Sudah dua hari Bima menginap di rumah neneknya karena bertepatan dengan hari Minggu. Selama itu pula Amanda tidak melanjutkan tulisannya. Waktunya ada, kegiatannya sedikit, tempatnya lapang, cemilan, bahkan permen memadai, tetapi kepalanya tidak sanggup merangkai kata. Sejak satu jam yang lalu, lembar MS. Word masih kosong. Mau mencari inspirasi di internet pun berakhir dengan gulir-gulir sampai baterai ponsel habis.Ditambah lagi di dalam rumah ini hanya ada dirinya dan Adipati. Entah sedang apa pria itu, Amanda enggan mencari tahu. Yang jelas, Amanda tidak akan menampakkan diri. Dia tidak mau adegan ciuman itu terulang lagi ke part dua, tiga, bahkan sampai ke adegan berikutnya. Amanda belum siap menghadapi itu. Tidak masalah mau dibilang dosa, apalagi dikutuk. Namanya belum siap, masa mau dipaksa.
Tidak mendapatkan apa pun, Amanda memilih bangkit seraya mengangkat gelas melamin yang ingin diisi ulang dengan air putih. Ketika pintu dibuka, tubuhnya terperanjat saat mendapati seorang laki-laki berdiri di depan kamarnya.
"Ya Allah! Bapak ini udah siap nanggung biaya kalau saya kena serangan jantung?"
"Saya mau ketuk pintunya, tapi kamu udah keluar duluan," balas Adipati. "Kenapa kamu kirim bab sepuluhnya ke email saya? Biasanya kamu datang terus kasih laptop ke saya."
Amanda memalingkan wajah. Yang dikatakan Adipati benar. Tadi pagi dia kirim bab sepuluh lewat surel. Ya, demi mengurangi intensitas pertemuan dengan laki-laki ini.
"Saya lagi nggak mau ketemu sama Mas," kata Amanda terang-terangan.
"Kenapa? Kamu takut saya mengulangi adegan kemarin?"
Mata Amanda membeliak. "Iya, saya takut. Puas? Sekarang, minggir. Saya mau jalan."
"Mau ke mana?" Adipati malah merentangkan kedua tangannya di antara kusen pintu. Sehingga Amanda tidak bisa keluar. Amanda mencoba menerobos, tetapi tubuh pria ini sangat kokoh.
"Mas, ih! Saya mau ambil minum!"
"Saya belum selesai."
"Ya, kan, bisa ditunda dulu. Saya haus, nih!"
"Habis ini pasti kamu menghindari saya lagi, kan?"
"Saya lagi nulis, bukan menghindar."
"Ya, udah kalau gitu mana tulisan kamu?"
"Belum selesai!" Amanda menghirup napas, memejamkan matanya sebentar. "Saya stuck gara-gara Anda! Kenapa,, sih, Mas itu mencuri ciuman saya?"
"Mencuri? Yang ada justru saya memberikan hak kamu, kamu memenuhi kewajiban saya."
"Saya, kan, belum bilang boleh. Artinya itu mencuri."
"Ya sudah, bagaimana kalau saya bertanggung jawab? Saya akan buat kamu lancar menulis lagi."
Adipati melangkah maju, Amanda perlahan mundur. Begitu terus sampai Adipati berhasil masuk ke kamar. Jantung Amanda mulai tak karuan. Matanya tak lepas dari wajah Adipati yang juga tidak berhenti menatapnya. Tepat saat Amanda ingin mendorong tubuh laki-laki itu, lampu kamar tiba-tiba padam. Suasana berubah gelap gulita. Gelas di tangan Amanda meluncur hingga menimbulkan suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Konjungsi Rasa - [Terbit]
RomanceAmanda tidak menyangka harus berurusan dengan editor menyebalkan macam Adipati Surya sejak dirinya terpilih sebagai salah satu peserta project Duda Series. Agar sinopsisnya cepat diterima, sang editor menawarkan sebuah kesepakatan. Bodohnya, Amanda...