Entah apa yang sedang merasuki dirinya malam itu. Namun, ada satu hal yang membuat pria bersurai blonde dengan kulit putih pucatnya tersebut merasa tidak tenang. Helaan napas kasar berbaur dalam ruang gelap yang tampak lengang tersebut diiringi dengan langkah kaki yang sedari tadi hanya terdengar berat menapaki sebuah karpet berbulu dalam satu arah.
Mengulang kembali langkahnya yang terkesan hanya mondar-mandir tanpa adanya niat meninggalkan tempat tersebut. Seolah karpet yang ia pijaki sedari tadi berusaha meredam suara langkah kaki tuannya agar tidak terdengar oleh satu lagi sosok yang turut tinggal di dalam sana. Terbaring sekaligus terlelap dalam tidurnya yang begitu damai di balik selimut tebalnya.
Hanya cahaya lampu tidur yang temaram kala itu yang memberikan sedikit ruang cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Berpendar mengusir sebagian gelap sekaligus sedikit mengusik kegelisahan di dalam benak. Walaupun, jujur pikirannya yang jernih tetap saja masih menjalankan tugasnya. Memproses sekaligus mencerna apa yang baru saja ia ketahui.
Hingga rasa penasaran sekaligus bingungnya kini membuat tungkainya memutuskan untuk menyerah. Suhaa pun memilih untuk terduduk di sisi ranjang tepat di bagian ruang kosong yang tentu tersedia bagi dirinya.
Suhaa pun menautkan jari jemarinya tepat di depan wajahnya dan menjadikannya sebagai tumpuan dagunya. Membiarkan kedua sikunya kini bertumpu di atas masing-masing pahanya yang masih berbalut dalam celana kain berwarna gelap. Kedua netranya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong, tepat ke arah dinding yang membisu dengan fokusnya yang masih terus terpatri akan sesuatu yang masih mengganjal di dalam pikirannya.
Tidak sadar sikapnya yang tampak gusar memikirkan sesuatu dengan deru napasnya yang cenderung menarik perhatian telah mengusik kedamaian seseorang akan indahnya mimpi yang baru saja ia selami.
Meski sekilas, Suhaa merasakan ranjangnya yang sedikit bergetar akibat aktivitas seseorang yang berusaha menarik dirinya agar turut terduduk dengan bantuan kedua lengannya. Samar-samar, wanita itu berusaha meraih kesadarannya. Hingga akhirnya kini ia mendekatkan dirinya pada sang kekasih. Bersandar tepat di belakang punggungnya dengan kedua matanya yang masih terasa berat.
Walaupun samar, pikiran jernihnya yang masih berada di bawah kuasa kantuknya masih bisa mengenali bayangan sosok tersebut. Terlebih dengan aroma parfumnya yang begitu maskulin dan juga khas. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya prianya kembali juga menemani dirinya.
"Oppa baru pulang? Kenapa tidak bangunkan aku, hem?" Heiran menyusupkan kedua lengannya memeluk sang kekasih. Bersandar mencari posisinya ternyamannya diiringi suara lirihnya yang terdengar serak, khas seorang yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Untuk sejenak, Suhaa pun menyunggingkan senyum sekilas. Menegakkan posisi duduknya sembari mengusap lembut punggung tangan wanitanya. Begitu enggan jika wanitanya harus terbangun karena dirinya.
"Melihatmu yang begitu pulas, mana tega aku membangunkanmu."
Suhaa memutar tubuhnya, meraih sosok tersebut dalam dekapannya. Heiran kala itu hanya bisa bersikap pasrah dengan beralih, bersandar pada dada sang pria. Merasakan kecupan sekilas di kening yang baru saja dihadiahkan untuknya.
Masih dengan kedua bola matanya yang terpejam, Heiran menanggapi. Berusaha melawan kantuknya yang begitu enggan meninggalkan dirinya. Walaupun di waktu bersamaan, Suhaa juga menyadari bahwa hari telah menginjak pukul 02.00 pagi dini hari. Tidak menyangka, perginya malam itu memakan waktu yang begitu lama.
"Tidak apa-apa jika harus membangunkanku. Lagi pula, Oppa pergi lama sekali. Apa urusan pekerjaan menyita waktumu sampai selarut ini?"
Wanita itu pun mendongak dengan tatapan sayupnya. Memandang prianya yang kala itu baru saja menghela napas berat, sehingga dada bidangnya yang kini menjadi sandaran bagi dirinya turut terangkat.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Suhaa pun mengusap lengan kekasihnya dengan perlahan sebelum akhirnya menanggapi. "Awalnya mungkin urusan pekerjaan," ucapnya pada mulanya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berbaring dan meraih Heiran agar tidur di atas dadanya. Merebahkan tubuhnya seraya memeluknya begitu rapat seolah takut wanitanya akan menghilang. Heiran hanya bisa mengimbangi. Semakin memeluk kekasihnya dengan rasa kantuknya yang masih terus bergelayut.
Lalu melanjutkan. "Tapi, pertemuan kami malam tadi berubah menjadi suasana nostalgia."
Heiran tersenyum sekilas. Walaupun beberapa saat lalu, suara bidang Suhaa yang terdengar menggema di telinganya karena ia bersandar di sana terdengar jelas dalam rungunya. Diiringi deru napas yang kali ini terdengar teratur.
Suhaa yang kala itu berbaring tepat di bagian kanan dari sisi ranjang, menggunakan tangan kanannya sebagai bantalan kepala. Menatap langit-langit kamar masih dengan perasaan yang sama. Hingga suara sang wanita kembali mengalihkan atensinya.
"Pantas saja begitu lama. Ternyata selain pekerjaan, ada lagi masa lalu yang berkesan yang kalian bahas."
Walaupun inti permasalahannya bukanlah itu. Tapi bagi Suhaa, cukuplah bagi Heiran hanya mengetahuinya seperti itu. Meskipun, jujur Suhaa begitu penasaran akan ucapan rekannya yang terkesan menggantung. Untuk mengalihkan kecurigaan Heiran, Suhaa pun terkekeh geli. Sadar atau tidak, nada bicara Heiran yang mungkin terkesan datar. Namun, terkandung unsur kecewa sekaligus menyayangkan sikap Suhaa. Di mana sosok itu sepertinya terlalu lama meninggalkan sang wanita. Padahal, Suhaa hanya mengatakan akan keluar selama dua jam. Tidak akan selama ini.
"Wae? Apa kau merindukan aku? Padahal aku baru meninggalkanmu sebentar."
Sontak kedua netra Heiran terbuka dengan kesadaran yang begitu jelas. Wanita itu pun bangkit dari tidurnya dan terdiam dalam posisi duduk. Mengamati prianya yang masih tersenyum tanpa beban mengatakan hal tersebut.
"Sebentar katamu?" tukasnya begitu saja, menekankan dalam setiap ucapannya. "Kau pulang pukul 02.00 dini hari." Sambil menunjuk jam dinding yang menggantung dalam ruang tersebut, Heiran melayangkan protes. "Dua jam-mu sudah berubah menjadi enam jam. Dan kau meninggalkan aku sendirian di dalam apartemen di sebuah negara yang begitu asing bagiku."
"Asing?" Suhaa sontak menggarisbawahi. Masih dalam posisinya yang berbaring yang kini memandang Heiran. Mengerutkan keningnya dengan sebelah alisnya yang turut terangkat. Seharusnya tidak seperti itu. "Kau dan aku, kurasa tidak lupa bahwa kita pernah belajar dalam satu universitas dengan jurusan yang sama, Universitas Oxford," tekannya sekali lagi Seolah mengingatkan.
Namun, dengan senyum di wajahnya agar tidak terkesan menghakimi Heiran akan fakta satu hal. Bahwa dirinya telah begitu lama tinggal di London. Meski Suhaa tahu alasan di balik sikap Heiran yang terkesan membatasi diri ini dan berusaha menendang sisi dirinya yang tidak begitu ia sukai.
Seketika itu Heiran hanya menghela napas kasar seraya menunduk, menyadari akan satu hal meski ingin, secara jujur ia juga tidak bisa menampiknya begitu saja. Wanita tersebut hanya memandang lurus pada kedua tangannya dan berkata, "Ara. Maafkan aku. Aku hanya ...."
Heiran mengerlingkan bola matanya. Berusaha menahan sesuatu yang jujur, bila mengingatnya saja, dadanya masih terasa sesak. Lagi, entah sudah berapa lama ia merasa suaranya tercekat. Hingga hanya senyum hambar nan begitu miris yang terlihat. Suhaa hanya terdiam, memperhatikan ekspresi Heiran yang mendadak dirundung langit kelabu.
Dengan menarik napas dalam, barulah Heiran kembali menatap prianya yang kini sudah memilih duduk untuk mengimbanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.