•11• Antara Hak dan Kewajiban

28.2K 2.9K 36
                                    

Sesudah mengantarkan Bima ke sekolah, Adipati mengajak Amanda masuk ke ruang kerjanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesudah mengantarkan Bima ke sekolah, Adipati mengajak Amanda masuk ke ruang kerjanya. Apa lagi kalau bukan membahas naskah Duda itu Suamiku yang ditulis Amanda.

Rumah ini memang memiliki cukup banyak ruangan. Satu kamar tamu, satu kamar untuk Bima, satu kamar pribadi Adipati, satu kamar yang ditempati Amanda sekarang, satu ruang kerja, ruang makan yang menyatu dengan dapur, dan dua kamar mandi yang masing-masing terletak di beda ruangan. Amanda merasa beruntung karena setiap kamar diberi fasilitas kamar mandi dalam. Tidak seperti rumahnya. Mandi saja harus rebutan dengan Anida.

Ruang kerja yang didatangi Amanda saat ini cukup luas. Menonjolkan sisi Adipati yang bekerja sebagai editor. Lihatlah di berbagai sudut terdapat rak buku menjulang tinggi. Kemudian, ada satu rak khusus untuk menyimpan miniatur kendaraan zaman dulu, seperti bajaj, delma, dan becak. Juga ada miniatur pesawat, kereta api, bus, dan mobil sport.

Selama tinggal di sini, satu-satunya tempat yang belum pernah Amanda masuki adalah kamar Adipati. Sang pemilik selalu mengunci rapat pintunya. Saat Amanda menawarkan bantuan pembersihan, selalu ditolak. Amanda jadi bingung. Memangnya di dalam ruangan itu ada apa sampai-sampai orang lain tidak boleh masuk? Jangan-jangan Adipati menyimpan sesajen di dalam sana.

"Ini apa maksudnya?"

Suara Adipati mengalihkan pandangan Amanda dari barang-barang koleksi pria itu. Keningnya berkerut. Kenapa Adipati masih bertanya? Kan, itu sudah jelas fail hasil revisi. Apa laki-laki itu tidak membaca sampai tuntas?

"Ya, itu revisi bab satu, Pak."

"Saya nggak minta kamu nulis begini, Amanda! Bukannya bagus, ini malah makin jelek. Masih banyak salah ketik. Beberapa kalimat yang kamu tulis masih tanpa subjek. Terus, banyak sekali pengulangan kata yang jadinya bikin garing. Kamu tahu penulis lain bahkan ada yang sudah sampai bab lima, sedangkan kamu bab satu nggak selesai-selesai."

"Ya, kalau cuma salah ketik, kan, bisa Bapak betulin. Bukannya Bapak itu editor saya? Kenapa harus saya semua yang mengerjakan? Coba Bapak jadi saya biar tahu susahnya jadi penulis yang harus nurut sama kemauan editor. Saya, tuh, capek bolak-balik revisi."

"Saya memang editor kamu, tapi tugas saya hanya mengarahkan, bukan membantu kamu. Saya rasa sudah jelas arahan yang saya tulis dan kamu bisa mengikutinya dengan baik. Satu lagi, sebelum menjadi editor, saya pernah menjadi penulis. Jadi, saya sudah tahu kesulitan yang kamu alami sekarang."

Amanda mengatupkan bibirnya. Seolah-olah ucapan barusan berhasil menguapkan kalimat-kalimat bantahan di lidah gadis itu. Dia lupa bahwa laki-laki di hadapannya ini telah banyak makan pengalaman. Adipati bukan editor kemarin sore. Halo, Amanda, laki-laki yang menjadi suami sekarang adalah seorang editor profesional. Sudah banyak penulis yang bukunya menjadi best seller berkat tangan Adipati.

"Bukannya nggak masalah kalau masih ada beberapa kesalahan? Kan, nggak ada buku yang sempurna. Lagi pula, pembaca nggak memusingkan kesalahan penulisan. Bagi mereka, yang penting terhibur." Amanda masih mencoba mengeluarkan buah pikirannya. Di Your Story, banyak penulis yang masih salah ejaan, cacat logika, masih ada yang baca. Itu membuktikan bahwa pembaca tidak butuh buku yang sempurna.

"Kalau kamu menulis di platform, saya nggak akan pusing-pusing membaca naskah kamu. Saya nggak akan buang waktu saya untuk mengurusi kamu. Ucapan kamu barusan, membuat saya sadar bagaimana kualitas penulis jebolan Your Story. Kamu masih memandang yang penting tulisan kamu tenar, soal kepenulisan sampai cacat logika kamu abaikan. Apa kamu nggak tahu, tulisan-tulisan yang kamu buat akan mendapat pertanggungjawaban di akhirat nanti? Kamu mau membuat pembaca kamu sesat setelah membaca tulisanmu?"

Lagi-lagi, Amanda tertegun. Sungguh, Amanda tidak kepikiran sampai ke sana selama menjadi penulis. Yang dia tahu, asal ada pembaca, tulisannya sudah pasti diterima. Makanya editor sebelumnya memberikan banyak catatan saat menyunting buku pertama Amanda. Makanya ada seorang penulis yang menyarankannya melakukan riset sebelum menulis. Amanda jadi tahu jawabannya sekarang. Naskah yang tenar belum tentu benar, tetapi naskah benar sudah pasti tenar.

"Semuanya kembali ke kamu, Amanda. Kamu mau mengikuti arahan saya atau tidak, itu urusan kamu. Toh, apa yang kamu dapatkan dari saya akan berguna untuk karya kamu ke depannya. Kalau kamu nggak mau nurut, kamu juga harus tahu akibatnya. Besok Minggu bukannya ada pertemuan lagi dengan Firman, kan? Apa yang mau kamu tunjukkan ke dia? Bab satu yang nggak selesai-selesai?"

Nyali Amanda semakin ciut mendengar itu. Dia langsung teringat dengan agenda pertemuan tiga hari lagi. Bagaimana ini? Bab satu belum kelar, sementara nanti saat pertemuan, Firman akan membahas tiga bab pertama. Rupanya menjadi istri bukannya melancarkan, tapi malah menghambat. Andai tidak menerima tawaran gila ini, pasti Amanda bisa menulis tanpa hambatan.

"Saya akan berusaha. Bapak tenang aja. Saya nggak akan bikin malu di depan Mas Firman," ucap Amanda. Dengan kepala menunduk, dia membalikkan tubuhnya untuk pergi. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat Adipati menyebut namanya.

"Saya rasa kamu butuh beberapa buku untuk melancarkan ide kamu. Saya ada beberapa referensi dan kamu bisa beli di toko buku."

Adipati meletakkan secarik kertas di meja. Amanda bisa melihat daftar sepuluh judul buku yang harus dibeli. Tunggu, memangnya di antara rak ini tidak adakah salah satu judul buku referensi Adipati? Oh, mungkin Adipati termasuk orang yang tidak suka barang pribadinya dipegang orang lain.

"Dan ini uangnya."

Butuh waktu untuk mencerna kala Adipati meletakkan sebuah kartu di dekat kertas itu. Sebentar, bukannya Adipati sudah pernah memberikan satu kartu? Kenapa ada lagi?

"Itu kartu isinya uang yang biasa saya gunakan untuk jajan. Kamu bisa pakai buat beli buku, jadi nggak perlu ambil uang belanja."

"Nggak usah, Pak. Saya masih punya sisa uang kalau hanya sekadar beli buku."

"Amanda, jangan membuat saya zalim ke kamu. Meskipun kamu bilang kita nggak boleh saling usik, saya akan tetap penuhi kewajiban saya. Tapi, maaf kalau isinya sedikit. Kemarin saya pakai."

Amanda bisa merasakan kesungguhan di diri Adipati. Memang benar meski tingkahnya menyebalkan, Adipati berusaha memenuhi haknya sebagai istri. Amanda tidak kesulitan dengan uang belanja. Laki-laki itu memberikannya secara berkala. Malah justru Amanda-lah yang tidak memenuhi kewajibannya. Amanda jadi berpikir kalau project ini selesai, dia mau ngapain lagi? Mungkin harinya akan diisi dengan mengurus Bima. Soal kedekatannya dengan Adipati, Amanda bahkan tidak pernah membayangkan.

Ya, mungkin dirinya dan Adipati akan menjadi orang asing yamg tinggal dalam satu atap. Mungkin tidak akan ada cinta di antara mereka. Mungkin hubungan mereka hanya tercatat di atas kertas.

"Kalau begitu saya akan ke toko buku sekalian jemput Bima."

"Biar saya yang jemput Bima. Kamu nggak perlu memikirkan hal lain. Cukup kerjakan tugas kamu sebagai penulis."

Kini, Amanda kehabisan kata-kata.

Jadi penulis nggak semudah yang kita pikir, hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jadi penulis nggak semudah yang kita pikir, hehe.

Konjungsi Rasa - [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang