11. Eyes Tell (2)

31 11 20
                                    

Menjelang malam, tidak ada banyak aktivitas yang dilakukan oleh Hyeri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang malam, tidak ada banyak aktivitas yang dilakukan oleh Hyeri. Setelah pemeriksaan, sedetik pun otaknya tiada hentinya berpikir. Di dalam ruang sunyi di mana hanya ada dirinya seorang, Hyeri duduk termenung di dalam kamar sembari memikirkan apa yang mungkin saja bisa terjadi.

Memang benar, hubungan pernikahan keduanya telah menginjak dua tahun. Namun, meski begitu, ia tahu benar sosok suaminya yang begitu tenang, akan tetapi hanya bisa memberinya penolakan.

Ya, dari sekian banyak interaksi, selama ini Hobie tidak terlalu banyak memperlakukan Hyeri sesuai dengan statusnya. Layaknya setiap pasangan yang menikah dan memutuskan untuk hidup bersama.

Miris, Hyeri malam itu tiba-tiba tersenyum hambar seraya menyugar surainya yang begitu legam. Berusaha menerima kenyataan yang sialnya selalu berhasil menyudutkan perasaannya. Tidak ada yang pernah membuat hatinya bercampur aduk seperti ini.

Tidak ada seorang wanita mana pun yang tidak menginginkan keberadaannya begitu dibutuhkan, khususnya oleh suaminya yang harusnya menyambutnya begitu hangat. Selama ini, Hobie justru memperlakukannya layaknya seorang teman. Suatu hubungan yang bagi Hyeri memiliki tingkat keintiman yang sangat ringan. Atau bahkan di level lapis pertama. Tipis dan juga tidak terlalu berarti.

Lagi, Hyeri teringat akan ucapan ibu mertuanya. Ucapannya yang dikatakan untuknya sebelum makan malam dilangsungkan. Benar-benar, malam itu Hyeri merasakan bahwa keberuntungan akan hidup layaknya miliknya. Dengan hangat, ibu mertuanya memandangnya dengan penuh arti dan sayang. Bahkan dari jarak keduanya duduk, Evelynee selalu mengusap punggung tangan Hyeri dengan lembut.

“Semenjak Hobie menikahimu, sepertinya pribadinya sedikit berubah,” ucapnya berusaha mengutarakan isi hatinya. Dengan tatapan yang penuh sayang, Evelynee begitu menyayangi menantunya. “Bukan menjadi Hobie yang angkuh. Namun, terkesan seperti seorang pria yang begitu hangat. Sangat ramah meski terkadang sikapnya, yah ... tanpa aku jelaskan, kau mengetahuinya Hyeri. Aku harap, aku segera menimang cucu darimu dan juga putraku.”

Dari bagaimana Evelynee tersenyum simpul, tersimpan harapan yang begitu besar di dalam sana. Di mana harapan tersebut, sesungguhnya merupakan suatu permintaan yang wajar. Hanya saja, entah mengapa, Hyeri merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat menekan hidupnya.

Kala itu pikirannya hanya tertuju pada satu pertanyaan. Bagaimana ia bisa mewujudkan hal itu, jika Hobie sendiri begitu jarang menyentuhnya. Lebih tepatnya, sangat tidak ingin menyentuhnya. Mungkin, Hyeri sekarang mulai sedikit menyesal. Tidak terlalu mempercayai kata-kata klasik yang sering ia temui dalam serial romansa.

Cinta akan tumbuh karena terbiasa.

Mungkin saja hal itu terjadi jika memang keduanya benar-benar terbiasa dan mencobanya. Berusaha meraih, membuka hati masing-masing dan membiarkan hal ini bertumbuh. Namun, faktanya, sedikit pun Hobie tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan ataupun alasan yang dituju. Dinding tak kasat mata telah Hobie bangun begitu keduanya bertemu. Dan sial, karena hal ini Hyeri harus merasakan cinta sepihak.

Hyeri menghela napas pelan, miris. Raut mukanya terlalu kusut bila dilihat. Bahkan saking lamanya termenung, seolah mengasihani diri, langkah kaki seseorang yang memasuki kamar seolah tertelan dalam ruang hampa. Tidak terdengar. Hingga sebuah guncangan kecil dari ranjang yang diduduki baru menyadarkan dirinya. Menyadari kehadiran sosok tersebut dengan aroma maskulin woods, citrus, bercampur grapes.

Tanpa memalingkan wajahnya, Hyeri membiarkan suara berat itu menyapa rungunya. “Kau terlihat gelisah. Sampai-sampai kau tidak menyadari kehadiranku. Ada apa, hm?” tanya Hobie dengan lembut.

Tentu saja tidak hanya sekadar kegiatan bertanya. Melainkan seraya melepaskan kedua sepatu sekaligus kaos kaki yang membungkus kedua telapak kakinya seharian. Menyingkirkannya sembari melonggarkan dasinya yang selalu mengikat tepat di bagian kerah kemejanya.

Hyeri memandang Hobie sejenak. Tidak ada kecupan sambutan yang dihadiahkan untuknya atas dirinya yang telah menunggu dalam rumah tersebut. Dengan menghela napas ringan dan mengabaikan hal tersebut, saat itu, Hyeri hanya menyodorkan sebuah amplop di mana dari surat tersebut, Hobie tahu dari mana surat itu berasal. Sebuah simbol salah satu rumah sakit di London tercetak jelas di sana. Termasuk tulisan hasil pemeriksaan laboratorium beserta nama Hyeri di depannya.

Hanya memandangnya sekilas, Hobie seolah mampu menerka apa isinya tanpa melihat seutuhnya. Masih dengan sikap tenang dan tatapan datar, ia menanggapi.

“Jadi, selama beberapa hari ini, kau meminta Demian untuk menemanimu ke rumah sakit?”

Dengan santainya, tanpa mengambil hati atas sikap suaminya yang mengabaikan surat tersebut, Hyeri menarik surat itu kembali dan meletakkannya tepat di sampingnya, di sisinya yang tampak kosong.

“Hm. Aku tidak tahu ini penting atau tidak. Lalu, kau peduli atau tidak. Tapi, mengingat kita tinggal bersama, sekaligus statusku yang merupakan istrimu, sepertinya ... aku harus memberitahumu. Setelah bercinta denganmu malam itu, keesokan paginya aku menemukan bercak merah tepat di bagian dalam paha dan juga tanganku. Awalnya aku berpikir hal ini karena aku memiliki suatu alergi, tapi setelah melakukan beberapa tes untuk mengecek aku ada alergi atau tidak ....”

“Tidak ada alergi yang ditemukan. Alergi yang disebabkan oleh makanan atau pun obat, bukan?” Hobie menyela di detik Hyeri yang mengambil jeda. Tahu benar ke mana arah pembicaraan istrinya yang bagi dirinya tidak begitu asing.

Kali ini Hobie menjatuhkan atensinya pada Hyeri, berpaling pada wanitanya di mana saat itu Hyeri turut memandangnya. Hingga sebuah anggukan pelan dan yakin jika berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Hyeri membenarkan akan perihal tersebut.

Hobie tersenyum tipis. Hingga Hyeri merasa heran. Entah bagaimana, tebakan suaminya yang begitu spontan sedikit membuat hatinya tersentak. Setelahnya Hobie tidak menjelaskan apa pun.

Hobie justru menggunakan jari telunjuknya untuk mengusap ujung hidungnya yang terasa gatal dengan santainya. Sebelum akhirnya bangkit berdiri seraya mengusap puncak kepala istrinya. Memilih berbalik sembari membuka satu per satu kancing kemejanya hendak membersihkan diri. Membelakangi Hyeri yang masih menatap bagian belakang punggung suaminya.
Selama beberapa detik Hobie terdiam seolah sedang berkonsentrasi dengan aktivitas melepas kemejanya. Hingga Hyeri pun memilih melanjutkan pembicaraan yang jujur, menyita seluruh atensinya hingga hatinya terasa mencelus.

“Dokter mengatakan, lebih baik kita menemui dan berkonsultasi dengan dokter kandungan. Ia khawatir akan ada suatu hal lain yang bisa saja ....” suara Hyeri tercekat. Menggantungkan ucapannya yang masih bimbang. Rasanya tidak sampai hati ia menyampaikan secara keseluruhan apa yang ia dengar dari hasil pemeriksaan.

Sebenarnya sedari tadi Hyeri telah menimbang dalam renungannya. Bagaimana bila ada sesuatu yang tidak diinginkan menimpa dirinya dan Hyeri harus mau menerimanya? Memendamnya, atau mengatakannya pada Hobie yang jelas akan bersikap seperti ini, sesuai yang telah ia perhitungkan.

Tanpa berbalik, Hobie tersenyum hangat. “Aku akan ikut bersamamu. Silakan tentukan saja, kapan waktunya,” responsnya begitu ringan.

Hyeri mengepalkan kedua tangannya seketika bangkit berdiri. Memandang suaminya yang masih membelakanginya dengan nanar dan begitu muak. Bagaimana Hobie bisa bersikap seperti ini? Padahal seluruh anggota keluarganya begitu menantikan keberadaan Hobie junior. Bahkan dari nada bicara Hobie yang terdengar melewati rungu Hyeri, begitu santai tanpa beban. Padahal dirinya sedang dirundung dalam perasaan gelisah dan takut. Hingga jantungnya berpacu tidak tenang.

“Bagaimana kau bisa bersikap setenang ini Hobie?! Bahkan ibumu begitu menginginkan kita segera memiliki anak! Bagaimana aku bisa memberikan keluargamu seorang cucu jika kau sendiri dalam dua tahun ini begitu jarang menyentuhku! Bahkan, kita masih bisa menghitungnya dengan kesepuluh jari yang kau miliki! Apa ini alasan mengapa ....”

Di tengah deru napas Hyeri yang memburu hingga dadanya naik turun, belum sempat Hyeri menyelesaikan ucapannya, Hobie pun berbalik. Kali ini memandang Hyeri dengan tatapan penuh arti. Dari jarak sedekat itu, Hyeri bisa melihat ekspresi suaminya yang sudah menegang. Menahan sesuatu yang nyaris meledak beberapa detik lagi. Namun, dari bagaimana Hobie bersikap, hal tersebut berhasil membuat seluruh persendian Hyeri terasa kaku. Mematung di tempat begitu merasakan aura intimidasi suaminya yang jauh lebih kuat. Mengunci mulutnya hingga tanpa sadar ia meneguk salivanya dengan susah payah.

“Sudah? Apa kau sudah puas meluapkan seluruh isi hatimu?” tanyanya dengan tatapan dingin. Masih berusaha mengontrol emosinya, kala itu Hobie melipat kedua tangannya di dada. Memandang istrinya dengan angkuh yang kali ini, Hobie melihat derai gerimis telah memenuhi kedua kelopak matanya. Tatapan tajam penuh amarah diiringi deru napas memburu.

Setelah mengamati sejenak, pria itu pun mencoba menyapu jarak. Hingga bibirnya kini berada tepat di salah satu rungu istrinya. Dengan sebuah seringai tipis, pria itu menjawab. “Ada alasan mengapa aku menahan diri padamu. Jika kau benar-benar ingin mengetahui jawabannya ....” Hobie menjeda bisikannya. Lalu melanjutkan, “Hanya tinggal tentukan, kapan dan kau akan segera mengetahui jawabannya, sayang.”

Begitu puas menjawab Hyeri, pria itu pun menarik diri. Menyunggingkan smirk-nya sebelum beralih membersihkan diri.























Udah... aku udah puas liat kamu bang Hobie
Huhuhu

Gegara banyak yg blg kmrn chapternya pendek.
This is special for u all😃😃😃😙😙😙

Udah menemukan sesuatu?

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang