"Lebih baik di penjara sekalian saja manusia nggak berguna kayak kamu ini Man. Aku capek mengurusmu!"
Dengan tertatih aku berusaha bangkit, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi berhadapan dengan Ibu yang sama sekali tidak pernah menghargai usahaku memenuhi keinginan beliau, rasanya hatiku sangat sakit mendapati beliau mencaci makiku tanpa hati sama sekali.
Namun sayangnya apa yang baru saja aku ucapkan mengobarkan kemarahan Ibu kembali, teriakan keras dari beliau aku dapatkan mengiringi langkahku.
"Enak saja kamu mau lari dari tanggung jawab gitu saja! Mau di taruh di mana muka Ibu kalau sampai Arman di penjara. Tega banget kamu lakuin itu ke Ibu sama adikmu, Sya. Kamu mau hancurin masa depan adikmu dengan biarin dia masuk penjara, jangan egois sebagai Kakak, Sya!"
Astaga Ibu, demi Naruto, Buroto, dan juga One Piece yang episodenya ada ratusan dan tidak tamat-tamat, sebegitu sulitkah bagi Ibu memahami kekecewaanku? Terlalu sayang pada Arman hingga kesalahan sefatal ini masih di maafkan? Kenapa terkadang aku merasa nasibku ini seperti anak tiri yang di peras untuk balas budi sementara jelas-jelas wajahku dengan Ibu dan adik-adikku begitu serupa.
"Kalau Arman mau nikah sama si Bella-Bella itu ya udah suruh nikah sana, Bu! Apa ada kata-kata Rasya yang ngelarang! Nggak ada, Rasya cuma bilang ke Ibu kalau Rasya nggak ada duit buat menuhin permintaan ibu pasal pernikahan mewah. Bahkan Rasya nggak punya tabungan gara-gara nyekolahin anak kesayangan Ibu yang sibuk mesum sampai buntingin anak orang ini!"
Tidak ada lagi sopan santun dan kelembutan saat aku berbicara sekarang, selama ini aku selalu mengalah dan mengutamakan keluargaku ini namun nyatanya tidak pernah di hargai.
"Pokoknya Ibu nggak mau tahu Sya, gimana pun caranya kamu harus dapatin yang seratus juta buat nikahan si Arman, Ibu mau pernikahan Arman harus mewah! Kamu penuhi permintaan Ibu atau kamu mau Ibu sumpahi jadi anak durhaka yang seumur hidupnya tidak......"
"Tidak akan bahagia, penuh kesialan, begitu, Bu?!" Potongku sembari tersenyum miris, sungguh di bandingkan seluruh tubuhku yang remuk karena hajaran Ibu barusan, apa yang ibu katakan sekarang jauh lebih menyakitkan untuk hatiku. Lagi dan lagi, ancaman yang menyumpahiku dengan sederetan nasib buruk selalu menjadi andalan Ibu untuk menekanku.Jika biasanya aku akan langsung menangis dan berjanji pada Ibu bagaimana pun caranya aku akan memenuhi permintaan Ibu asalkan beliau tidak menyumpahiku maka sekarang aku hanya bisa mengulas senyum sarat akan nestapa.
Aku sudah kenyang dengan segala kalimat buruk tersebut. 100 juta yang di ucapkan Ibu dengan begitu ringannya adalah nominal yang tidak bisa aku gapai sekali pun Ibu mencambukku agar aku mengiyakan apa yang beliau minta."Terserah Ibu mau nyumpahin aku kayak gimana karena tanpa Ibu harus menyumpahi Rasya pun hidup Rasya sudah sengsara! Rasya benar-benar nyerah masalah Arman kali ini, Bu. Mau dia di penjara atau bahkan mati sekalian Rasya sudah nggak mau nolongin. Dia yang enak-enakan main perempuan kenapa harus Rasya yang bingung cari hutangan buat pestanya."
Tidak ingin semakin di aniaya oleh Ibu aku buru-buru bangkit, walau seluruh tubuhku serasa remuk redam karena di hajar Ibu aku memaksakan tubuhku untuk bergerak, berlari menuju kamar menjauhi Ibu yang sudah mengangkat kemoceng untuk kembali memukulku dan menguncinya dari dalam.
Di dalam kamar lusuh yang kini di tempati oleh Arumi aku hanya bisa menangis dalam diam sementara di luar sana Ibu menggedor pintu dengan brutal, memakai dan menyumpahiku lagi dengan kata-kata yang semakin mengiris jantungku.
"Buka pintunya, Rasya! Dasar sampah! Durhaka kamu ya sama Ibu."
Dokkkk..... Dokkkkkk "Bu, gimana kalau Arman benar-benar di penjara, Bu. Arman nggak mau di penjara." Andaikan saja Ibu tidak menghajarku ingin sekali menendang adik laki-lakiku yang sangat tidak berguna tersebut, dia berani berbuat hina namun saat di tuntut pertanggungjawaban dia melempem seperti kerupuk basah.
Dan konyolnya bukannya menegur anak kesayangannya yang sudah berbuat salah Ibu justru terkesan membela anak tidak tahu diri tersebut.
Bisa-bisanya Ibu meminta pesta mewah dariku sementara anaknya yang ingin di nikahkan hanyalah pengangguran yang hanya bisa merengek, sungguh lucu jika usai pesta mewah dari hasil memerah keringatku, istri dan anak Arman akan di beri makan batu, atau paling-paling laki-laki manja itu akan merengek padaku dan membuat bebanku semakin bertambah banyak.
Tuhan, kenapa Engkau memberiku beban seberat ini kepadaku? Kata orang anak perempuan pertama adalah kesayangan, tapi kenapa hanya duka yang aku dapatkan? Aku juga butuh sandaran untukku beristirahat saat lelah, tapi berkata tidak atau sekedar menghela nafas pun aku tidak di izinkan di rumah ini.
Sungguh aku benar-benar lelah Tuhan hanya di peras dan di jadikan mesin pencetak uang oleh Ibuku tanpa ada kasih sayang atas segala yang aku lakukan.
"Rasya, pikirin masa depan adikmu, Sya! Jangan jadi egois sebagai Kakak, kamu kerja buat apa kalau nggak buat adik-adikmu! Di minta balas budi secuil aja mencak-mencak nggak karuan sampai nyumpahin adikmu sendiri! Ingat Sya, setiap nafas kamu itu pemberian Ibu!"
Tuhan, kenapa aku mesti di lahirkan ke dunia jika hanya menjadi bulan-bulanan seperti ini, andaikan saja aku bisa memilih mungkin aku tidak ingin di lahirkan jika hanya menjadi beban untuk orangtuaku. Ingin rasanya aku marah dan memaki tapi status orangtua membuatku harus menelan bulat-bulat kecewa dan sakit hatiku yang menggunung. Sungguh di sakiti orang-orang yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kita pulang itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
Walau Ibu masih mengeluarkan makiannya bertubi-tubi padaku aku memilih untuk tidak menjawab sepatah kata pun pada beliau dan memilih untuk melampiaskan emosiku pada Arman yang pasti ada di dekat Ibu.
"Arman, dengar Mbak baik-baik. Kalau keluarga Bella mau menjarain kamu Mbak nggak peduli lagi. Kamu mau nikahin pacarmu Mbak juga nggak peduli, terserah, belajarlah bertanggungjawab sebagai lelaki dan juga seorang Ayah! Berani berbuat berani bertanggungjawab bukan malah bersembunyi di ketiak Ibu terus. Kupingmu nggak budek kan buat denger semua makian Ibu ke Mbak, gara-gara kamu Mbak yang kena soal!"
Dan benar saja mendapatiku malah memaki adik laki-lakiku membuat kemarahan Ibu semakin memuncak, gedoran di pintu lapuk ini semakin luar biasa dan puncaknya adalah sumpah serapah Ibu benar-benar membuatku menangis sejadi-jadinya.
"Rasya, durhaka kamu! Kamu itu benar-benar kayak Ayahmu. Sama-sama nggak berguna, menyesal aku sudah melahirkan manusia rongsokan sepertimu. Ibu haramkan kamu mencium bau surga, anak durhaka. Selamanya kamu nggak akan bahagia, nggak akan ada laki-laki yang mau dengan perempuan sialan sepertimu. Cuiiihh, di bandingkan anak laki-lakiku lebih baik kamu saja yang mati membusuk di neraka sana."
Ya Allah, Bu. Apa kesalahanku hingga Engkau begitu tega kepadaku, Bu?!
"Bagaimana pun caranya kamu harus membalas budi kepada Ibu untuk setiap tetes air susu yang kamu minum, Rasya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Arasya
RomanceAnak perempuan pertama, menjadi tulang punggung untuk Ibu yang selalu mengatakan jika hidup keluarga dan pendidikan kedua adiknya adalah tanggung jawabnya membuat Arasya merasa begitu lelah. Di saat rekan-rekannya sudah merajut asa yang di inginkan...