27

629 56 3
                                    

Tok..tok...

"Abang ini Lian!"

Cklekk...

"Abang, Lian boleh masuk?"

"Masuk aja!" Jean mengijinkan adeknya buat masuk ke kamar.
Lian mendudukkan tubuhnya dipinggir kasur abangnya.

"Abang tadi kenapa nangis?"

"Abang juara tiga!" Jawab Jean lesu.

Lian cukup terkejut mendengar jawaban abangnya, yang Lian tau sedari SD abangnya selalu dapat juara pertama. Pantas saja jika Jean merasa sedih karena mendapat juara tiga.

"Wihh keren, pasti saingan di SMP susah banget ya bang. Tapi abang hebat banget bisa juara tiga."

Jean hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"Oh iya, kamu peringkat berapa?"

"Oh aku, emmm peringkat empat!" Jawab Lian bohong.

"Hebat kan aku, meski peringkat empat aku ga nangis. Abang seharusnya jangan nangis, itu tandanya abang harus lebih giat belajar. Padahal dulu abang yang gitu ke Lian."

"Hahaha, iya. Abang masih kaget aja, ternyata saingan di SMP lebih berat dari yang abang bayangin."

Jean ini berada di salah satu kelas unggul, jadi tentu saja saingannya jauh lebih berat dari waktu dia SD dulu.

"Adek abang udah gede, bentar lagi SMP." Jean mengusap rambut Lian.

"Iya Lian udah gede!"

"Tapi sayang kita ga satu SMP."

"Kalo aku ke SMP 1, nanti aku malah peringkat terakhir hahaha!"

"Bisa aja kamu, ya ga lah. Kamu kan adek abang yang paling pinter!"

"Emm, mama tadi ga marahin abang kan?" Tanya Lian dengan nada pelan.

"Enggak, mama ga marahin abang, mama cuma kasih nasehat sama semangat sama abang."

Lian tersenyum senang saat tau abangnya tidak merasakan apa yang dia rasakan. Setidaknya abangnya masih mendapat dukungan dari mama. Meski jujur Lian cemburu, saat abangnya selalu mendapatkan rasa kasih sayang, semangat, dari orang-orang sekitar tapi dirinya tidak.
Dia ingin sekali protes, namun nyatanya tidak ada gunanya. Hasilnya tetap sama saja.

"Eh abang pengen liat rapor kamu dong!"

"Ga usah, nilai aku rendah aku malu. Mending sekarang kita tidur aja. Aku mau tidur bareng abang."
Tentu saja Lian berbohong, dia tidak ingin membuat anaknya semakin sedih dengan melihat nilainya. Meskipun nilainya bisa saja lebih besar abangnya dari dia. Tapi dia tidak mau kalo abang melihat peringkatnya, dia hanya takut Jean semakin sedih.

"Yaudah iya, eh tapi udah cuci tangan sama sikat gigi belum?"

"Belum!"

"Yaudah ayo sikat gigi dulu!" Ajak Jean.

Lian mengangguk dan mengikuti abangnya.

.
.
.

"Ma, aku habis sarapan harus ke sekolah."

"Loh, enggak libur?"

"Libur, tapi aku kan udah gabung sama OSIS jadi aku ikut tanggung jawab untuk acara perpisahan kakak kelas tingkat akhir."

Jean memang dari SD dia sudah sangat tertarik dengan OSIS. Dia berpikir menjadi OSIS itu keren. Saat ada pengumuman pembukaan OSIS baru, dia langsung mendaftarkan dirinya.

Awalnya Jean takut saat nanti dia tidak terpilih. Tapi nyatanya dia sekarang sudah tergabung dengan anggota OSIS.

"Keren banget anak mama, mau mama anterin!"

"Ga usah ma, aku dijemput Bima." Bima memang tergabung dengan anggota OSIS juga, bahkan mereka daftar bersama.
Kalo Mino sama Ecan mereka ga minat.

"Temen kamu jemput kamu pake apa bang?"

"Motor hehe!"

"Hah? Kalian kan belum punya SIM."

"Gapapa ma, cuma ke sekolah. Yang penting pakek helm!"

"Aduh bang, motor temen kamu taro sini aja ya. Kalian mama anter pakek mobil."

"Ga usah ma, Bima udah jago naik motornya."

"Yaudah, tapi harus hati-hati pakek helm."

"Iya mama!"

Tinn...tin...

"Eh itu pasti Bima."

"Ayok mama anterin ke depan."

Rina mengantarkan Jean ke depan rumah untuk menemui temannya.

"Assalamualaikum tante!" Sapa Bima sambil menyalimi tangan Rina.

"Waalaikumsalam, Bima hati-hati kalo naik motonya ya. Jangan ngebut!"

"Iya tante, saya jamin aman."

"Kita berangkat ma. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!"














TBC
Aku ga tau kalo OSIS ikut bantu atau ga kalo waktu perpisahan gitu, soalnya aku bukan anggota OSIS, jadi maklumin aja ya😁

the truth Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang