22. I Know, Are You Ok? (2)

19 11 15
                                    

Entah dari sekian banyak ruang yang berada dalam gedung tersebut, Heiran seolah tidak bisa menemukan tempat terbaik untuk melarikan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah dari sekian banyak ruang yang berada dalam gedung tersebut, Heiran seolah tidak bisa menemukan tempat terbaik untuk melarikan diri. Jika harus melarikan diri dan bersembunyi di atas gedung, ia yakin Suhaa akan segera menemukannya.

Kedua netra Heiran yang kecokelatan itu kini beralih melihat ke kedua sisi lorong yang tampak kosong dan lengang tersebut. Tidak ada orang di sana selain dirinya. Di saat ia mengerlingkan pandangan, Heiran bisa melihat tulisan yang tercetak secara jelas pada papan akrilik yang berada di salah satu dinding sisi pintu. Menggambarkan simbol toilet yang diperuntukkan bagi wanita dan juga pria.

Saat berjalan kemari dan mengambil sisi yang berlawanan dari Suhaa yang mengejarnya, tanpa sadar langkahnya yang terburu dan minim kehati-hatian mengakibatkan dirinya menabrak seseorang. Seorang pemuda yang Heiran yakin usianya kala itu menginjak sekitar angka dua puluhan. Terlalu muda, tapi ia cukup terkejut kala pria itu mengenalnya dan mengatakan bahwa ia salah satu hadirin yang turut hadir pada resital solonya di Paris.

Pemuda tersebut pun mengajak berkenalan dengan senyumnya yang ramah. Memperkenalkan diri terlebih dahulu untuk menunjukkan rasa hormat dan juga menjaga kesopanan. Alih-alih terfokus dengan nama yang pemuda itu perkenalkan, pikiran Heiran kala itu hanya tertuju pada benda yang ia harapkan dapat mengalihkan rasa penatnya. Tentu, di awal ia harus menanggapi dengan sopan sebelum mengalihkan topik untuk bertanya, apakah pemuda ini memiliki sebatang rokok atau tidak. Dan syukurlah, apa yang Heiran butuhkan dapat ia peroleh dari pemuda tersebut dengan senang hati.

Heiran pun kini mengeluarkan satu batang rokok tersebut yang ia dapatkan secara cuma-cuma. Sungguh, ini baru pertama kalinya ia menyentuhnya sebagai beberapa pilihan untuk menghilangkan rasa frustrasinya. Bagaimana pun, malam ini ia tidak bisa menyentuh minuman dan menenggelamkan kesadarannya mengingat dirinya masih harus memikirkan opsi lain untuk melarikan diri. Sehingga ia masih memerlukan kesadaran penuhnya guna berpikir.

Namun, di antara rasa sakit yang membuat kepalanya pening, Heiran kembali terbayang akan kilasan memori yang beberapa waktu lalu kembali ke permukaan. Memeluknya dan kembali menyentak hatinya di mana ingatan tersebut turut andil dalam menentukan suatu keputusan. Apakah ini yang dia harapkan? Sebuah pertanyaan sederhana kembali mencuat. Pertanyaan dalam pikiran yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Beberapa kali Heiran merenungkan pilihannya. Terdiam hingga akhirnya ia mengambil tindakan tersebut. Heiran pun kembali termenung setelah menghela napas samar. Sembari memainkan benda berbentuk tabung nan tipis itu yang berisi tembakau dan tentu juga nikotin dengan perasaan ragu.

Benarkah ini yang ia inginkan? Harusnya ia merasa lega begitu ia memainkan melodi lagu yang diberikan untuk mengurangi perasaan trauma sekaligus menghilangkan rasa takutnya. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, hatinya berdesir dengan debaran jantung yang berpacu tidak beraturan.

Untuk sesaat, ia sempat gemetar dengan perasaan penuh sesal. Namun, bila ia melihat dari sudut pandang yang lain, mungkin apa yang telah ia lakukan tidaklah begitu buruk. Sampai-sampai dalam kesunyian itu ia menggelengkan kepalanya dengan senyum hambar. Menertawakan dirinya sendiri yang sepertinya baru saja memutuskan kesalahan besar.

Tanpa pikir panjang dan banyak menimbang, wanita itu pun meletakkan benda tersebut di antara kedua belahan bibirnya. Membakar ujungnya dengan pemantik yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Hadiah kecil yang diberikan untuknya ketika ia merasa takut di dalam gelap. Harusnya ia tidak menggunakannya untuk ini. Tapi apa boleh buat, kenyataannya denyut nyeri itu tidak pernah sedikit pun meninggalkan Heiran.

Dengan satu tarikan napas, Heiran pun menghisap benda tersebut. Menyibakkan surainya ke belakang dengan raut muka yang sudah begitu lelah. Tetap menjadikan pinggiran jendela sebagai tempat dudukan yang nyaman. Meski ia tetap mengandalkan kakinya agar tetap kokoh dalam posisinya. Tidak sadar, seseorang sedari tadi tampak selalu memperhatikan pergerakan Heiran yang tampak begitu frustrasi.

Heiran pun masih menundukkan kepalanya, membiarkan kedua sisi rambutnya yang bak tirai tersebut menutupi visual samping dirinya. Sesekali terbatuk karena ia tidak biasa melakukan hal ini. Lebih tepatnya untuk pertama kalinya dengan amatir ia bergantung pada benda tersebut dan menghisapnya. Dengan pergerakan tidak diduga, di mana Heiran masih termenung, seseorang dengan pergerakan tiba-tiba merampas benda yang baru saja melegakan perasaannya selama beberapa detik. Lalu, beralih menghisapnya seperti barang yang baru dicurinya adalah miliknya sendiri.

Sontak Heiran mendongakkan kepalanya. Menatap sosok tersebut yang semula memandang ke arah lain sebelum kini turut menatapnya. Terkesan santai dan juga tenang. Begitu menikmati zat yang terkandung dalam benda tersebut sebelum mengembuskan asap putihnya ke udara tepat di depan Heiran. Seolah menikmati benda jarahannya tanpa rasa bersalah.

“Kau.” Heiran tercekat. Harusnya ia tidak bertemu dengan sosok ini. Sosok yang selalu ia hindari agar tidak pernah terlihat lagi di depan matanya.

Namun, dengan tak acuh, pria tersebut pun menjawab keterkejutan Heiran yang begitu kentara dengan maksud mengapresiasi. Begitu santai menghisap rokok yang ia peroleh dari wanita yang berada di depannya. Berucap begitu datar dan dingin.

“Terima kasih. Permainan yang begitu bagus.”

Pria tersebut pun berbalik. Menghampiri tempat sampah yang tak jauh dari sisi Heiran. Mematikan ujung rokok tersebut dan membuangnya. Dengan perasaan yang gamang, Heiran masih mencerna. Baru saja sepertinya ia seperti berbagi benda tersebut dengan pria yang menghampirinya tanpa diduga.

Masih dengan memperhatikan setiap pergerakan pria tersebut, Heiran memilih diam. Kembali menyugar surainya dan mengalihkan pandangannya ke hal lain. Seharusnya tidak ada yang menemukannya di sini. Mungkin ia bisa menghindar dari Suhaa. Akan tetapi dengan sosok ini, jelas suatu kebetulan yang sulit diprediksi. Bahkan Heiran tidak memikirkan sekaligus memperhitungkannya.

Heiran menelan salivanya dengan susah payah di mana kini di depannya kembali berdiri sosok tersebut, Hobie, mantan suaminya sekaligus penjara yang baru saja ia lepaskan.

“Terima kasih,” balas Heiran pada akhirnya tanpa menatap lawan bicaranya. Tidak tahu bahwa Hobie masih menyeringai menatap dirinya dengan tatapan tegas penuh arti.

“Tidak perlu berterima kasih. Kupikir kekasihmu sudah menemukanmu. Ternyata, kau masih di sini.” Entah terdengar bersimpati atau menyindir, sikap Hobie kali ini tidak mampu Heiran mengerti. Bukankah sebenarnya mudah saja bagi Hobie untuk melewatinya?

Bukan justru berhenti dan menghampiri dirinya dengan mengucapkan terima kasih yang jujur ucapan tersebut terdengar seperti menusuk dirinya. Antara perasaan senang karena akhirnya Heiran telah melepaskannya, atau justru Heiran seolah masih berharap bahwa Hobie memiliki perasaan tidak rela saat mendengarnya.

Heiran yang kala itu sedang bersandar di pinggir bingkai jendela tersebut, melipat bibir bawahnya ke dalam. Menahan sesak dengan sensasi yang sama bila berdekatan dengan Hobie seperti ini. Bagaimanapun ucapan terakhir kali yang dilayangkan untuknya begitu sarkastis. Begitu melukai perasaan Heiran yang telah terbuka dan bersikap jujur.

Hening, Heiran bahkan tidak bisa menjawab apa pun. Entah karena memang Heiran memilih diam, atau mungkin tidak menemukan topik pembicaraan apa pun untuk menghindari situasi yang tidak mengenakan tersebut. Namun, melihat ekspresi itu kembali, sebenarnya Hobie merasa tidak tega. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun terlewat, Heiran justru memilih menunduk tanpa ingin melihat dirinya.

Tanpa diketahui oleh Heiran, Hobie pun menarik napas samar. Mengucapkan sesuatu yang sontak membuat Heiran memandang dirinya.

“Lain kali ... usahakan jangan kenakan pakaian yang tipis ketika tidur bila tidak ingin daya tahan tubuhmu merosot.”

Satu detik. Dua detik. Heiran dalam diamnya tampak mencerna. Seketika itu bayangan di kala ia sedang terlelap di dalam ruang nan gelap, perpustakaan rumah yang dulu sempat keduanya tinggali pun melintas dalam bayang. Seperti kecupan sekilas yang menyapa keningnya kembali terasa begitu jelas dan hangat. Pandangan samar yang terlihat seperti mimpi itu, seolah berusaha menjelaskan penglihatannya yang gamang.

Melihat bagaimana ekspresi Heiran yang tampak membeku berusaha menyadari sesuatu, Hobie pun memilih menarik langkah untuk pergi. Namun, baru dua langkah pria itu beranjak dari tempatnya berdiri, Heiran pun berhasil menghentikan langkah Hobie.

“Selamat atas pernikahanmu. Maaf aku tidak bisa datang hari itu.”

Saat itu dengan menarik napas berat dengan begitu susah payah, tanpa berbalik, Hobie pun menimpali.

“Aku tahu.”

Ya, tentu saja Hobie tahu. Bahkan ia begitu mengerti akan perasaan Heiran yang tanpa perlu wanita tersebut ucapkan.

***

“Hobie, apakah benar itu kau?”

Suara seorang wanita baru saja berhasil menghentikan langkah Hobie yang nyaris mendekati pintu keluar dari gedung tersebut. Dengan seulas senyum yang begitu hangat, wanita tersebut pun segera meraih Hobie dalam pelukannya. Memeluknya sejenak dengan begitu erat sebelum pada akhirnya ia mengurai pelukannya.

“Kei ... kau ... di sini?” Hobie sembari mengerlingkan pandang. Seolah memastikan bahwa wanita ini memang datang seorang diri.

Saat itu, dengan yakin wanita itu mengangguk mantap. “Hm. Tentu aku di sini. Permainan orkestra pada malam hari ini begitu menakjubkan. Eoh, lalu mana Heiran?” tanyanya dengan ringan seraya mencari sosok yang harusnya sejak tadi menempel pada Hobie. Namun, belum wanita itu menemukan seorang wanita yang dicarinya, seorang wanita baru saja bergelayut memeluk Hobie dengan begitu mesra dan manja dengan seulas senyum intens. Membuat wanita tersebut terdiam sejenak dan memberikan ruang bagi keduanya. Tampak menerka di dalam pikirannya yang aman dengan menjaga batas kedekatan dirinya dengan Hobie.

“Hobie, aku mencarimu ke mana-mana. Kau bilang menungguku di lobi, tapi kenapa di sini, hm?”

Dengan ekspresi yang tampak begitu bingung, Hobie berusaha bersikap senatural mungkin di hadapan kedua wanita tersebut. Dengan canggung, Hobie mengusap belakang tengkuknya yang tidak gatal seraya memperkenalkan Hyeri. Walaupun sejujurnya, untuk saat ini kepalanya terasa begitu sakit dan berat.

“Hyeri, dia sahabatku semenjak kami kuliah bersama di Universitas Oxford, Keiyona Sadr. Dan Kei, dia Hyeri, istriku.”

Mendengar penuturan Hobie, ekspresi Keiyona tampak berubah. Bahkan Hobie menyadari perubahan ekspresi yang begitu kentara tersebut. Dengan tetap memaksakan seulas senyum ramah, Keiyona pun menjabat tangan Hyeri.

“Senang bisa melihatmu. Aku Keiyona Sadr.”

“Hei, senang juga melihatmu, aku Hyeri, istri Hobie.”

Saat itu Keiyona mengangguk, tersenyum, menyadari akan situasinya. Memahami sesuatu atas pertemuan tak terduga yang kala itu turut membuatnya tercengang.

























😭😭😭😭
Judulnya diperhatikan dalam diam😭😭😭
Gak tahu gmna sakitnya Mbak Heiran
Tapi ....
See u next tuesday
Jangan lupa voment yag😃😃😃

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang