbentuk persegi tersebut tergantikan dengan suara dentingan alat makan yang saling bersinggungan yang sedang mereka gunakan.
Dengan lahap Heiran menikmati roti panggangnya yang telah dibalur dengan selai kacang dan terpanggang sempurna. Menikmati pinggiran roti yang kering terpanggang dan terasa renyah. Entah sadar atau tidak, sikapnya semalam terkesan begitu terang-terangan dengan penolakan.
Tidak sadar, heningnya suasana pagi itu begitu menarik perhatian Suhaa yang masih terus memperhatikan pergerakan kekasihnya dari tempat ia duduk. Terlalu banyak diam dan menunduk, seolah menghindari kontak mata dengannya.
Dengan santainya, setelah memasukkan sesuap roti panggangnya, Suhaa pun mengendalikan suasana. “Kau masih memikirkan yang semalam?”
Suhaa masih sambil mengunyah apa yang berada di dalam mulutnya. Mengalihkan fokusnya begitu Heiran kini turut menatapnya. Seketika itu, Heiran berhasil dibuat membuang napas berat. Hingga sebuah anggukan, membenarkan atas pertanyaan yang Suhaa lontarkan.
“Maaf. Sepertinya, ucapanku terlalu ....”
“Tidak masalah,” sela Suhaa tanpa ragu. Begitu ringan, bahkan dari bagaimana Suhaa memandangnya, seolah tidak ada kemarahan sedikit pun mengenai sikapnya semalam.
Tanpa beban, Suhaa pun melanjutkan. “Hal yang paling mendasar mengenai menjalin suatu hubungan adalah kejujuran. Aku sungguh mengapresiasi kejujuranmu atas perasaanmu. Lagi pula, menghadirkannya dengan perasaan yang seperti ini, aku juga setuju jika itu egois. Dan juga, kariermu. Aku juga tidak ingin menghancurkan impian yang baru saja kau rilis. Jadi santai saja, jangan terlalu memikirkannya.”
Betapa dalam sekejap itu, Heiran mengulas senyum simpul. Begitu menyukai sosok Suhaa yang seperti ini di mana pria itu selalu berusaha bersikap bijak tanpa ingin membuat hatinya risau. Tidak ingin memberatkannya untuk menentukan suatu pilihan yang terbilang intens.
Dengan tenang, Heiran pun melanjutkan sarapan paginya. Akan tetapi, sebuah pertanyaan tiba-tiba tanpa jeda yang sungguh tidak ingin Heiran singgung, justru membuatnya tersentak kala Suhaa menanyakannya.
“Heiran-ie. Sejujurnya, aku begitu penasaran denganmu.” Suhaa mengulum bibirnya sejenak, hingga pada akhirnya ia pun tak kuasa menahan hal yang mengganjal dalam pikirannya. “Jika ... di kala suatu masalah terjadi terhadap seorang anak, bukankah rumah adalah suatu tujuan yang ingin kau datangi untuk mendekapmu? Mengapa, kala itu, kau justru memutuskan hal itu?”
Ya, Suhaa sengaja tidak menjelaskan bagian terburuk yang hari itu nyaris saja ia kehilangan Heiran. Lagi, takdir seolah menginginkannya agar dirinya tetap berada di sisi Heiran. Hingga Suhaa sendiri juga bertanya-tanya, mengapa harus dirinya yang selalu terlibat dalam kehidupan Heiran.
Jika saja ia hari itu tidak melewati sungai Seine, sudah dapat dipastikan ia akan kehilangan Heiran malam itu. Saat itu, Heiran justru meletakkan kembali alat makannya. Beralih meraih serbet yang berada di atas pangkuannya guna menghapus jejak sisa makanan di sudut bibirnya.
Entah bagaimana ia harus bereaksi. Bahkan bila ditanya hal seperti ini, hatinya begitu enggan untuk menjelaskan. Bukan tidak ingin terbuka. Namun, lebih ke ranah, ia tidak ingin membagi dukanya. Atau lebih tepatnya, menunjukkan sisi lemahnya guna menarik simpati orang lain, walaupun orang tersebut tidak berpikiran sama dengan penilaian Heiran. Heiran selalu menghindari hal itu. Meski cukuplah, malam itu Suhaa mendapati sosok dirinya yang putus asa dan memilih menyerah.
Suhaa masih menunggu dari tempat duduknya. Mengamati Heiran yang selama lima detik pada akhirnya hanya menyunggingkan senyum hambar. Miris. Entah mengapa, saat melihat senyum itu, Suhaa mengerti akan perasaan Heiran yang masih harus melewati masa tersulit.
Hingga detik berikutnya barulah netra keduanya kembalu bertemu. Dan masih tersenyum hangat saat Heiran memandang Suhaa.
“Waeyo? Mengapa tiba-tiba? Bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal?” lagi, hanya seulas senyum yang penuh luka yang terlihat mengiringi penuturan wanitanya. Namun, pertanyaan Heiran tak lantas menyurutkan keingintahuan Suhaa akan latar belakang keluarga Heiran.
Dengan hati-hati, Suhaa pun turut menyudahi sarapan paginya. Memilih mencondongkan tubuhnya dengan menjadikan kedua tangannya yang kini saling terpaut di atas meja sebagai tumpuan dagunya. Menutupi bibir tipisnya seolah menginterogasi.
“Jika yang kau maksud ibumu, aku mengetahuinya. Tapi, yang aku tanyakan adalah ayahmu. Kau, bahkan tidak pernah menyinggung keberadaannya, Tuan Asher Azzriel Sargas.”
Selama beberapa detik pandangan keduanya saling berserobok, Heiran dalam diamnya tampak menimbang dan berakhir dengan Heiran yang menghela napas pelan. Kala itu Heiran menggaruk bagian kosong di antara kedua alisnya yang tidak gatal. Bingung, bagaimana harus menjelaskan sosok itu dengan apa yang telah ia kenal. Sosok yang telah lama tidak ia lihat begitu ia lulus SMA. Sosok yang harusnya melindungi dirinya dan berada di sisinya di saat susah. Di mana Heiran seolah kehilangan pegangan hanya untuk berdiri tegar.
Namun, pemikiran yang realistis itu, harus rela ia tepis. Kenyataannya, Heiran harus terbiasa dengan dinginnya musim dingin sekaligus teriknya musim panas. Membiarkan musim gugur merontokkan kepercayaannya dan mengikis harapannya yang rindu akan sosok hangat tersebut. Tanpa mengizinkan musim semi yang selalu berujung pada harapan baru menanungi.
Heiran tidak pernah tahu alasan sang ayah meninggalkan dirinya begitu saja setelah kematian ibunya. Yang Heiran ingat kala itu hanya sebuah ingatan polos yang sialnya ia percayai begitu mudah. Sebuah dalih perjalanan bisnis hingga sejak hari itu sang ayah tidak pernah kembali. Meski sekadar hanya untuk menjenguknya. Bahkan hanya sekadar mengirim pesan singkat untuk memberitahukan keberadaannya sekaligus menanyakan kondisi putrinya pun tidak pernah ada.
Heiran pada akhirnya justru terjebak di dalam angan kosong yang begitu menyayat jiwa. Bahkan Heiran hanya tahu bahwa perusahaan keluarganya yang berada di Inggris dan Korea Selatan yang kini masih terus berkembang pesat sedang ditangani oleh kaki tangannya yang begitu ayahnya percayai. Seorang paman, yang mungkin lebih terasa seperti ayah kandungnya sendiri di mana keberadaan Tuan Elinor jauh lebih dominan di sisi Heiran.
Sosok yang saat ini masih terus menggantikan Heiran akan posisinya yang menjadi pewaris tunggal atas aset keluarga Sargas. Ya, hingga hari yang ditentukan dan entah kapan hari itu akan datang. Yang jelas saat hari itu tiba, saat itu Heiran harus bisa mengendalikan sekaligus meneruskan perusahaan keluarganya.
Di bawah meja tersebut, Heiran meremas kedua tangannya, gelisah. Dalam hati, ucapan Suhaa berhasil mengetuk perasaan sejatinya. Suatu perasaan di mana bila disentuh lebih dalam lagi, hanya derai gerimis yang kala itu akan terlihat.
Namun, dengan menarik napas dalam sekaligus berusaha membangun dinding defensifnya, Heiran pun berucap.
“Ayahku sedang melakukan perjalanan bisnis. Yah, paling tidak itulah yang aku ketahui selama dua belas tahun ini. Sejak kematian ibuku, di saat aku berada di bangku SMA yang jika diperkirakan secara pastinya ... aku saat itu masih duduk dibangku kelas dua SMA, ayahku pergi melakukan perjalanan bisnis. Setelah itu, yah ....” ia mengedikkan kedua bahunya menyerah. Faktanya ia tidak tahu apa pun. “Ia tidak pernah kembali.”
Kala itu Suhaa mengulum bibirnya. Menghentikan pembicaraan keduanya hanya sampai di sana. Ya, paling tidak, ia mengetahui kebenaran, bahwa kemungkinan ayah Heiran, Tuan Asher Azzriel Sargas memang masih hidup.
Tanpa diketahui oleh Heiran, seketika itu, pikiran Suhaa pun memutar mundur akan kejadian semalam di mana di dalam pikirannya yang aman, Suhaa berusaha menghubungkan informasi apa pun yang telah ia dapatkan.
***
“Kau sudah menemukan di mana dirinya?” tanya pria berkulit putih pucat yang kala itu hanya mengambil selembar kertas yang disodorkan padanya dan mengantonginya dalam saku jaketnya begitu saja.
Ingin menelisiknya seorang diri begitu selesai dari pertemuan tersebut, di mana kini keduanya bertemu di sebuah kelab malam tepat di jantung kota London. Lalu, kembali menghabiskan cairan wiskinya yang masih tersisa satu senti. Tetap memasang rungunya dengan baik dengan artian penuh. Berusaha membedakan ingar bingar suara musik Dj yang melantun di tengah lampu yang gemerlap dengan memusatkan fokusnya.
Mengikisnya hingga hanya suara orang tersebut yang terdengar.
Pria yang menjadi lawan bicara Suhaa hanya menggelengkan kepalanya, pelan. Meski masih ragu akan penyelidikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.