"Baru pulang?"Suara wanita terdengar dari sofa menghentikan langkah Amanda yang baru saja meletakkan helm pada tempatnya. Untuk sejenak, Amanda mengamati wanita yang melahirkannya 23 tahun yang lalu. Daster gombrong dan rambut pendek diikat asal sudah menjadi penampilan sehari-hari. Wanita itu lebih sering menghabiskan waktunya di dalam rumah dengan HP dan TV sebagai teman.
"Iya, Bu," jawab Amanda singkat.
Jangan berharap ada adegan cium tangan dalam keseharian Amanda. Bisa duduk bersama tanpa ocehan nyelekit saja sudah bersyukur. Perbedaan kasta antara Amanda dengan Anida--kakaknya--sanggup mengubah pandangan ibunya. Wanita itu kerap membanding-bandingkan penghasilan anak-anaknya. Ibunya selalu memuji Anida yang berhasil lulus tes CPNS.
Jika tahu pengorbanannya berujung sia-sia, mungkin saja sekarang Amanda sedang sibuk-sibuknya dengan tugas kuliah. Jika tahu keputusannya berhenti mengejar pendidikan akan menutup mata sang ibu, mungkin saja Amanda tidak akan pernah memikirkan hal itu. Sekarang giliran dirinya yang menuai apa yang ditabur. Harus sabar setiap kali ibunya membicarakan keberhasilan Anida.
"Malam ini kamu yang masak, ya. Nanti kalau kakakmu pulang udah ada makanan," kata wanita itu dengan mata masih menancap di depan layar TV. Benda mewah yang dibeli kakaknya itu berhasil merenggut ibunya.
"Iya, Bu." Hanya itu dan Amanda sama sekali tidak boleh protes. Untuk apa? Toh, ibunya tidak akan peduli dirinya lelah. Sudah jelas kalau Amanda hanya dianggap babu di rumah ini.
Bukan dapur yang menjadi tujuan pertama Amanda, melainkan kamar. Perempuan itu meletakkan tas laptop di meja belajar, kemudian melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal. Matanya terpaku pada sebuah pigura yang menampilkan wajah sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan dua orang putrinya yang masih kecil. Dulu sekali, Amanda pernah merasakan kasih sayang orang tua. Amanda masih ingat bagaimana hangatnya seorang ayah dan lembutnya seorang ibu. Semuanya lenyap ketika laki-laki ini meninggalkan dunia akibat kecelakaan kerja.
Sikap ibunya ikut berubah. Amanda mengira ibunya lelah karena harus banting tulang menghidupi dua anak. Namun, lama-lama ... tingkah ibunya semakin menyebalkan
Apalagi saat Anida masuk ke perguruan tinggi bergengsi, lalu lulus dengan hasil memuaskan, jadi PNS, dan bisa merenovasi rumah. Amanda merasa dikucilkan, merasa tidak ada harganya, bahkan saat mencoba meringankan beban ibunya dengan menulis.Amanda tidak sepenuhnya bergantung pada penghasilan menulis. Sejak dua tahun lalu, Amanda bekerja sebagai pelayan di kedai kopi. Selain untuk menambah penghasilan, menghindari ibunya merupakan alasan kuat kenapa Amanda memilih bekerja di luar. Siapa yang betah kalau setiap hari mendengar ucapan pedas yang keluar dari orang terdekat? Amanda jamin tidak ada yang tahan. Walaupun penghasilannya tergolong kecil dibanding kakaknya, Amanda tidak peduli.
Kini, ada seorang laki-laki yang menawarkan sebuah kesepakatan. Amanda menggunakan kesempatan itu untuk bisa kabur dari rumah. Lagi pula, ibunya pasti akan senang kalau Amanda pergi. Namun, bagaimana caranya mengatakan itu pada mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Konjungsi Rasa - [Terbit]
RomanceAmanda tidak menyangka harus berurusan dengan editor menyebalkan macam Adipati Surya sejak dirinya terpilih sebagai salah satu peserta project Duda Series. Agar sinopsisnya cepat diterima, sang editor menawarkan sebuah kesepakatan. Bodohnya, Amanda...