~
Menyerah?
~
Jangan.
~
Tak ada dalam kamus seorang Isabella kata-kata menggelikan itu.
Serangkaian serangan manis terus menghujam Angkasa setiap harinya. Dari mulai pesawat kertas bertuliskan kata 'maaf', susu cokelat saat istirahat makan siang, air mineral saat latihan boxing, setangkai bunga saat menyambut di depan gerbang sekolah, merelakan sabuk putih saat Angkasa tiba-tiba kehilangan miliknya. Semua perlakuan itu hanya berakhir di tong sampah. Angkasa lebih memilih di hukum dan kehabisan napas karena harus berlari mengelilingi lapangan.
Isabel makin geram. Sampai kapan Angkasa bersikap seperti itu? Belum lagi seluruh Antariksa kini seolah menganggapnya sebagai musuh. Sebenarnya bagian ini bukan masalah besar. Setiap hari ia anggap latihan Boxing. Tapi ini terlalu kekanak-kanakan. Isabel lebih mengkhawatirkan waktunya yang kian menipis.
Beberapa waktu lalu bahkan Aksara datang dengan kaki di gips. Artinya serangkaian kesialan mulai merayap mengancam keselamatan Aksara.
Dirga sudah mengingatkan beberapa kali untuk fokus pada Aksara terlebih dahulu dari pada buang-buang waktu mengejar Angkasa.
Buang-buang waktu katanya? Dia tak bisa dengan enteng berkata seolah Angkasa tidak lebih penting dari Aksara. Isabel bahkan sudah merelakan nyawanya di dunia sana! Pikirkan sendiri seberapa penting Angkasa di hati Isabel.
Kali ini, jika serangan manis sudah tak mempan, sebaiknya gunakan cara yang lebih mendidik! Serangan terakhir. Kali ini harus berhasil. Kalau tidak, apa pulang saja? Pikir Isabel.
Tepat di saat yang sama, ketika Isabel memikirkan untuk pulang, catatan di buku coklat yang kini tengah berada di tangan Dirga, misi tentang Angkasa tiba-tiba berubah menjadi biru. Dirga sampai heran. Bukankah jika berubah artinya misi selesai?
Tapi Isabel di sana. Dirga melihatnya tengah menghampiri kumpulan Angkasa di koridor sekolah. Kini langkahnya terlihat makin brutal. Isabel bahkan menampar wajah Angkasa berkali-kali.
Dirga terkekeh sendiri di bangku taman. Lantai dua itu menjadi sangat ramai. Beberapa orang berteriak-teriak membela Angkasa. Sedangkan Isabel? Suaranya tak kalah bengis dibanding yang lain.
Harusnya dulu dia bisa menciptakan karakter sekuat Isabel. Pasti novel-novelnya akan semakin hidup. Isabel bahkan masih ngotot sendirian meminta Angkasa sadar dan berhenti bersikap kekanak-kanakan. Suaranya sangat jelas terdengar meski Dirga tak beranjak dari bangku taman itu.
BRAKKK!
GDBUKK!DEG!
DEG!Ada sesuatu yang jatuh dari rooftop. Lantai paling atas. Gedung itu ada tiga lantai. Dan biasanya lantai paling atas jarang dilalui. Dan jarang juga ada siswa yang naik ke sana.
Tapi kali ini ada yang benar-benar terjatuh dari sana. Dirga melihat dan tepat di hadapannya. Siswa dan siswi lain juga melihat. Beberapa diantara mereka bahkan menjerit ketakutan.
Lantai dua tempat Isabel dan Angkasa berkelahi pun tiba-tiba senyap. Mereka berhamburan melihat ke luar jendela. Termasuk Angkasa.
Meski lututnya bergetar hebat, Dirga mencoba memastikan. Mendekati, dan kemudian mengamati apa yang baru saja terjatuh.
DEG!
Ternyata ada seseorang yang menjatuhkan diri dari atap. Dari posturnya, juga gips di kakinya, bisa di pastikan itu Aksara!
Dirga tak berani mendekat. Ia semakin melangkah mundur lalu menjauh. Beberapa orang mencoba menolong. Guru-guru bahkan satpam berhamburan melihat.
Setelah cukup berjarak, ia kembali membuka buku catatan cokelat itu. Halaman pertamanya berubah. Couple goals yang awalnya bertuliskan warna hitam, kini berubah warna. Biru gelap dengan aksen emas yang cantik bahkan bercahaya. Dirga melempar buku itu saking terkejutnya.
Sedangkan di lantai ke dua, Angkasa melihat jelas Aksara sudah terkapar tak berdaya di bawah sana. Kenapa protagonis mati? Pikirnya.
Isabel yang juga ingin melihat, dengan sigap langsung di halangi oleh Angkasa. Ia menutup mata Isabel dengan lembut, kemudian membawanya ke dalam pelukan.
"Jangan di lihat!" Titah Angkasa. Ia tak ingin Isabel melihat pemandangan mengerikan itu.
"Siapa?" Isabel masih penasaran namun tak berani bergerak ketika wajahnya masih tenggelam dalam dada Angkasa.
"Aksara.." Jawab Angkasa. Jantung Isabel bergetar, tangannya mulai tremor. Entah mengapa kabar itu begitu mengejutkan. Ada banyak pertanyaan dalam benaknya saat ini. Namun, adakah yang bisa menjawab?
Angkasa semakin mengeratkan pelukannya. Mencoba menenangkan serangan panik Isabel. Mengusap perlahan wanitanya, mengecupnya berkali-kali berharap dia tenang.
"Sa.." Isabel perlahan mengurai pelukannya. "Gue.." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, angin kencang di dalam ruangan tiba-tiba berhembus seolah menunjuk ujung koridor.
Sudah ada asap abu-abu di sana. Pintu pulang Isabella sudah terbuka. Angkasa pun melihatnya. Mereka sempat saling melempar pandang. Sulit dijelaskan, Angkasa memberi senyuman terakhir, kemudian mengecup dahi Isabella penuh perasaan.
Ini ending! Tapi akan ku usahakan segala cara untuk menyusul ke sana. Meski mustahil sekalipun.
Angkasa meraih tangan Isabella. Wajahnya tak henti-hentinya tersenyum. Isabela paham sekarang. Angkasa ternyata tahu apa yang sedang ia hadapi selama ini. Isabel sempat menggeleng enggan pergi. Namun Angkasa tidak! Sekuat tenaga, dia berlari sambil menggenggam erat tangan Isabel. Membawanya menuju asap abu-abu itu, menerobos masuk ke dalam.
Angkasa sempat berharap tubuhnya pun ikut terbawa. Tapi mustahil. Yang ada tubuhnya hanya terguling-guling di koridor. Dan kali ini, Isabel menghilang entah kemana bersama asap abu-abu yang juga menghilang secepat kilat.
Entah satu atau dua detik dari sini, bisa dipastikan ini adalah detik-detik ending cerita Wangja. Sad ending.. Angkasa bisa melihat waktu berhenti seketika. Semua orang mematung. Bahkan dahan yang bergelayut tertiup angin pun tiba-tiba terhenti di udara. Seluruh antero Antariksa perlahan menguap. Satu persatu pohon menghilang, satu persatu orang-orang itu pun melebur. Bagai abu yang beterbangan. Ini akhir dari dunia Wangja.
Dan dirinya? Tentu ikut melebur. Tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya meluruh beterbangan. Angkasa menghilang.. Sama sekali tak ada yang tersisa.
Jika cintaku ternyata hanya berhenti sampai di sini saja, setidaknya tak ada secuil pun penyesalan yang kurasakan nanti!
Sayangku..
Hiduplah dengan baik di sana!
Maaf jika akhirnya aku tak bisa menyusul..
Simpan aku dalam ingatan!
Jangan pernah lupakan!Angkasa~
~
Sepasang mata tiba-tiba terbuka dengan tangis yang sudah membanjir. Suara mesin EKG, terdengar memenuhi ruangan. Lagi. Kini tirai merah muda itu terbuka lebar. Tidak ada seorangpun di ruangan itu. Hanya satu orang saja yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Dia bahkan hanya bisa menangis sekarang.
Di ujung ranjang, terlihat jelas nama Isabella di sana. Dia sudah pulang.
Tangisan itu makin terdengar pilu. Pantas saja. Dia baru saja meninggalkan kekasih tercintanya di sana. Dadanya sesak saat mengingat perpisahan terakhirnya. Namun ia hanya bisa menangis, meraung-raung seorang diri. Seluruh tubuhnya kaku! Tak ada yang bisa digerakkan. Bisa dipastikan kepergiannya kali ini cukup lama.
Nyonya Arini..
Jika akhirnya seperti ini, kenapa harus aku yang menyelesaikan novel biadab itu?Sakit Nyonya..
Angkasa masih tertinggal di sana!
Bisakah Nyonya memberiku Angkasa-Angkasa lain?Nyonya..
Aku mau menulis..
Menjadi penulis yang tak kalah hebat dari Nyonya! Lihat saja! Jika tulisanku bisa membawa Angkasa kembali, aku akan sangat berterima kasih karena Nyonya sempat membuatku mengenal sosok Angkasa..
Jika tidak, ku BAKARR saja semuanya!Isabella~
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Antagonis (End)
FantasyIbu Isabela meninggal dunia meninggalkan sebuah novel yang belum tamat. Setiap hari Isabela dihantui para fans ibunya yang semakin menggila menuntut untuk menyelesaikan cerita. Sedangkan, Isabela sendiri tidak pernah sekali pun tertarik dengan dunia...