Sudah satu jam sepasang suami istri itu berada di posisi yang sama. Napas Bima terdengar teratur. Artinya anak itu berhasil direnggut oleh mimpi. Amanda mengelus kepala anak sambungnya perlahan, mengeluarkan bulir-bulir keringat. Sepertinya obat yang diminum Bima sedang bekerja.
Jangan harap bisa tidur di sini. Amanda benar-benar tidak bisa memejamkan kedua matanya. Jantungnya dari tadi berdebar kencang sampai kakinya dingin karena menahan gugup. Ini pertama kalinya Amanda satu kamar dan satu ranjang dengan pria. Amanda khawatir Adipati berbuat macam-macam, apalagi Bima sudah tidur pulas. Wajar, kan, kalau Amanda punya pikiran seperti itu? Laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan, pasti ketiganya setan.
"Sepertinya Bima sudah tidur." Adipati bersuara.
Amanda memutar bola matanya. Ini tidak sepertinya lagi, tapi memang benar-benar sudah tidur. Basa-basinya yang benar, dong!
Pria itu mengubah posisi, lalu mengenakan sandal dengan hati-hati. Setelah itu, berdiri tegak. "Sebaiknya kita ngomong di luar saja."
Kening Amanda berkerut. Lho, siapa mau bicara sama situ? Dasar gensian! Mbok langsung bilang gitu kalau mau ngajak ngobrol.
Meski hati masih dipenuhi murka, Amanda tetap mengikuti suaminya. Gadis itu menyusul Adipati yang sudah duduk di sofa ruang tengah.
"Bapak mau minum sesuatu? Kebetulan saya mau bikin teh," tawar Amanda. Walau masih kesal, rasanya ada yang kurang kalau hanya duduk tanpa minuman.
"Boleh. Tolong buatkan saya kopi, ya."
"Oke."
Jujur ini kali pertama Amanda menawarkan lalu membuatkan minum untuk Adipati. Selama ini, keduanya benar-benar menjalani kehidupan masing-masing. Amanda memasak untuk sarapan dan makan malam. Keperluan lain pun Adipati menyiapkan sendiri.
Beberapa menit kemudian, Amanda datang dengan membawa dua cangkir berisi teh dan kopi hitam.
"Terima kasih."
Amanda memilih duduk di sofa single di seberang pria itu. Hening mendominasi. Hanya helaan napas yang terdengar dari mulut Adipati setelah menyeruput kopinya. Amanda yang tidak tahu ingin bicara apa memilih menyesap cairan berwarna kuning itu.
"Saya minta maaf."
Amanda mendongak, lalu mematung menatap wajah Adipati. Laki-laki itu terdengar tulus saat mengucapkan maaf. Hal itu menggugurkan perasaan kesal di hatinya.
"Saya harusnya nggak marahin kamu. Saya tadi panik pas tahu Bima sakit. Kamu mau, kan, maafin saya?"
"Saya juga minta maaf, Pak. Saya lalai jagain Bima. Saya nggak jujur ke Bapak," kata Amanda tulus.
"Saya akui saya yang paling salah di sini. Kamu benar, harusnya saya terbuka sama kamu soal Bima. Biar bagaimanapun kamu ibunya sekarang. Kamu nggak tau apa-apa, tapi nyaris sepanjang waktu sama dia. Apalagi ... kamu sambil mengerjakan novel project. Saya salut sama kamu yang bisa melakukan semuanya sendirian. Saya justru menambah beban kamu dengan marah-marah seperti tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Konjungsi Rasa - [Terbit]
RomanceAmanda tidak menyangka harus berurusan dengan editor menyebalkan macam Adipati Surya sejak dirinya terpilih sebagai salah satu peserta project Duda Series. Agar sinopsisnya cepat diterima, sang editor menawarkan sebuah kesepakatan. Bodohnya, Amanda...