"Papa!"
Seorang anak laki-laki yang berusia dua tahun berlari kearah Arman dengan hanya menggunakan popok.
"Jean pakek baju dulu sayang!"
Arman menangkap anak laki-laki yang bernama Jean.
"Nakal ya kamu, ga mau pakek baju. Mama sampek lari-lari tuh!"
"Hehehe!"
"Nakal banget anak mama, disuruh pakek baju malah lari!" Rina menghampiri putranya yang sedang dipangku oleh Arman.
"Minta maaf sama mama sana!"
"Nta maap mama!" Jean mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan mamanya.
"Hahaha, iya mama maafin. Lain kali jangan lari-lari lagi, nanti jatoh!" Rina menerima jabatan tangan putra manisnya ini.
"Iyaa mama!"
"Yaudah sekarang ayo kita sarapan!" Rina menggendong putra kecilnya ini.
Arman tersenyum melihat istri dan juga anaknya. Arman memang sudah berubah, mau menerima anak dan juga istrinya. Tapi tidak bisa dipungkiri, dia masih sering memikirkan dan merindukan Widia. Dalam hati dia selalu bertanya, apakah Widia baik-baik saja, apakah Widia sudah menemukan penggantinya.
Arman hanya bisa menyimpan pertanyaan itu dihatinya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga istri dan anaknya.
"Papa, ayok mam duyu!"
Arman tersadar dari lamunannya, tersenyum lalu mendudukkan dirinya disamping putra manisnya ini.
"Iya, papa mam duyu. Jean juga mam duyu!" Arman menirukan aksen cedal Jean dalam berbicara.
Rina hanya tertawa ringan sembari mengambilkan sepiring nasi dan lauk untuk suaminya.
"Terima kasih!"
.
.
.Hari ini pekerjaan Arman cukup banyak, membuat dia tidak bisa makan siang di rumah. Arman memutuskan untuk pergi ke cafe depan kantornya, sekalian ingin menyegarkan pikirannya dari kerjaan yang begitu banyak.
Namun saat Arman memasuki cafe tersebut, Arman terkejut saat melihat seseorang yang dia yakini adalah Widia. Tapi dia bersama dengan seorang anak laki-laki, yang mungkin usianya satu tahunan.
"W-widia?"
"Mas, aku nunggu kamu udah lama loh!" Widia menoleh dan tersenyum kearah Arman yang memasang wajah terkejut.
"K-kamu, ini bener kamu?"
"Menurut mas?"
"Widia, ini bener kamu!" Arman tersenyum haru lalu memeluk tubuh Widia yang terlihat semakin kurus.
"Mas udah!" Widia melepaskan pelukan Arman pada tubuhnya.
Sementara anak laki-laki yang bersama Widia hanya menatap dengan polos.
"Papa!"
Arman terkejut saat anak laki-laki itu memanggilnya papa.
"Widia, dia?"
"Dia anak kamu, anak kita, namanya Lian. Lian Abaya!"
"Ha? Widia kamu?"
"Kalo kamu ga percaya, kamu bisa tes DNA. Kamu ga inget waktu kamu minta hubungan kita berakhir, semua terjadi dari situ. Kenapa aku baru nemuin kamu sekarang, karena mungkin aku ga bisa rawat Lian lebih lama lagi. Karena itu aku minta tolong kamu, untuk jaga Lian.
"Arman, kalo boleh milih aku mau rawat Lian sampai dia dewasa. Tapi aku takut kalo aku bakal ninggalin dia sendiri di usia dia yang masih kecil."
"Dia anak aku?" Arman mengusap rambut Lian, dan dibalas senyuman manis oleh sikecil.
"Dia mirip kamu!"
Widia menahan air matanya agar tidak keluar.
"Boleh aku titipin dia ke kamu? Tolong jaga dia ya!"
"Widia, aku udah punya istri dan anak. Aku akan tanggung jawab, aku akan transfer uang setiap bulan ke kamu. Tapi aku ga bisa bawa Lian!"
"Seandainya aku bisa, aku ga butuh uang kamu Arman. Aku akan rawat dia sendiri, tapi aku ga bisa!"
"Kamu kenapa Widia? Apa kamu sakit?"
"Kamu ga perlu tau, cukup jaga Lian. Aku hiks mohon jaga Lian, dia hiks anak kamu juga!"
"Widia?"
"Tolong janji sama aku, jaga Lian!"
"Iya aku janji!"
Widia tersenyum dan memberikan Arman sebuah album.
"Ini album waktu aku hamil Lian, sampai sekarang. Disitu ada tanggal lahir Lian!"
"Arman, kamu percaya kalo Lian anak kamu!"
Melihat wajah Lian yang memiliki kesamaan dengannya, meskipun hanya bagian mata itu sudah membuatnya yakin jika Lian anaknya. Mengingat dia pernah berbuat dengan Widia, dimana dia seharusnya hanya datang untung mengakhiri hubungannya dengan Widia.
Dia harus menerima Lian, karena Lian anaknya.
"Lian, kamu ikut sama papa ya!"
"Mama nana?"
"Mama ga kemana-mana, tapi kamu sekarang tinggal sama papa. Paham sayang?"
Lian hanya mengangguk meski dia tidak tau maksud dari mamanya.
"Mama pergi ya, aku pergi!"
Widia melangkah keluar dari cafe.
"Mama nana, mama hiks huee mama!"
"Cup cup, sama papa ya sayang!" Arman mencoba menenangkan Lian yang ingin ikut mamanya.
"Lian ga boleh nakal ya, mama ga kemana-mana kok. Tapi sekarang Lian ikut papa. Kamu ga suka ya ikut papa?"
"Papa?"
"Iya papa!" Bibir dan hidung mancung yang sangat mirip dengan Widia, benar-benar membuatnya ingin menangis. Bagai mana bisa dia menelantarkan Widia disaat dia hamil anaknya.
Arman menatap kearah album yang Widia berikan, disitu terdapat banyak foto. Waktu Widia hamil, foto janin Lian waktu masih dikandungan, sampai dimana terdapat foto Lian yang masih sangat kecil.
"Ini apa?" Disaat Arman membolak-balik halaman album, Arman menemukan sebuah amplop.
Arman membuka dan membacanya dengan teliti.
"Kanker payudara? Stadium akhir!" Arman terkejut.
Arman benar-benar ingin menangis, dia membawa Lian pada pelukannya dan mencium lembut kepala Lian.
"Aku janji akan merawat Lian Widi!" Batin Arman.
TBC
Flashback nya panjang banget ya hehe😁
Satu chapter lagi deh, bakal udahan flashback nya.
Jangan lupa vote sama coment ya guyss😉
KAMU SEDANG MEMBACA
the truth
Fanfiction"Lu ga tau apa yang gue rasain bang, mangkanya lu mudah ngomong gitu. Lu ga tau rasanya gimana selalu dibandingin dan diabaikan." "Bahkan satu dari kalian ga ada yang anggap gue ada. Dan sekarang mungkin lu juga bakal jadi salah satu dari mereka!" #...