“Heiran, kau di sini?” tanya Keiyona yang kala itu langsung memeluk Heiran di sebuah pusat pembelanjaan. Menyalurkan rasa rindunya dengan pergerakan spontan.
Meski tanpa ia sadari, sejurus kemudian ia melihat perubahan air muka Heiran yang tampak bingung dan gelisah seolah menyembunyikan sesuatu. Dalam pandangannya, Keiyona berpikir, betapa Heiran berusaha memaksakan seulas senyum yang pada akhirnya ia mengerti akan apa yang tersembunyi di balik tatapannya yang samar tampak berkaca-kaca.
Kala itu Heiran berusaha menguasai dirinya. Berusaha agar tidak menarik awan mendung untuk menaungi di atas kepalanya, mengingat dengan siapa kini dirinya sedang berhadapan.
Hari itu, di dalam sebuah kafe yang tak jauh dari sana, Keiyona mengajak Heiran untuk sedikit meluangkan waktunya guna mengobrol sejenak. Sudah lama sekali, sepertinya semenjak Keiyona dipindah tugaskan ke Washington dan baru bisa kembali setelah tujuh tahun terlewat.
Keiyona begitu rindu akan suasana London yang telah menciptakan berjuta kesan yang sulit untuk ia lupakan. Termasuk keberadaan Heiran dan Hobie yang eksistensinya melebihi apa pun. Seperti seorang saudara meski tidak sedarah. Namun, terikat akan sebuah pertemuan takdir.
Di dalam sana, seperti biasa, keduanya tampak duduk di bagian sudut kafe dengan pemandangan jalan raya sore hari itu dengan memesan dua cangkir espresso hangat untuk menghangatkan badan.
Di saat netra Keiyona tampak tertuju ke arah pemandangan di luar sana, dalam diamnya Heiran hanya meremas ujung mantelnya dengan gusar. Sesekali menyesap cairan yang berada di dalam cangkir tersebut sembari terfokus di sana. Merasakan hangatnya permukaan cangkir yang menghangatkan kedua tangannya yang terasa dingin. Bingung, atau lebih tepatnya, Heiran seolah terlihat menerka, apa yang akan terjadi setelah ini. Perbincangan macam apa yang mereka bahas pada pertemuan yang sungguh di luar ekspektasi Heiran.
Dengan senyum yang masih mengembang, Keiyona pun beralih menjatuhkan pandangannya pada Heiran yang masih terlihat sama. Seolah waktu yang terlewat, tidak memberikan perubahan apa pun akan paras Heiran yang begitu cantik seperti biasanya.
“Sepertinya sudah lama sekali tidak seperti ini. Aku merindukan kalian. Bagaimana kabarmu dan juga Hobie?”
Heiran mencoba menyesuaikan diri, membutuhkan waktu beberapa detik untuk berpikir bagaimana seharusnya ia bereaksi. Seketika itu Heiran menarik seulas senyum tipis di mana netranya kala itu sedikit menghindari tatapan Keiyona yang senantiasa memperhatikannya. Hingga ia merasa dirinya baik-baik saja, Heiran pun menjawab.“Kabarku baik dan Hobie ....” Heiran menjeda sejenak. Memutuskan memberikan jawaban baik yang seharusnya memanglah demikian sesuai harapannya. “Dia juga baik. Bagaimana dengan Washington? Apa kau berhasil menikahi salah satu pria yang berada di sana?”
Keiyona berdecap. Tertawa geli jika harus mengingatnya.“Aku begitu sibuk. Sampai memiliki waktu untuk berkencan pun terasa sulit. Bukan tidak ada, tapi ... yah, kami memang sedang menjalaninya dengan menikmati setiap momen yang ada.”
Heiran mengangguk senang. Meski di waktu bersamaan, ia juga merasa lega. Sepertinya ia bisa mengalihkan topik pembicaraan hari itu. Meski untuk sejenak.
“Syukurlah. Aku turut senang mendengarnya mengingat sikapmu dulu yang begitu anti dengan laki-laki.”
Keiyona tersenyum. Begitu malu bila diingatkan akan cerminan dirinya di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retrouvaille
FanfictionJika makna dari kesempurnaan itu bisa bergeser sedikit saja, mungkin segalanya tidak akan menjadi sulit. "Kumohon jangan mati!" "Hobie!" Warning 18+ Mohon bijak dalam membaca ya.