14. Selamat Jalan Kawan

77 51 422
                                    


-Tetaplah hidup, meskipun berat. Karena kita hidup di dunia ini untuk menahan rasa sakit-

-Pilox-

Pengorbanan

"Gunakan bomnya!" teriak Pilox.

Namun, Axis hanya terdiam dan enggan mendengarkan Pilox. "Kamu sudah gila ...? Kamu mau ... mati, hah?" ucapnya diselingi air mata dan masih menodongkan pistolnya, kini Axis berjalan mendekat ke arah Seven, agar mudah untuk menembak gadis itu.

"Tenang saja ... jangan khwatirkan saya! Lagipula saya sudah siap untuk mati! Ingat ini demi Risa ... cepat! Tembak--"

Door!

Mendadak ruangan tersebut dipenuhi dengan suara tembakan dan obrolan Pilox terhenti karena baru saja timah panas mengenai punggungnya.

Mata Axis membesar. "Pilox!" teriak gadis barambut panjang itu sembari mangambil gas air mata dari saku celananya dan segera menjatuhkannya ke lantai sehingga ruangan tersebut nyaris tidak terlihat karena asap yang ditimbulkan dari gas air mata tersebut.

Di sisi lain, Pilox kini sudah terkapar tak berdaya di lantai, sementara itu darah terus mengalir dari punggungnya, dan entah kapan Seven sudah menghilang di tempat itu.

Di tengah asap tebal itu, Axis setengah mati menahan matanya yang perih akibat asap tebal tersebut dan berlari ke arah Pilox lantas membopongnya menuju mobilnya.

Mendadak suara tembakan lagi-lagi terdengar di ruangan tersebut sebanyak empat kali, entah dari mana datangnya.

Door!

"Sial ... dia berhasil kabur," ucap gadis misterius menggenggam pistol yang kini berada di tengah-tengah Angra dan Seven yang sedang kelelahan . "Seven, lihatlah dirimu ... kau dibuat tak berdaya oleh kedua orang itu?" lanjutnya.

"Ya ... seperti yang kau lihat ... terima kasih telah menyelamatkanku ...," jawab Seven dengan napas sesak akibat cengkraman erat dari Pilox beberapa menit yang lalu.

"Tidak usah sungkan," ujar gadis berambut panjang dan berwarna pirang tersebut.

Angra tersenyum tipis. "Semenjak kita satu tim, baru kali ini kamu membantu, karena biasanya kamu hanya duduk di depan laptop saja," ucap gadis berparas indah itu memandang gadis bertopeng yang ada di sampingnya. Karena gadis misterius ini memang baru turun ke pertarungan, wanita berambut pirang itu sangat malas membantu rekan timnya.

Gadis bertopeng dan berambut panjang berwarna pirang itu menghembuskan napasnya pelan. "Ada sesuatu yang menarik perhatianku," ucapnya sembari menyimpan pistolnya ke saku celananya. "Kalau begitu aku pergi dulu," lanjutnya lantas pergi dari tempat itu. Wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun ini akan muncul ketika nyawa salah satu rekannya dalam bahaya, dan menemukan hal yang mengagumkan pada musuhnya. Itu berarti, Pilox dan Axis berhasil membuatnya terpukau.

Seven masih beruntung kali ini, karena dia masih bisa tertolong oleh rekannya. Gadis ini memang sangat ceroboh, sangat berani meninggalkan markasnya tanpa pengamanan yang ketat dan jebakan untuk musuh. Yang membuat Pilox begitu mudah masuk ke dalam markasnya.

***

Kematian Pilox

Axis dengan hati-hati mendudukkan Pilox di jok mobil. Setelah mendudukkan tubuh pria dingin itu di jok mobil, Axis langsung menancap gas dan segera menuju Rumah Sakit.

Rasa cemas yang memenuhi hati dan pikirannya saat ini. Air mata pun turut membasahi pipinya. Bagaimana tidak? Orang yang ia cintai secara diam-diam sekarang berada di ujung maut.

Di sisi lain, Axis masih penasaran siapa sebenarnya yang telah menembak Pilox. Karena saat itu kedua tangan Seven sedang ditahan oleh pria malang itu.

Di tengah perjalanan mereka, Pilox tiba-tiba merintih kesakitan karena pengaruh peluru yang mengenai punggungnya.

"A-Axis ...," lirih Pilox yang merasa kesakitan.

"Iya ... ada apa, Pilox?" tanya Axis dengan menahan air matanya.

"Be-Berhenti di sini, waktu saya ... sudah ti-tidak lama lagi." pinta Pilox dengan napas berat, mungkin pria berkulit sawo matang itu ingin mengucapkan sesuatu.

Sementara itu darah masih terus mengalir dari punggung pria berponi tersebut, nyaris bersamaan dengan air mata Axis.

"Jangan berkata seperti itu ... Pilox!" ujar Axis dengan tangisan dan memberhentikan mobilnya di persimpangan jalan.

"Axis dengar ini baik-baik, kemungkinan ... Little Monster bekerja sama dengan Baby First," ucapnya dengan napas berat.

"Maksud kamu?" tanya Axis penasaran.

"Orang yang menembak itu bukan kamu, 'kan?" tanya Pilox yang dijawab dengan anggukan oleh Axis dan diselingi air mata. "Tepat beberapa saat saya terkena tembakan, saya melihat seorang gadis berdiri tidak jauh di belakangmu ... kemungkinan itu Little Monster atau mungkin anggota Baby First lainnya yang tidak kita ketahui dan satu hal lagi ... saya berhasil mengetahui anggota Baby First ...," Pilox mengeluarkan foto yang ia simpan di saku celananya.

Axis segera mengulurkan tangannya untuk mengambil foto tersebut, kedua matanya fokus pada ketiga gadis yang saling merangkul satu sama lain. Meskipun pandangannya sempat terganggu karena air mata yang keluar tiada henti.

"I-Ini orangnya. Perempuan yang tidak memakai masker itu kemungkinan adalah Android dan Ichi ... yang barusan kita hadapi adalah Seven," jelas Pilox dengan napas yang tersendat.

Tubuh dan napas Pilox terasa semakin berat, belum lagi rasa sakit yang masih menjajah tubuhnya akibat tembakan yang membuatnya sekarat seperti Ini.

"Sudah, jangan bicara lagi. Po-Pokoknya kamu harus tetap hidup! Kamu harus ... membalaskan dendam kedua orang tuamu pada peretas yang telah memfitnah mereka! Dan maaf ... seandainya aku lebih berani--" Omongan Axis terhenti setelah Pilox mengelus pipinya dengan lembut.

"Sudah ... jangan salahkan diri sendiri ...," ucap Pilox dengan susah payah sembari mengelus pipi Axis. "Risa sialan ... uh ... dia telah membocorkan rahasia saya ... ta-tapi saya senang karena bisa bertemu denganya ... sebentar lagi," lirih Pilox menahan kesakitan.

Axis lantas mendekap pria dingin itu. "Pilox ... aku menyukaimu ... aku takut kehilanganmu ...," rintihnya, akhirnya gadis berambut panjang itu mengungkapkan perasaannya. Meskipun sebenarnya di tempat dan waktu yang tidak tepat.

Mendengar itu, Pilox tersenyum hangat dan memandang wajah Axis yang membuat tubuhnya bergetar sesaat. Pilox memegang wajah gadis itu dengan lembut. Baru kali ini ia melihat pria dingin itu tersenyum.

"Sa-Saya ... sangat beruntung karena dicintai gadis cantik se-sepertimu, po-pokoknya saya percayakan ini padamu dan Biscuits," ucap Pilox dengan pandangan perlahan kabur dan napas semakin berat.

"Pilox, jangan bilang seperti itu lagi ... aku tidak tahan mendengarnya." Tangis gadis itu semakin pecah, ia memeluk Pilox lebih erat.

"Te-Tetaplah hidup Axsis, meskipun ... berat. Ka-Karena kita hidup di dunia ini untuk ... menahan rasa sakit. Ja-Jaga dirimu--" Perkataan Pilox terhenti dan kedua mata sang empu kian tertutup, bertanda pria itu sudah tiada.

Menyadari Pilox sudah meninggal, Axis pun menangis sejadi-jadinya dan memeluk Pilox dengan erat.

"Pilox ... jangan tinggalkan aku, kumohon, semuanya telah meninggalkanku ...," rintih Axis dalam tangisnya. Mungkin wanita bermata indah ini memiliki kisah yang dramatis.

****

Is My Life-Re make-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang