Di lain tempat, Heiran masih merutuk sebal dengan beralasan. Memaki ponsel yang sengaja ia matikan agar Suhaa menerima akibatnya. “Memang aku lebih mengkhawatirkan seseorang jauh di dekatku. Tapi bukan berarti ia harus bicara sejujur dan sedingin itu, kan? Jika tahu pernyataannya akan menyakitiku dalam mengungkap kebenaran, kenapa tidak bohong saja dengan mengatakan latihan semalaman?! Aku juga akan mengerti jika alasannya hanya sampai di sana! Cih, sial!”
Dalam kesunyian itu, Heiran tiada habisnya merutuki Suhaa. Sungguh menyayangkan sikapnya yang jujur membuatnya kecewa. Terlebih perdebatan keduanya pagi itu yang juga menyadarkannya akan sikapnya. Tapi, apa mau dikata. Segalanya yang Suhaa ucapkan merupakan kebenaran yang sialnya, Heiran mengakui hal yang tidak mengenakan tersebut.
Di dalam perpustakaan yang menjadi ruang baca pada rumah tersebut, Heiran duduk di sofa malasnya yang berwarna merah. Merenungi segala hal dengan raut murung di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung, berdenting di mana suaranya menjadi teman dalam kesunyian tersebut.
Ada satu hal yang hingga detik ini Heiran tidak mengerti. Mengerti akan kelemahannya yang masih terjebak pada masa lalu.
Ia tahu, bahkan dirinya juga sadar bahwa sikapnya ini tak semestinya ia tujukan pada Suhaa yang menurutnya telah begitu baik menerimanya. Menerima dalam artian apa adanya dirinya. Namun, jujur, dalam setiap napasnya, dalam setiap kegiatannya, Heiran mengakui, bahwa sosok itu lebih mendominasi dirinya. Berdenyut dalam satu nadi dan bernapas dalam setiap embusan napasnya.
Miris, di saat ia yakin prianya telah bahagia, dirinya sendiri masih terjebak di sini. Di dalam ruang gelap yang selalu memutar kembali masa lalu. Di antara sejuta emosi yang pernah ia lewati dulu. Harusnya, dua tahun lalu, Heiran merasa, mungkin lebih tepat jika seharusnya hari itu ia bisa menepis segalanya.
Tapi, teori dan kenyataan tidak segalanya beriringan sesuai jalannya dan sekaligus semudah membalikkan telapak tangan. Kenyataannya, sosok masa lalu yang telah berjalan selama kurang lebih hampir sepuluh tahun tidak mungkin bisa terhapus dengan hujan selama dua tahun. Bahkan mengharapkan pelangi setelahnya, sungguh mustahil.
Di tengah kesendirian, walaupun cahaya menyusup sebagai pengganti gelap, terkadang tubuhnya masih menggigil. Meringkuk di atas luka yang semakin hari semakin menyayat dirinya. Jika mengingat hal menyakitkan itu, Heiran kembali menjatuhkan air matanya.
Netranya yang kecokelatan pun kembali berkabut. Berkaca-kaca, meratapi hancurnya dirinya sendiri. Heiran pun menyugar surainya dengan kedua tangannya. Berusaha menarik napas panjang untuk melonggarkan beban yang menyesaki pusat dadanya. Lagi, Heiran berusaha memeluk dirinya yang rapuh.
Perlahan tubuhnya pun bersandar pada sofa malas tersebut yang memiringkan tubuhnya hingga 120 derajat. Sebuah isakan kembali terdengar, semakin memilukan rungunya.
Hari itu, Heiran tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Hotel yang seharusnya menjadi tujuan termudah dengan fasilitasnya yang nyaman, ternyata bayangannya tidak semudah itu. Berbagai pertimbangan pun saling timpang tindih di dalam kepalanya.
Ia takut bila menggunakan fasilitas publik, orang suruhan ayahnya yang ia yakini masih mengejarnya akan menemukannya. Namun, jika ia kembali menempati rumah yang menjadi tunjangan akan kelamnya kenangan tersebut, sungguh ia seolah menjilat kembali ucapannya yang telah menolak secara tegas pemberian tersebut.
Akan tetapi, dengan tidak tahu dirinya akhirnya ia tetap berada di sini. Di dalam rumah yang dihadiahkan seseorang sebagai tunjangan yang sedikit pun tidak ingin ia sentuh kembali. Namun, bagi Heiran kala itu, hal ini adalah keputusan paling tepat, di mana Suhaa dan orang suruhan ayahnya tidak akan menemukan dirinya.
Selama itu, begitu Heiran berhasil membesarkan namanya, ia selalu menyewa jasa kebersihan untuk membersihkan rumah tersebut. Sehingga tak heran jika ia menempatinya kali ini tidak ada debu yang melapisi perabotan yang masih utuh di tempatnya. Bahkan posisinya pun tidak berubah.
Heiran pun melepas sandal rumahnya yang sedari tadi melekat sebagai alas dan kini mengubah posisinya. Berbaring di atas sofa dengan lengan yang menutupi wajahnya. Lelah, Heiran begitu menyerah akan hidupnya yang begitu pelik. Mengembuskan napas kasar begitu putus asa karena bingung.
Seolah buku yang selalu ia bawa ke mana pun kini menjadi pegangan terbaik yang senantiasa menemani dirinya. Dengan memejamkan mata, kesadaran batinnya yang jernih pun tanpa sadar mengungkapkan keinginannya yang begitu murni. Beriringan dengan penghangat ruangan yang kala itu masih bekerja dengan sangat baik.
“Hobie, apa kau sudah bahagia? Bagaimana aku harus melupakanmu? Semakin aku membencimu dan ingin melupakanmu, di waktu bersamaan aku semakin mencintaimu.”
Heiran pun menggigit bibir bawahnya. Semakin memeluk rapat buku berwarna biru itu. Buku yang selalu berhasil menenangkan dirinya yang tidak memiliki pegangan. Meresapi setiap kata demi kata yang tercetak di sana dengan membuka hati penerimaan. Menerima kembali dirinya yang telah hancur, di mana dunianya yang runtuh lebih memilih menimpa dirinya. Benar-benar merefleksikan kebenaran akan hatinya. Every word you cannot say.
Terisak dalam kesunyian yang bisu yang terdengar mengasihani dirinya. Tanpa bisa ia bendung, air matanya pun meluruh. Menghancurkan benteng terakhir yang berusaha Heiran tahan. Kembali membawa rasa sakit yang menyiksa. Hingga detik jarum jam yang berada di ruang tersebut tanpa sadar seolah menjadi ketukan yang menghipnotis, lalu membuai Heiran hingga dirinya terlelap.
Di dalam pejaman matanya yang terlelap dalam ruang yang lengang tersebut, ingatannya yang jernih seperti hari kemarin akan setiap kalimat yang tertulis di dalam sana seolah terngiang kembali di dalam jiwanya. Ia ingat benar akan setiap kalimat yang selalu membuatnya kembali berdiri.
You are part of a beautiful story. But ‘Chapter One’ is not your first memory. The first word in this story was written a long, long time ago. And you are only in the story for just a few short pages. But in these pages, you get to decide how the story goes. Over time, you will play every character in the story. You will love and be loved. You will hate and be hated. You will be cruel and you will be kind.
Benar, dalam kehidupan, Heiran menyadari bagaimana alur dalam suatu hubungan. Tidak selamanya yang berada di dekatnya akan memilih tinggal. Dan juga yang memilih pergi memang tidak selamanya juga berkeinginan untuk meninggalkannya. Ia hanya tahu, kebenaran yang harus ia terima adalah, rasa sakit yang mendekap dirinya berasal dari orang terdekatnya.
Lagi, setiap kalimat yang telah ia baca tersebut kembali berputar, sesak yang menekan pun turut hadir dalam denyut nyeri. Meluruhkan kembali derai gerimis di bawah ketidaksadarannya. Miris. Tidak sadar, tanpa ia duga, selang beberapa jam dirinya terlelap, seseorang dengan kilat netra teduhnya kini tampak mengawasi.
Menyembunyikan keberadaan dirinya dalam satu embusan napas milik Heiran. Entah apa yang kini sedang seseorang itu rasakan, hatinya kembali menghangat kala melihat sosok tersebut.
Nalurinya yang begitu alami dalam memperlakukan seseorang yang begitu istimewa, mendorongnya untuk menyelimuti tubuh sang puan dengan berhati-hati tanpa ada maksud ingin membangunkan wanitanya. Padahal hanya melihatnya seperti ini, orang tersebut merasakan jantungnya kembali berdebar. Rasa yang sama dan begitu murni.
Bahkan dari jarak sedekat itu, ia pun merasa dirinya tak mampu untuk menyentuhnya. Apa lagi untuk menjangkaunya. Dengan seulas senyum penuh arti, sosok tersebut memberikan satu kecupan sekilas tepat di kening. Menahannya di sana dengan begitu tipis. Berusaha menahan dirinya yang kembali bergejolak dengan emosi tak menentu.
Dalam tatapan mirisnya, dalam hati ia bergumam. “Maafkan aku yang telah menorehkan luka padamu.”
Entah antara mimpi dan kenyataan, masih dalam tidurnya, Heiran tidak menyanggah perasaan itu. Gelenyar hangat baru saja merangsek ke sekujur tubuhnya. Berharap meski perasaan ini hanyalah mimpi, Heiran ingin merasakannya sesaat. Sungai kecil terus mengalir, bersamaan embusan napas berat seseorang.
***
Keesokan paginya Heiran terbangun kala secercah sinar mentari berhasil menyusup melewati tirai yang menggantung pada jendela berukuran besarnya dalam ruang tersebut. Tidak terasa, sore harinya telah berganti kembali dengan pagi. Saking lelahnya merenungkan apa pun yang terjadi mengenai hidup, ia pun tidak menyadari bahwa tatanan benda yang berada di atas sofa yang ia tiduri pun berubah. Termasuk posisi tidurnya yang ia ingat benar semula setengah berbaring dalam posisi duduk, kini begitu lurus layaknya tidur di atas ranjang.
Di kala terbangun, ia telah mendapati sebuah bantal, guling, sekaligus selimut yang masih membalut tubuhnya. Menghangatkan dirinya di tengah hawa dingin di pertengahan musim dingin. Samar-samar, dengan perasaan enggan, ia berusaha membuka matanya yang sayup-sayup berusaha mempertajam bayangan samar khas bangun tidurnya. Meregangkan kedua tangannya ke atas sembari menggerakkan kepalanya.
Betapa hening menyambut dirinya di pagi hari. Netranya masih berlarian mengedarkan pandang. Pikiran yang masih mengawang, mencoba memproses kembali kesadarannya yang harus ia paksakan. Heiran merasa aneh. Buku yang seingatnya ia peluk semalam telah berada di atas meja bersisian dengan kantung plastik berisi sekotak nasi untuk sarapan pagi.
Sontak Heiran pun mengerutkan dahi. Mencerna keanehan tersebut dengan penuh tanya. Bagaimana ada kantung plastik di atas mejanya yang ia ingat dengan benar hanya ada gelas bertangkai tinggi dan sebotol Wine? Dengan menyibakkan selimut tebalnya, Heiran mencondongkan tubuhnya guna mengecek kantung plastik berisi makanan tersebut.
Dirinya pun terenyak kaget. Nasi kotak tersebut masih terasa hangat bersamaan ia menjatuhkan atensinya pada arlojinya. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi dan dirinya pun baru terbangun.
Seketika itu Heiran pun terperanjat bangkit berdiri seraya membawa kantung plastik tersebut. Melewati lorong pendek yang menyuguhkan ruang terbuka untuk turun ke lantai dasar. Membawanya ke dapur dan meletakkannya di meja counter.
Baru dirinya hendak mengeluarkan nasi kotak tersebut, suara seorang wanita yang menyambutnya pun membuatnya mundur berjingkat kaget.
“Selamat pagi Nyonya Heiran.”
Netra kecokelatan milik Heiran seketika itu membulat. Tidak percaya akan bertemu kembali dengan bibi yang selalu membantunya membereskan pekerjaan rumah. Seorang wanita yang usianya sudah menginjak empat puluh delapan tahun yang ia kenal benar perawakannya.
“Bibi Em. Kenapa Bibi di sini? Bukankah sejak hari itu, Bibi juga memutuskan untuk berhenti bekerja?” tanya Heiran dengan perasaan bingung, begitu penasaran. Seingatnya sejak kejadian yang benar-benar ingin Heiran lupakan tersebut, seluruh asisten rumah tangga yang bekerja padanya pun tampak gelisah takut akan situasi yang terjadi.
Hingga beberapa dari mereka memilih mengundurkan diri begitu mengetahui bahwa pemilik rumah memutuskan untuk berpisah. Bahkan selang beberapa bulan sebelum itu, dari bagaimana pertikaian yang menegangkan antara pasangan tersebut terjadi, beberapa di antaranya tampak khawatir dengan nasib yang jujur menggantungkan mereka. Bagaimana keberlangsungan hidup mereka kelak? Padahal menemukan seorang majikan yang begitu baik bisa terbilang begitu sulit. Terlebih bagaimana sang majikan memperlakukan para pekerjanya layaknya keluarga. Walaupun masih berada dalam batas kesopanan tertentu.
Akan tetapi, di antaranya, bibi Emili adalah orang terdekat Heiran begitu Heiran memasuki rumah tersebut untuk pertama kalinya. Dengan hati-hati, bibi Em yang baru saja keluar dari toilet dapur pun mengambil alih tugasnya yang seharusnya bisa Heiran lakukan sendiri. Berjalan mendekati sang majikan dan membuat Heiran masih bergeming di tempatnya, menunggu.
Tanpa ingin membuat mantan tuan rumahnya menunggu, wanita paruh baya itu pun menanggapi agar tidak menimbulkan praduga yang tidak diinginkan.
“Tadinya saya ingin mengambil barang bawaan saya yang begitu penting yang sepertinya tertinggal di kamar saya, dulu. Mungkin, Nyonya merasa heran karena keberadaan saya di sini yang bisa dibilang begitu tiba-tiba. Lalu nyonya pasti juga berpikir, bisa saja selama dua tahun itu saya telah kemari sebelumnya. Akan tetapi, karena bulan depan saya harus kembali ke desa untuk memperingati hari kematian suami saya, maka dari itu saya menyempatkan diri untuk datang kemari. Awalnya saya berpikir mobil yang berada di depan pekarangan rumah adalah milik Tuan Hobie. Ternyata begitu saya menyusuri rumah ini, Anda-lah yang kembali kemari.”
Bibi Emili menjelaskan secara lugas dan terperinci. Sampai-sampai menjawab seluruh pemikiran Heiran yang begitu wajar mengenai keberadaannya yang datang begitu tiba-tiba tanpa diduga, bahkan pertanyaan yang belum sempat ia tanyakan. Tapi, tunggu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak Heiran. Keberadaan Hobie yang sempat mendatangi rumah ini.
“Hobie ... apa Tuan pernah datang kemari?” Heiran kembali bertanya menelisik. Ingin mengetahui apa yang terjadi setelah dua tahun terlewat pasca ia meninggalkan kediamannya yang harusnya menjadi surga baginya.
Begitu bibi Emili selesai dengan menyiapkan sarapan Heiran, wanita paruh baya tersebut pun menjawab. Di mana kini netra keduanya saling beradu pandang seolah mengingat. Ya, bibi Emili ingat benar bagaimana kondisi penghuni rumah ini. Betapa frustrasinya nyonya rumahnya yang nyaris setiap harinya hanya menghabiskan waktunya untuk menyendiri, termenung dan berlinang air mata dalam kesendirian, duduk tepat di belakang grand pianonya tanpa ada niatan untuk memainkannya.
Dengan perasaan gusar, bibi Emili masih terdiam. Bagaimana ia harus menjelaskan selang dua tahun terlewat. Kenyataannya, begitu sang tuan rumah meninggalkan rumah tersebut, rumah itu hanya menjadi bagian rumah kosong yang tiada dihuni lagi. Tidak seindah bagaimana kebahagiaan menaungi rumah tersebut pada mulanya.
Bibi Emili pun menghela napas pelan, lalu menjawab pertanyaan nyonyanya. Meski hubungan antara kedua majikannya telah berakhir, akan tetapi bibi Em selalu melihat Heiran sebagai putrinya sendiri. Di mana sosok hangat Heiran yang begitu ramah sangat dominan dalam rumah tersebut.
Dari sosok tegarnya yang begitu tenang menghadapi masalah, terkadang terlihat sekali bahwa Heiran begitu merindukan seseorang. Terlebih bagaimana Heiran bersikap kepada Emili yang hanya seorang asisten rumah tangga yang biasanya dianggap tidak bernilai dalam sebuah kasta, dari bagaimana caranya Heiran menghormatinya, ia melihat sorot mata yang begitu rindu akan sosok seorang ibu, sehingga ia begitu memahami perasaan sang majikan.
Namun, dengan mengesampingkan hal itu, bibi Emili hanya terfokus pada pertanyaan yang diajukan padanya. “Sejak nyonya memutuskan keluar dari rumah ini, Tuan Hobie memerintahkan beberapa dari kami untuk merawat rumah ini enam bulan sekali. Namun, sepertinya ada hal yang perlu Anda ketahui mengenai rumah ini.”
Heiran yang semenjak tadi mendengarkan dengan saksama pun dengan segera menanggapi. Begitu penasaran apa yang telah terjadi begitu dirinya dan Hobie berpisah. “Memang apa yang terjadi pada rumah ini?”
Satu detik ... Dua detik ...
Dalam selang waktu tertentu, Bibi Em terdiam. Terlalu bingung bagaimana harus menjelaskan situasinya yang begitu pelik setelah hari itu. “Nyonya Benetnasch yang sekarang mengetahui bahwa Tuan Hobie masih merawat rumah ini dengan sangat baik sehingga begitu mengetahui tidak ada yang menempati rumah ini, Nyonya Hyeri menginginkan kepemilikan atas rumah ini. Bahkan Nyonya besar juga turut turun tangan mengenai keinginan menantunya. Tapi, seperti yang Anda ketahui, rumah ini merupakan pemberian Tuan Hobie sebagai ganti tunjangan perceraian untuk Anda. Terlebih begitu ia mengetahui bahwa meski Anda begitu enggan akan rumah ini, dari bagaimana Anda tetap menyewa jasa kebersihan untuk merawat rumah ini, di situ-lah Tuan Hobie mengambil keputusan tegasnya berdasarkan apa yang telah ia lihat dari sikap Anda yang begitu menghargai rumah ini. Bahwa apa yang telah ia berikan tidak akan ia ambil kembali.”
Dengan susah payah Heiran meneguk salivanya samar. Betapa fakta tersebut berhasil membuatnya merinding dan cukup mengejutkannya. Meski bisa saja Hobie mengambil alih rumah tersebut yang secara tegas Heiran tolak, akan tetapi Hobie tetap mempertahankan rumah tersebut sebagaimana kepemilikannya.
Heiran pun mengerlingkan pandang, di mana kedua netranya sudah terasa panas. Menarik napas dalam-dalam untuk melegakan paru-parunya yang terasa sesak. Ternyata ego mantan suaminya masih begitu tinggi mengenai hal ini. Jika Hobie mengambilnya, itu sama saja merendahkan harga dirinya atas apa yang telah ia berikan. Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik. Heiran yang semula begitu menolak akan pemberian rumah ini, justru ia menempatinya sebagai tujuan dari pelariannya.
Heiran pun memijat pelipisnya yang terasa pening dengan salah satu tangannya. Bersamaan dengan derai gerimis yang berusaha ia tahan dengan menciptakan celah tipis dan membiarkan bibirnya terbuka. Berusaha melegakan dadanya yang serasa menyempit.
Entah, jika mengingat kejadian terakhir kali, suasana hatinya sontak berubah. Kembali larut dalam lautan gelap yang selalu berhasil membelenggu dirinya. Di antara segala hal, tidak adanya pilihan yang mudah bagi Heiran. “Lalu Tuan, apa dia pernah kemari?” Ulangnya seolah belum menemukan jawaban tersebut. Masih mencecar pertanyaan yang sama.
“Seperti yang sudah saya jelaskan. Tuan hanya memerintahkan beberapa dari kami untuk tetap merawat rumah ini. Meski selama itu, Tuan tidak pernah datang kemari setelah pertengkaran hebatnya antara Nyonya Hyeri dan Tuan Hobie mengenai rumah ini.”
“Dari cara bicaramu, mereka seolah bertengkar di sini.” Heiran berusaha menelaah setiap ucapan bibi Em. Mendapatkan satu poin penting dari apa yang ia dengar.
Bibi Emili pun mengangguk. Membenarkan pernyataan Heiran. “Benar. Keduanya bertengkar di sini begitu mengetahui Nyonya Hyeri datang kemari untuk melihat kondisi rumah ini. Rumah yang seharusnya tidak perlu untuk Nyonya Hyeri datangi.”
Seketika itu Heiran terdiam. Berusaha merenungi hal ini kembali. Mungkin benar ia bisa melarikan diri dari Suhaa dan ayahnya. Tapi di sini, ternyata mungkin saja Hobie masih menunjukkan eksistensinya di sini. Meski sejujurnya Heiran masih tidak terlalu percaya dengan setiap ucapan bibi Emili yang mengatakan bahwa Hobie sedikit pun belum pernah kemari setelah perdebatannya dengan istri barunya.
Heiran pun menggunakan satu tangannya untuk bertumpu di atas meja. Menahan berat tubuhnya yang nyaris limbung di kala kenangan lamanya menyergap. Lalu beralih untuk duduk dengan bersikap sewajarnya seolah tidak terjadi apa pun. Mengapa denyut nyeri kembali menghinggapi dirinya. Terlebih saat satu kalimat itu terlintas, ‘istri barunya’.
Saat itu, Heiran yang terlihat murung pun mengusik perasaan bibi Em yang tampak begitu bersimpati pada wanita tersebut.“Nyonya, ingin saya berada di sini hingga Nyonya pergi atau bolehkah saya ....”
Belum sempat bibi Em menyelesaikan ucapannya, Heiran pun menimpali. Di tengah perasaannya yang kalut, di mana Heiran begitu sulit memutuskan. Ingin sekali menolak, akan tetapi sepertinya, jujur, Heiran juga membutuhkan hal tersebut.Sehingga, sepertinya ia tidak memiliki pilihan selain menerimanya untuk sementara. Melengkapi di tengah kekosongan yang masih memenjarakannya.
“Bisakah Bibi tetap di sini? Aku di sini hanya hingga malam nanti. Setelah itu aku akan pergi.”
“Mengapa Nyonya tidak menetap di sini?” tanyanya kala seseorang dalam diamnya kini terlihat sedang berdiri di balik dinding guna bersembunyi. Mendengarkan setiap pembicaraan keduanya tanpa terlewat. Orang tersebut hanya menggunakan jari telunjuknya tepat di bibir untuk mengisyaratkan agar bibi Em tidak memberitahu keberadaannya di sini. Masih mengawasi dan terus memperhatikan, di mana bibi Em memberikan sebuah anggukan kecil, mengerti.
Dengan nada suaranya yang lemah, akan tetapi masih sanggup didengar oleh orang tersebut, Heiran dengan putus asanya menjawab. Kali ini senyumnya terlihat begitu hambar dan menyakitkan, meski terlihat sekilas dalam posisi menunduk.“Karena bagiku, tidak ada tempat lagi di sini. Masih sama seperti dua tahun ini. Aku tidak ingin, keberadaanku diketahui oleh keluarga ini, tidak terkecuali oleh Hobie.”
Dari bagaimana caranya Heiran menjawab dengan tak berdaya, pria itu merasakan sesuatu yang sama yang baru saja menghantam pusat dadanya. Masih jelas terasa terekam dalam setiap indranya.
Hobie ingat benar ekspresi yang samar tersebut, ekspresi yang sarat akan rasa tidak sukanya yang tak kunjung menghilang. Di mana keduanya begitu hancur mengenai masalah ini. Saat itu, Hobie yang mendengarnya hanya merosot dan bersembunyi di balik dinding. Menyugar surainya lalu menjambaknya kuat sembari menahan amukan amarahnya yang nyaris meluap.
Pria itu pun menertawakan dirinya sendiri dengan meredam suaranya. Batinnya begitu teriris. Lagi, dan lagi, ia melihat Heiran yang serapuh ini. Dan kali ini, karena dirinya. Terlebih, ia juga yakin bahwa ucapannya terakhir kali begitu menelanjangi harga diri Heiran dan merendahkannya di mana seharusnya ia menjaga perasaannya karena telah menerimanya dengan tulus tanpa melihat sisi lemahnya.
Akan tetapi, segalanya telah terbalik. Justru Hobie menggunakannya untuk menyudutkan Heiran agar wanitanya melepaskannya. Sungguh, ironi sekali.Iya ironi sekali...
Saking ironinya baru ngeh ini part 3k lebih. Wkwkwkw
See you next time
Jangan lupa voment yag😃😃😃😃
Merci...
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.