12. I Want to Impregnate You

42 12 30
                                    

Di sebuah benua yang berbeda, seseorang yang terlihat tenang dari luar tampak begitu gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Di sebuah benua yang berbeda, seseorang yang terlihat tenang dari luar tampak begitu gelisah. Entah, bagaimana harus mendefinisikannya. Di balik meja kerjanya, pria itu duduk sembari menandatangani beberapa tumpukan dokumen yang semalaman telah ia periksa. Satu per satu dari berkas tersebut ia baca dengan saksama, memahami isinya sebelum memberikan persetujuan. Sekaligus meninjau kembali apakah isi dari dokumen tersebut telah sesuai dengan perjanjian dalam kontrak yang telah disepakati.

Walaupun seharian ia tampak terlihat begitu sibuk. Namun, pikirannya yang rasional dengan mata hati yang jernih selalu tertuju pada seseorang yang jujur entah di mana. Bahkan seseorang yang menggantikan posisinya sementara sebagai sosok yang menutupi dirinya di balik layar pun tidak pernah mengetahui, di mana putrinya berada.

Meski ia menyadari, harusnya sebuah ketenaran mampu merujuk ke mana akan lokasi seseorang. Namun, nihil. Begitu anehnya hingga kekuasaan yang ia miliki tak mampu melacak keberadaan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Aneh, ya, pria itu masih merasa aneh karena hal yang tak wajar ini. Hal yang harusnya begitu mudah dilakukan bagi dirinya.

“Hah.” Di tengah rutinitas yang berhasil menenggelamkannya dalam kesibukan dan membantunya melupakan sejenak akan putrinya, pria yang usianya kurang lebih nyaris mendekati angka lima puluhan tampak menghentikan aktivitasnya. Embusan napas kasarnya pun memecah kesunyian di mana dalam ruang tersebut hanya ada dirinya yang kini dirundung nestapa.

Kedua kelopak matanya yang telah berkerut tiba-tiba terpejam di kala sesuatu baru saja seperti mengetuk pintu hatinya. Ya, mau berusaha seperti apa pun, rasa yang ia tekan selama nyaris dua belas tahun ini seolah berusaha meluber keluar. Berusaha mencari celah di antara celah sempit yang mungkin mampu diterobos. Hingga hatinya yang pilu kembali bergetar karena rindu.

Seketika itu, pria itu memilih meletakkan pulpen yang sedari tadi ia genggam. Menarik tubuhnya yang begitu fokus dengan pekerjaan dan beralih mengistirahatkan punggungnya pada sandaran kursi besarnya yang harusnya membuatnya nyaman. Tidak ada salahnya melepas sejenak beban berat yang berada di kedua pundaknya.

Akan tetapi dalam kondisi seperti ini, pria itu hanya bisa mengusap wajahnya perlahan dengan menarik napas berat. Tidak bisa bersikap santai dan menampik akan perasaan rindu terhadap putrinya.

“Ayah merindukanmu, Heiran.” Asher bergumam dengan wajah sendunya. Tanpa sadar, sebuah benda kecil menarik atensinya. Memupukkan satu per satu buliran kabut tipis yang sanggup menyamarkan penglihatannya. Menghantarkan sensasi panas hingga tenggorokannya tercekat.

Ditatapnya sebuah pigura kecil yang sengaja di letakkan di sudut meja dengan menampilkan sosok dirinya bersama putrinya yang masih lengkap dengan dirinya yang bersanding dengan mendiang istrinya. Tidak mengerti, mengapa sekelebat bayangan sorot mata putrinya yang telah basah dan memandanginya begitu tajam seolah kembali mengoyak perasaannya. Sorot mata benci yang begitu menuntut. Sialnya, bola mata dengan iris berwarna kecokelatan itu berhasil menghentikan jalur napasnya yang kini membuatnya sesak.

Lagi, pria itu menarik napas dengan susah payah. Tatapannya yang penuh rindu dan sarat akan cinta masih terefleksi secara sempurna. Sedikit pun tiada lekang oleh sang waktu. Jujur, di bawah ingatannya yang tajam, tidak ada yang tidak terkejut mengenai kejadian hari itu. Hari di mana kenangan menyakitkan masih terus tinggal membekas di dalam jiwa. Bahkan sejak hari itu, ia juga menyadari bahwa dirinya kembali memberikan beban berat dalam hidup putrinya. Hal yang seharusnya tidak ia lakukan bila ia begitu mencintai putrinya.

Satu lagi luka, yang ia tahu bahwa putrinya tidak akan pernah memaafkannya. Andai saja, putrinya bisa menerima kebenaran.
Dengan memejamkan kedua matanya, mendengkus kasar. “Andai saja,” gumamnya dengan senyum miris. Pria itu memijat kedua pelipisnya dengan satu tangannya. Kenyataannya, ucapannya barusan hanya berhenti sebagai suatu harapan kosong di mana fakta telah terlihat secara nyata di depannya.

***

Tidak terasa, satu minggu berlalu semenjak kedatangannya ke London. Selama itu, Heiran berusaha menekan perasaannya yang jujur mau seberusaha seperti apa pun, dan melarikan diri sejauh apa pun, kenangan-kenangan pahit yang pernah terukir seolah mengajaknya kembali untuk bernostalgia. Diiringi desiran angin yang senantiasa turut menggandengnya untuk berjalan beriringan dengan aroma musim yang masih melekat di dalam jiwa.

Akan tetapi, di waktu perasaan tersebut hadir, di saat wajahnya yang terlihat cantik dan ringan mendadak berubah mendung dipenuhi beban, refleks Suhaa selalu akan menariknya dalam kegelapan itu. Entah bagaimana Heiran harus menyebutnya. Sebuah keberuntungankah? Atau bersyukur? Yang jelas, di saat ia merasa tidak memiliki pegangan sekaligus bersandar, pria itu akan mengulurkan tangan tanpa diminta. Kembali mengukuhkan keraguannya yang selalu sanggup merapuhkannya.

Heiran menyingkirkan surai kecokelatannya yang sejenak tampak mengganggu aktivitasnya pagi ini. Tanpa ingin mengusik kekasihnya, diam-diam Heiran kini duduk di bagian serambi apartemennya dengan menjadikan pagar pembatas sebagai sandaran seraya membalut tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian berbahan tipis dalam balutan selimut tebal di temani secangkir teh hangat dan juga sebuah buku.

Kata demi kata, netranya turut mengeja apa yang terlintas di depannya. Begitu merasuk di kala ia berusaha menyelami di balik kata-kata yang selalu berhasil membuai Heiran ke dalam lautan ketenangan. Di mana dari kata-kata tersebut, ia diajarkan untuk memahami arti dari sebuah penerimaan.

Every word you cannot say, begitulah judul yang tertulis di sana. Saking seriusnya ia membaca hingga terhanyut di dalam setiap kata yang semakin membuat hatinya terenyuh, embusan angin pagi yang menyejukkan kala itu seolah turut membawa seseorang guna mengusik wanitanya yang tampak begitu damai dalam aktivitasnya.

Dalam balutan celana cokelat kebesaran dengan kaos berwarna putih yang berhasil mencetak dada bidangnya yang begitu sempurna, pria itu menyusup dalam selimut wanitanya. Membuka kedua tungkainya dan duduk tepat di depan Heiran hingga wanitanya kini tampak duduk di antara kedua belahan pahanya. Masih terdiam mengamati visual kekasihnya yang tampak begitu tenang dengan fokusnya yang tidak terusik sekalipun.

Suhaa memiringkan kepalanya, menatap lekat paras Heiran yang tampak cantik dari sudut matanya. “Seperti biasa. Bahkan keberadaanku sekalipun tidak cukup mengalihkan perhatianmu dari sebuah buku.”

Seulas senyum simpul terlukis di wajah Heiran yang masih begitu tenang. Dengan menarik napas ringan, ia menjatuhkan pandangan lurusnya pada Suhaa seraya menutup buku yang ia baca.

“Aku melihat Oppa setiap hari. Lagi pula, kemarin kau pulang dalam keadaan tampak begitu lelah.” Heiran pun melirik ke arah tas violin yang terletak di atas sofa. Entah sejak kapan pemandangan yang tampak tak biasa itu mengusik perhatiannya.

Sebenarnya sedari tadi, ia berpikir mengapa ada peralatan alat musik gesek tersebut di dalam apartemennya, mengingat Suhaa dan dirinya merupakan seorang pianis. Dahi Heiran tanpa ia sadari refleks berkerut. Memicingkan matanya dengan begitu serius.

Sontak Suhaa pun menoleh. Mengikuti ke mana netra kekasihnya kini terfokus. “Apa ada yang aneh?” pandangan Suhaa kembali pada Heiran begitu mengerti apa yang sedang mencuri fokus wanitanya yang sampai bergeming seperti itu.

Hingga sebuah anggukan pelan diberikan oleh wanitanya. “Hm. Sejak kapan ada benda itu dalam apartemen kita?”

Suhaa menaikkan sebelah alisnya. Menggaris bawahi ucapan Heiran di akhir kalimat. “Kita?” dengan senyum menggodanya, Suha pun mencondongkan tubuhnya. Hingga mau tak mau, Heiran menegakkan posisi duduknya yang semula tampak santai, kini punggungnya menyentuh pagar pembatas. Menatap bingung kekasihnya yang merasa aneh dengan kata ‘kita’ di sana.

Pemuda itu pun terkekeh dengan menggeleng tak percaya. “Apa ada yang aneh?” sela Heiran di tengah suara tawa Suhaa yang tampak ringan dan tak mau menghentikan tawanya. Lihatlah, bagaimana wajah Heiran yang tampak terlihat heran semakin membuat Suhaa merasa gemas.

Pria berkulit putih pucat itu  mencubit ujung hidung wanitanya hingga sang wanita mengerucutkan bibir. “Tidak ....” Suhaa mengawali. “Hanya sedikit,” ia pun menggunakan jari telunjuk dengan ibu jarinya membuat porsi kecil. Tentu saja dengan senyum manisnya yang masih menggantung di wajahnya. Sebelum pada akhirnya meneruskan ucapannya. “Menggemaskan,” tekannya kali ini dengan menangkup kedua pipi Heiran, sebelum pada akhirnya mengacak puncak kepala Heiran hingga surai sang puan turut berantakan.

Beberapa kali Heiran berusaha menghalau tangan kekasihnya yang hendak menyentuhnya. Tapi, perbedaan tenaga, jelas saja begitu kentara.

“Ah ... Oppa! Kau selalu saja menggodaku.” Heiran memberontak. Bersamaan dengan kedua tangannya yang kini berusaha merapikan surai kecokelatannya. Semakin membuat Suhaa terkekeh geli di kala Heiran sendiri justru merasa kesal. Sepertinya, Heiran merupakan pertunjukan terbaik bagi pria tersebut.

Selang beberapa detik, Suhaa pun menghentikan tawanya. Mengatupkan bibirnya sejenak sebelum angkat bicara. “Hm ... entah mengapa, saat kau menggunakan kata kita, rasanya tidak ada jarak di antara kita. Kau tahu, hubungan kita seperti suami istri saja yang tinggal bersama berikut dengan aktivitas yang begitu intim. Tapi ....”

Saat Suhaa menggantungkan ucapannya, Heiran sudah memalingkan wajahnya ke arah lain. Merasa tidak enak sekaligus bersalah kala Suhaa menyampaikan isi hatinya seperti ini. Berusaha mengatur jalurnya napas yang terasa sesak, Heiran meremas kedua tangannya seraya menarik napas pelan.
Suhaa pun tersenyum samar, meraih kedua tangan wanitanya dalam genggaman. Pria tersebut, dengan lembut mengusap tangan kekasihnya bermaksud memberi kehangatan, sebelum mengecupnya sekilas dengan rasa syukur yang tidak bisa ia jelaskan.

Menciptakan jeda sejenak, meski ia tahu, apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh wanitanya. Hingga melalui sentuhan itu, Heiran melipat bibirnya ke dalam sebelum pada akhirnya menunduk dan memilih untuk menjatuhkan pandangannya pada Suhaa.

“Suhaa ... aku ....”

“Aku hanya ingin berkata jujur. Jadi tidak perlu merasa tidak enak begitu,” selanya di tengah keraguan Heiran yang terlihat semakin pucat. Seolah Suhaa hendak menghakimi padahal tidak.
“Jujur, saat kau mengatakan ‘kita’, perasaanku terasa hangat, Heiran-ie. Ya, sesuatu yang sulit untuk aku jelas, tapi ... aku ... jujur begitu menyukainya. Apa kau tidak ingin, mewujudkan kata-katamu? Semakin membuat nyata hubungan kita.”

“Oppa, bukan begitu. Tapi aku ....” Sungguh, Heiran tidak tahu bagaimana mengubah situasinya semakin baik. Yang terjadi justru dirinya yang semakin bingung dan gugup. Walaupun rasa cemas jauh lebih mendominasi di dalam sana. Bahkan Heiran yakin, Suhaa pasti menyadari situasi yang terbilang pelik ini.

Namun, saat itu Suhaa meletakkan satu jari telunjuknya di bibir wanitanya. Suatu pergerakan tiba-tiba yang sontak membuat Heiran bergeming. “Sssttt. Aku tidak meminta kau menjelaskannya. Aku hanya mengutarakan perasaanku pagi ini. Jadi kau tidak perlu terlihat berpikir keras untuk menanggapiku.”

Satu kecupan sekilas mendarat sempurna tepat di kening Heiran. Menghantarkan gelenyar hangat dengan sensasi yang begitu intens. Di mana semakin lama, Suhaa seolah begitu menikmati setiap cumbuannya, menjelajahi paras wanitanya dengan menghadiahinya sebuah kecupan. Tidak melewatkan bibir sekali pun. Beralih turun secara perlahan, hingga ke leher.

Saat itu Heiran berusaha mengatur deru napasnya yang terdengar nyaris mendesah. Berusaha menahan suaranya dengan menggigit bibir bawahnya. Sungguh, bagaimana bibir itu menyusuri lehernya, sensasi yang ditimbulkan sontak memantik kupu-kupu di dalam perutnya seolah turut beterbangan.

Heiran harus berusaha beberapa kali mengambil alih fokusnya, meski pada akhirnya gagal. Kelopak matanya yang semula begitu jernih di kala membaca buku, kini berubah dengan memejamkannya sembari menikmati sapuan hangat itu. Mulai terbiasa akan sengatan kecil yang begitu candu.

Namun, semakin Suhaa menyentuh lebih intens, pria itu semakin tidak ingin memberi jeda pada Heiran untuk berpikir. Hingga pria itu meraih bibir Heiran dan semakin menariknya dalam pelukan. Meraih pinggulnya agar semakin dekat hingga Suhaa merasakan ciuman balasan dari wanitanya.

Perlahan. Namun, pasti, Suhaa pun membawa wanitanya untuk beralih ruang tanpa melepas pagutan bibirnya. Beradu, membiarkan tangannya yang bebas semakin atraktif menjelajahi setiap lekuk tubuh sempurna wanitanya. Hingga begitu Suhaa merebahkan wanitanya di atas ranjang, barulah seolah pria itu ingin memberi ruang sejenak.

Sebuah seringai puas dengan naluri ingin mendapatkan lebih dari aktivitasnya pagi ini, Suhaa pun memandangi paras wanitanya dari posisinya yang kini berada tepat di atas Heiran. Membelai lembut pipi sang puan sebelum akhirnya kembali meneruskan ciuman panas mereka. Begitu menuntut, hingga Heiran sadar, pagi itu Suhaa ingin memeluknya.

Akan tetapi, antara kenyataan yang bercampur rasa nikmat di saat Suhaa menyentuh bagian paling sensitif dari dirinya, bersamaan dengan desahan yang akhirnya lolos begitu sesuatu mengoyak pusat tubuhnya, Heiran bisa mendengar suara Suhaa yang berbisik padanya.

“I want to impregnate you, Heiran-ie.”





























Happy friday guys...
Maaf ya lebih awal.
Harusnya update besok. Tapi berhubung jadwal rl padat jadi aku up skg.

Jangan lupa voment ya😃😃😃

Jangan lupa voment ya😃😃😃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga kali buat minggu ini...
Wkwkwkwk kalian luar biasa. Makash dah support yag😃😃😃

RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang